Sore hari menjelang malam, saat sepulang kuliah, aku termenung di bawah pohon ditemani angin sepoi -- sepoi di belakang rumah dan langit -- langit senja dengan perasaan tak karuan, mengingat kembali masa -- masa bahagia itu. Masa dimana saat itu, masa yang sangat membahagiakan dan tak akan bisa ku lupakan menurutku, sangat merindukan sekali dengan saat itu.Â
Sungguh sangat melelahkan dengan posisiku saat ini. Membuat batinku bersua, akankah aku sanggup melewati ini. Tak berselang lama tak sadar, aku terjerumus dalam lamunanku sendiri.
" hai kaila, kamu kenapa? " sapa syifa sahabat karibku, yang tiba -- tiba datang dari arah belakangku. Aku terdiam sejenak mencoba mengamati sosok yang melambaikan tangannya kepadaku.
" Siapa dia? "  batinku, seseorang ini rasanya tak  asing bagiku. Mencoba untuk mengingat -- ingat kembali memori otakku. Dan tak butuh waktu lama pada akhirnya  aku teringat, siapa dia.
" syifa, Â hai syif, aku nggak papa kok" jawabku
Bukannya aku tak mau berbagi cerita dengan sahabat karibku, hanya aku tak ingin membebaninnya dengan curhatanku.
Syifa memanglah orang baik, aku bersahabat dengannya sejak saat umur 5 tahun, tepatnya saat TK. Aku dan syifa dari SD sampai TK Â memang satu sekolah. Hingga saatnya waktu SMP aku dan dia terpisah, sedih memang jika diingat -- ingat.Â
Tapi syifa selalu saja mempunyai cara agar komunikasi kita tetap berjalan, selalu menghibur, dan menyemangatiku. Sungguh, aku merasa bersyukur telah dipertemukan orang baik, yang selalu mengerti perasaan serta keadaan ku.
" Beneran nih kai, aku udah kenal kamu lama banget loh, aku hafal banget raut wajah kamu kalau ada masalah? "Â
" Insya Allah semua akan baik -- baik saja" ucapku meyakinkan syifa
" kalau kamu memang belum siap untuk curhat, aku juga nggak akan maksa kok, karena aku tau pasti kamu juga butuh ruang sendiri untuk menenangkan pikiranmu. Pokoknya seberat apapun masalah yang akan kamu hadapi, ingat kamu nggak akan melewatinya sendirian, aku pasti akan bantu sebisaku " jelasnya
Sejenak aku memandangi wajah syifa, tampak sebuah ketulusan yang ada dalam matanya, aku tersentuh melihatnya. Aku pun sendiri bingung ingin bercerita seperti apa dan dari mana pada syifa. Rasa khawatir, rasa kesal, rasa takut yang saat ini kualami sungguh membuatku dilema, hingga membuatku tak tahu harus bercerita bagaimana bahkan dengan sahabat karibku yang selalu menjadi tempat keluh kesahku.Â
Aku sendiri pun heran, mengapa saat ini lidahku terasa amat berat saat ingin curhat pada syifa tentang masalah ini.
" kamu rindu nggak sih, sama masa -- masa kecil kita? " tanyaku
" kalau dibilang rindu, pasti itu nai, cuma yang namanya hidup itu kan harus berjalan, kita harus bisa mengambil hikmah dari kenangan masa lalu tersebut, nih kamu minum dulu agar perasaanmu agak sedikit tenang " ucapnya sambil menyodorkan botol minumannya.
Aku pun mengangguk sambil mengambil minuman dari genggaman tangan syifa dan meminumnya. Agak sedikit lega perasaanku saat syifa datang dan menemaniku, disaat aku tengah sendirian duduk di bawah pohon sore -- sore.Â
Meskipun dia belum tau persis permasalahanku saat ini, tapi aku yakin syifa adalah obat dari semua rasa gelisahku, syifa selalu bisa menenangkan perasaanku, yang sesuai dengan arti namanya syifa " obat / penyembuh".
" aku cuman takut dan khawatir aja, menjadi dewasa ternyata tidak seenak yang kita bayangkan dulu ya syif , nggak bisa sebebas dulu, nggak terlalu banyak yang dipikirin, semenyeramkan itu, aku jadi kangen masa -- masa kecil kita " dengan nada suara yang serak, aku mencoba untuk menguatkan diri sendiri  untuk curhat ke syifa.
" kaila, menjadi dewasa itu memanglah tidak mudah, tapi juga tidak semenyeramkan apa yang kamu pikir kok, waktu kan terus berputar, dan kamu juga harus mulai bisa menerimanya, dengan hati yang ikhlas, sambil berdoa kepada tuhan agar hatimu dilapangkan, bahunya juga dikuatkan, dan yang paling penting kuncinya adalah sabar dan ikhlas " jelasnya
Hingga tak sadar, air mataku jatuh dengan  sendirinya. Tak kuasa aku menahannya, sekuat apapun aku ingin membendungnya, air mata ini jatuh juga. Syifa yang sedari tadi duduk di sampingku tersadar bahwa aku telah menangis. Perasaan was -- was, takut, gelisah,  itu muncul kembali. Sejenak aku berpikir kapan aku bisa kuat dan keluar dari rasa ini, tapi di sisi lain aku juga yakin sambil berharap bahwa semua akan baik -- baik saja atas takdir tuhan.
" Nangis aja kai, kalau memang itu yang bisa membuatmu tenang, aku bakal tetap di sini sambil menemani kamu " ucapnya
" Aku cuma mau bilang ke kamu, makasih ya selalu ada di sampingku, selalu mengerti perasaan dan keadaanku, aku bersyukur banget punya sahabat sepertimu " ucapku sambil mengusap air mataku, mencoba kuat di depan syifa, agar dia juga tidak terlalu merasa khawatir.
Syifa yang mendengar hal itu, mengelus -- elus punggungku untuk berusaha menenangkanku.
" Sama -- sama kai, kamu tenang aja, pelan -- pelan aja lupakan hal itu kai, udah dong  jangan nangis, kita kan udah sahabatan lama banget, dari kecil malah, udah nggak seharusnya kamu punya perasaan seperti itu, aku itu sudah menganggapmu itu seperti saudara ku sendiri, jadi jangan ada pikiran seperti itu lagi ya".  Aku pun mengangguk, sambil mengusap air mataku yang masih berjatuhan.
"makasih banyak ya " ucapku lalu memeluk syifa.
" udah ah, dari pada kita sedih -- sedih gini, mending kita bayangin yang seru dan yang lucu -- lucu aja, gimana? " usulnya.
Aku mengangguk sebagai pertanda setuju. Mulai dari menceritakan masa -- masa kecil kita yang sama -- sama masih polos. Dengan ditemani senja yang kian lama kian menghilang. Entah setelah curhat dengan syifa, ada perasaan yang cukup tenang dan lega, hingga membuat perasaan was -- was, gelisah, takutku, makin menghilang.
" dulu waktu kita kecil, sering banget ya main di lapangan itu, seru banget sampai lupa waktu untuk pulang dan mengaji " ucapku memulai cerita
" iya ya, sering banget mencuri -- curi waktu tidur siang hanya untuk bermain di lapangan itu"Â
Mengingat zaman itu, memang banyak kenangan kita waktu kecil di lapangan itu. Beragam permainan tradisional zaman dulu dengan teman -- teman yang lain juga.
" aku juga kangen deh sama temen -- temen kita yang lain, kira -- kira bagaimana ya kabarnya mereka " tanyaku
" aku sendiri juga kangen sih, tapi kayaknya bakalan susah juga untuk kumpul -- kumpul lagi, ya mungkin memang mereka sudah ada kesibukan masing -- masing"Â
" iya juga ya, tapi memang masa -- masa itu sungguh seru ya, jadi kangen lagi kan"Â
Bercengkrama dengan syifa memang sangat seru sekali. Tak ada rasa bosan sedikitpun kalau bercengkrama dengannya. Tak ada yang berubah darinya, dari dulu seperti itu. Hal itulah yang membuatku merasa nyaman jika curhat dan ada di dekatnya. Hingga tak sadar, matahari pun semakin tenggelam.
" yah udah malam kai, aku pamit dulu ya, aku cuma ingin pesan sama kamu, jaga dirimu baik -- baik ya, jangan lupa salat dan berdoa untuk meminta perlindungan " ucap syifa
Tiba -- tiba saja syifa beranjak dan pergi begitu saja meninggalkanku. Aku sangat heran, tidak seperti biasanya.
" nduk, kamu ngapain disini, ini udah malam"
Tiba -- tiba saja ada orang yang membuyarkan lamunanku. Mencoba menetralkan pikiranku. Aku pun bergegas bangun, dan menghadap pak hasan.
" astaghfirullah, udah maghrib ya pak ?" tanyaku pada pak hasan.
" iya nduk, kamu salat kan? Mending salat dulu nduk, nggak baik anak gadis melamun sendirian di bawah pohoh, apalagi ini udah masuk waktu maghrib " aku mengangguk, dan bergegas ke mushalla terdekat. Mengambil wudhu dan menunaikan salat magrib berjama'ah.
Seusai salat maghrib pun tak lupa aku untuk mengikuti pesan syifa yang menuntunku untuk selalu berdo'a setelah salat. Mengadu semuanya kepada tuhan agar perasaan ini juga lebih tenang dan memohon agar diberikan petunjuk. Karena aku pun juga yakin, segala hal yang terjadi dalam hidupku baik sekarang hingga  kedepannya, itu sudah sebaik -- baik takdir -- Nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H