Dewasa ini, tradisi pingitan tidak lagi menjadi sebuah keharusan melainkan pilihan. Berkembangnya zaman membuat peran wanita meluas, yang dulunya hanya sebatas kasur, sumur, dapur menjadi berbagai kesibukan yang ada. Aktivitas padat yang dimiliki seperti bekerja, belajar, belum lagi mempersiapkan pernikahannya seperti, meeting vendor, dan gladi resik keluarga yang membuat calon pengantin tidak memiliki waktu yang cukup untuk dipingit. Jika memiliki waktu yang cukup untuk melaksanakan tradisi pingitan tidak ada salahnya dilaksanakan sebagai sebuah penghormatan budaya.Â
Nilai Tradisi Pingitan menurut Pandangan Agama Islam
Allah SWT. telah menjelaskan dalam Al-Quran pada surat Al-Ahzab (33)
33. Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu, dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
Hukum pingitan dalam islam adalah boleh (mubah), karena wanita dalam pingitan menunjukan kemuliaan dan kesucian. terdapat dalam sejarah dari dulu hingga kemudian. Dalam pingitan malu menjadi hiasan. Wajarlah bila menjadi primadona dan dambaan. Bukankah Allah ciptakan bidadari surga dalam pingitan. Pingitan sendiri sangat dianjurkan islam dan itu sudah ada dalam Al-qur`anÂ
Sedangkan Mitos yang berkembang di tradisi ini sangat unik. Dalam kondisi pingit, orang yang dipingit tidak boleh keluar rumah, dengan alasanya karna mereka memiliki `darah manis` (atau darah manisan kata orang Banjar). Dikatakan bahwa orang yang akan menikah itu rentan terhadap marabahaya.
Menurut kepercayaan Jawa kuno banyak sarap, sawan, dan sambekala (penyakit yang tidak kelihatan) atau hal yang mencemaskan dan berbagai halangan sehingga sebagaian masyarakat, ketika calon pengantin dipingit, juga di anjurkan minum " jamu sawanan" agar terhindar dari berbagai halaman, kecemasan, dan aneka penyakit.Â
Kepercayaan seperti itulah yang harus diluruskan, karena musibah itu bisa datang kapan saja dan dimana saja, serta tidak mengenal usia, bisa pada anak kecil, orang dewasa ataupun lansia, dan dalam Islam tidak diperbolehkan, karna kepercayaan seperti itu masuk katagori syirikÂ
Masalah mereka yang mempunyai darah manis itu tergantung dengan kepercayaan adat saja, yang pasti dalam islam pingitan diperbolehkan dengan tujuan menjaga wanita dari marabahaya seperti menghindarkan dari nafsu-nafsu kaum pria yang belum bisa mengontrol diri, bukan musibah yang disebut oleh orang Jawa dengan setan sarap, sawan dan sambekalo (penyakit yang tidak kelihatan), mengenai kehawatiran masyarakat yang takut tertimpa musibah thiyarah yaitu meramal bernasib sial karna melanggar sesuatu.Â
Masalah puasa yang dilakukan calon pengantin dalam prosesi pingitan tersebut hukumnya dalam islam diperbolehkan dengan catatan bila calon pengantin tersebut melakukan puasa dengan niat beribadah kepada Allah SWT.Sedangkan niat puasa itu untuk menghindari musibah atau kepercayaan lain seperti terhindar dari sawan, sarap dan sambekolo (penyakit yang tidak kelihatan) dalam islam tidak diperbolehkan.
Tinjauan Kritis terhadap Tradisi Pingitan
Saat pingitan pengantin dilarang keluar rumah selama satu bulan atau satu minggu sebelum pernikahan, untuk mengisi kegiatan dirumah calon pengantin wanita bisa merawat diri. Perawatan dilakukan dengan ramuan tradisional yang diramu khusus untuk wanita, mulai ramuan perawatan khusus hingga minuman tradisional yang wajib di minum, dengan perawatan pengantin lebih percaya diri karena tampil cantik, bersih, dan wangi. Perawatan yang calon pengantin wanita lakukan berguna untuk mempersiapkan calon pengantin wanita secara fisik luar dan dalam. Calon pengantin wanita disiapkan dirinya akan tugas sebagai seorang istri dan calon ibu.Â