Mohon tunggu...
Najma Fatiha Rahma
Najma Fatiha Rahma Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa 23107030029 UIN Sunan Kalijaga

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Penulis pemula ini belum memiliki spesifikasi, hanya memiliki tekad untuk menebar manfaat.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Artikel Utama

Pakaianmu adalah Identitas Diri atau Sebuah Sikap Konsumtif?

8 Juni 2024   17:13 Diperbarui: 10 Juni 2024   14:30 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI gaya berpakaian dan sikap konsumtif | Freepik.com/rawpixel.com via Kompas.com

Cara berpakaian memang seringkali dianggap sebagai cerminan dari ego seseorang. Dalam konteks modern, pakaian bukan hanya sekadar penutup tubuh, tetapi juga alat untuk mengekspresikan identitas, status, dan kepribadian. 

Beberapa contoh yang bisa dilihat dalam kehidupan sehari-hari adalah keinginan untuk memiliki baju yang paling unik atau berbeda dari orang lain, yang menunjukkan upaya untuk menonjolkan diri.

Obsesi terhadap penampilan ini juga diperkuat oleh norma sosial yang mengajarkan kita untuk menilai orang lain berdasarkan apa yang mereka pakai. Misalnya, dalam situasi profesional seperti rapat, seseorang cenderung mengenakan kemeja formal, sedangkan saat bersantai di coffee shop, pakaian yang lebih kasual dan "skena" lebih lazim. Hal ini menunjukkan bagaimana penampilan digunakan untuk menyesuaikan diri dengan konteks sosial tertentu.

Media sosial memainkan peran besar dalam memperkuat obsesi ini. Platform seperti Instagram atau TikTok seringkali menampilkan gaya hidup dan penampilan para influencer yang kemudian menjadi acuan bagi banyak orang. Akibatnya, kita terus menerus membandingkan diri dengan orang lain dan merasa perlu memiliki baju yang sama dengan mereka untuk dianggap "keren" atau "trendy".

Kecenderungan ini memberikan dampak negative seperti:

1. Konsumtif dan Pemborosan

Salah satu dampak utama dari obsesi terhadap penampilan adalah meningkatnya sifat konsumtif di masyarakat. Kita cenderung membeli pakaian yang sebenarnya tidak kita butuhkan, hanya untuk mengikuti tren atau meniru gaya influencer. Hal ini tidak hanya memboroskan uang, tetapi juga menciptakan limbah tekstil yang berdampak buruk pada lingkungan. 

Industri fashion dikenal sebagai salah satu penyumbang terbesar polusi lingkungan, dengan penggunaan bahan kimia berbahaya dan limbah produksi yang merusak ekosistem.

2. Ketidakpuasan Diri

Terus menerus membandingkan diri dengan orang lain, terutama di media sosial, dapat menyebabkan ketidakpuasan diri. Kita merasa kurang percaya diri jika tidak mampu mengikuti gaya atau standar penampilan yang ditetapkan oleh masyarakat. Hal ini dapat mempengaruhi kesehatan mental, menyebabkan stres, kecemasan, dan depresi. 

Kita sering merasa bahwa kita belum cukup senang dengan apa yang kita punya dan terus mencari kepuasan melalui pembelian barang baru, yang sebenarnya tidak memberikan kebahagiaan jangka panjang.

3. Menilai Hanya Berdasarkan Pakaian

Obsesi terhadap penampilan mendorong kita untuk menilai orang lain berdasarkan apa yang mereka pakai. Hal ini menciptakan penilaian yang superfisial dan dangkal, serta mengabaikan nilai-nilai dan karakteristik yang lebih penting dalam diri seseorang. 

Seringkali kita diajarkan untuk menilai orang lain berdasarkan penampilan luar mereka untuk mengetahui kebiasaan atau status sosial mereka. Ini mengurangi kemampuan kita untuk melihat keunikan dan nilai-nilai internal yang sebenarnya jauh lebih berharga.

4. Tekanan Sosial

Kewajiban untuk berpakaian sesuai dengan situasi tertentu, seperti mengenakan kemeja saat meeting dengan profesional atau berpakaian skena saat ke coffee shop, dapat menimbulkan tekanan sosial. 

Orang merasa perlu mengikuti aturan tidak tertulis ini agar diterima dalam kelompok atau lingkungan tertentu. Tekanan ini dapat menyebabkan kecemasan dan perasaan tidak nyaman, terutama bagi mereka yang tidak memiliki akses mudah atau finansial untuk memenuhi standar penampilan tersebut.

Namun disamping banyaknya dampak negatif, masih ada dampak positif yang bisa kita ambil. Pertama, sebagai bentuk mengekspresikan diri. Cara berpakaian dapat menjadi bentuk ekspresi diri yang kuat. Melalui pakaian, kita bisa menunjukkan kepribadian, minat, dan nilai-nilai yang kita anut. Ini dapat membantu membangun identitas diri dan memberikan rasa percaya diri. 

Misalnya, mengenakan pakaian dengan desain atau warna tertentu bisa mencerminkan suasana hati atau keyakinan seseorang, membantu mereka merasa lebih nyaman dan diterima dalam lingkungannya.

Kedua, melatih kreativitas. Dunia fashion mendorong kreativitas dan inovasi. Desainer dan individu dapat bereksperimen dengan berbagai gaya, warna, dan bentuk, menghasilkan tren dan gaya baru yang menarik. Ini juga membuka peluang bagi industri kreatif untuk berkembang, menciptakan lapangan pekerjaan, dan mendorong pertumbuhan ekonomi. 

Kreativitas dalam fashion juga bisa menjadi medium untuk menyampaikan pesan sosial atau politik, meningkatkan kesadaran tentang isu-isu penting melalui desain dan pakaian.

Terakhir, membangun konektivitas sosial. Memiliki penampilan yang menarik atau sesuai dengan tren dapat membantu membangun koneksi sosial. Orang cenderung merasa lebih mudah berinteraksi dengan orang lain yang memiliki selera fashion yang sama atau mengikuti tren yang sama. 

Misalnya, komunitas fashion atau penggemar merek tertentu seringkali membentuk grup atau komunitas yang mempererat hubungan sosial dan memberikan dukungan emosional satu sama lain.

Kemudian, bagaimana seharusnya kita menyikapi fenomena ini?

Kita perlu menyadari bahwa penampilan bukan segalanya. Menghargai diri sendiri dan orang lain berdasarkan karakter, kemampuan, dan nilai-nilai yang dimiliki jauh lebih penting daripada sekadar penampilan luar. Kita harus belajar melihat dan menghargai keunikan setiap individu, yang tidak selalu tercermin dari apa yang mereka pakai. Hindari perilaku konsumtif dengan membeli pakaian yang benar-benar dibutuhkan dan berkualitas baik. 

Pertimbangkan juga dampak lingkungan dari produk fashion yang kita beli. Pilihlah produk yang berkelanjutan dan ramah lingkungan dengan mendukung merek-merek yang memiliki tanggung jawab sosial dan lingkungan.

Selanjutnya, batasi waktu yang dihabiskan di media sosial untuk mengurangi tekanan dan perbandingan diri dengan orang lain. Fokuslah pada kehidupan nyata dan hubungan yang lebih berarti. 

Menciptakan lingkungan digital yang sehat dengan mengikuti akun-akun yang memberikan inspirasi positif dan menghindari konten yang menimbulkan perasaan negatif. Alih-alih mengikuti tren tanpa berpikir panjang, temukan gaya pribadi yang sesuai dengan kepribadian dan kenyamanan kita. Ini akan membantu kita merasa lebih percaya diri dan autentik. 

Mengembangkan gaya yang unik dan personal tidak hanya memberikan kepuasan diri, tetapi juga menunjukkan kepercayaan diri yang tidak bergantung pada opini orang lain.

Setiap orang memiliki keunikan masing-masing. Hargai perbedaan dan jangan merasa perlu untuk selalu menyesuaikan diri dengan standar yang ditetapkan oleh masyarakat atau media sosial. Menerima dan menghargai perbedaan bisa menciptakan lingkungan yang lebih nyaman dan menghargai keberagaman. 

Pada akhirnya, penting untuk menyadari bahwa kebahagiaan dan rasa puas seharusnya tidak bergantung pada seberapa unik atau trendy pakaian yang kita miliki, tetapi lebih pada bagaimana kita merasa nyaman dan percaya diri dengan diri kita sendiri, terlepas dari apa yang kita pakai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun