Mohon tunggu...
nailul maram13
nailul maram13 Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - mahasiswi di stai al anwar

tugas

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Tradisi vs Hak Individu: Keadilan dalam Praktik Perjodohan Paksa di Madura

2 Juli 2024   12:45 Diperbarui: 2 Juli 2024   14:45 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tradisi Kawin Paksa di Madura

Praktik nikah paksa di Madura masih terjaga karena umumnya masyarakat menikahkan anak perempuannya dalam usia muda atau dengan kerabat terdekatnya, sering kali dengan perbedaan usia yang signifikan antara mempelai perempuan dan laki-laki. Praktik ini sering dikaitkan dengan paksaan dari orang tua terhadap anak perempuan mereka, dengan alasan mempertahankan silaturahim keluarga yang erat. Anak perempuan sering kali dipulangkan dari pesantren di usia sekolah menengah pertama atau atas, tanpa mempertimbangkan kehendak atau pengetahuan anak perempuan tentang calon suaminya.

Menurut tradisi di Madura, perjodohan yang dilakukan oleh orang tua dianggap sebagai bagian dari upaya untuk mempertahankan keharmonisan keluarga dan kelangsungan tradisi. Konsep ini sering kali bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi manusia yang menekankan kebebasan individu dalam memilih pasangan hidupnya.

Nikah Paksa di Madura

Fenomena nikah paksa atau pernikahan pada usia muda, termasuk pernikahan antara kerabat di Madura, juga umum terjadi di kalangan mahasiswa atau siswa sekolah dasar untuk menjaga hubungan keluarga yang erat. Hal ini sering kali menjadi hasil dari paksaan orang tua mereka, di mana anak perempuan dipulangkan dari pesantren untuk dinikahkan dengan kerabat tanpa mempertimbangkan keinginan pribadi mereka.

Teori Sosiologi tentang Pernikahan Paksa: Menurut teori sosiologi, pernikahan paksa sering kali dipandang sebagai hasil dari struktur sosial yang kuat, di mana norma dan nilai-nilai budaya mendominasi keputusan individu. Dalam konteks Madura, faktor-faktor seperti penghargaan terhadap otoritas orang tua dan kebutuhan untuk menjaga solidaritas keluarga sering menjadi pendorong utama praktik perjodohan paksa. Teori ini menyoroti bahwa individu tidak selalu membuat keputusan secara mandiri, tetapi dipengaruhi oleh tekanan sosial dan budaya di sekitarnya.

Kasus Mahasiswa yang Dijodohkan

Sebagai contoh, seorang mahasiswa dipaksa menikah dengan calon yang dipilih oleh ayahnya untuk menjaga silaturahim keluarga yang erat dengan kerabat terdekat. Ayahnya, yang jarang berkomunikasi ( partisipasi) dengan putrinya, memaksakan pernikahan tanpa mempertimbangkan keinginan putrinya. Menurut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR), hak mahasiswa tersebut telah dilanggar. Praktik perjodohan yang dilakukan oleh ayahnya tidak dapat dibenarkan karena melanggar hak-hak dasar individu.

Menurut saya, setiap individu memiliki hak inheren untuk menentukan jalan hidupnya sendiri, termasuk dalam memilih pasangan hidup. Pemaksaan dalam pernikahan tidak hanya melanggar prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia yang diakui secara internasional, tetapi juga dapat mengakibatkan dampak psikologis yang serius bagi individu yang terlibat.

Dalam konteks budaya dan tradisi, memang ada nilai-nilai yang dijunjung tinggi seperti silaturahim keluarga. Namun, nilai-nilai ini harus dipertimbangkan dengan mematuhi hak-hak individu sesuai dengan standar hak asasi manusia yang telah diakui secara global. Dalam Islam, sebagai contoh, pemilihan pasangan hidup seharusnya dilakukan dengan kesepakatan dan persetujuan bebas dari kedua belah pihak, tanpa adanya paksaan dari pihak lain, termasuk dari orang tua.

Penting untuk mempromosikan pendekatan yang menghargai kebebasan individu dalam memilih pasangan hidupnya, sambil tetap menghormati nilai-nilai budaya dan agama yang ada. Ini akan membantu dalam menciptakan hubungan yang lebih harmonis dan memperkuat nilai-nilai kemanusiaan serta menghindari pelanggaran terhadap hak-hak individu.

Secara keseluruhan, praktik perjodohan paksa yang dilakukan tanpa mempertimbangkan keinginan individu adalah suatu bentuk penyalahgunaan kekuasaan dan melanggar hak-hak dasar manusia. Sudah seharusnya kita sebagai masyarakat berupaya untuk memastikan bahwa setiap individu, termasuk mahasiswa atau siapa pun, memiliki kesempatan untuk mengambil keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka sendiri dengan cara yang bebas dan bermartabat.

Dampak Negatif dan Tantangan

Praktik perjodohan paksa menimbulkan berbagai masalah sosial dan budaya. Karena tidak didasari oleh cinta dan pilihan bebas, sulit untuk menciptakan keluarga yang harmonis. Perjodohan yang dipaksakan sering kali berujung pada perceraian atau konflik dalam rumah tangga. Perempuan sering menjadi pihak yang paling dirugikan, merasa hak-haknya terpangkas dan kehilangan kontrol atas kehidupan pribadi mereka.

Teori Psikologi tentang Dampak Psikologis Kawin Paksa: Dari sudut pandang psikologi, pernikahan paksa dapat berdampak serius pada kesehatan mental individu, terutama pada perempuan yang dipaksa. Teori ini menekankan bahwa pengalaman stres yang diakibatkan oleh perjodohan paksa dapat menyebabkan gejala seperti depresi, kecemasan, dan konflik batin yang dalam. Perasaan tidak dihargai atau diperlakukan sebagai objek oleh keluarga atau masyarakat dapat merusak harga diri dan kesejahteraan psikologis individu.

Pentingnya Hak Asasi Manusia dan Memilih Pasangan

Tantangan yang dihadapi oleh anak-anak perempuan di Madura memperlihatkan konflik antara tradisi dan nilai-nilai hak asasi manusia, khususnya hak untuk memilih pasangan hidup sendiri. Islam menegaskan pentingnya pemilihan pasangan yang didasarkan pada kesepakatan dan persetujuan bebas, bukan paksaan dari pihak lain.

Teori Hak Asasi Manusia: Teori ini menekankan bahwa setiap individu memiliki hak inheren untuk memutuskan jalan hidupnya sendiri, termasuk dalam memilih pasangan hidup. Pemaksaan dalam pernikahan melanggar hak ini dan dapat dianggap sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang serius, seperti yang dijelaskan dalam berbagai konvensi internasional.

Dampak Psikologis Kawin Paksa

Kawin paksa menyebabkan berbagai konsekuensi negatif baik dari segi kesehatan fisik maupun psikis. Perempuan yang dijodohkan dengan laki-laki yang tidak diinginkannya mulai mengalami gejala konflik batin, perasaan syok, dan kecemasan. Malam pertama menjadi malam yang menakutkan karena terpaksa melayani suami. Dalam kondisi ini, perempuan merasa menyesal dan jika berlanjut, dapat mengakibatkan kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian.

Hak Memilih Pasangan dalam Islam

Islam menghormati hak perempuan dalam memilih pasangan hidup. Islam melarang wali memaksakan kehendak pada anaknya dalam memilih calon suami. Perempuan bebas menerima atau menolak pinangan seseorang atau pilihan orang tuanya jika pria yang dijodohkan tidak sesuai dengan harkat dan martabat perempuan tersebut, terutama dalam bidang agama.

Hak Asasi Manusia dalam Perjodohan

Pemaksaan dalam pernikahan melanggar hak asasi manusia, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 16 ayat 1 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW). Perempuan memiliki hak yang sama untuk menikah dengan persetujuan bebas dan penuh. 

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR), dalam Pasal 16, juga menyatakan bahwa setiap orang dewasa berhak menikah dan membentuk keluarga berdasarkan kehendak bebas mereka. Di Madura, hak perempuan sering kali dilanggar oleh praktik perjodohan paksa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun