Mohon tunggu...
Fat Han
Fat Han Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

suka mengajak berpikir namum malas dalam bergerak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tolak Ukur Kecerdasan Seseorang Bukanlah Pintar Matematika

13 Juli 2022   20:14 Diperbarui: 13 Juli 2022   20:45 1088
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kepintaran itu sejatinya adalah manipulasi semata. Sebagian orang menganggap orang pintar adalah orang yang hebat, itu semua sering kita dengar dan alami disaat kita bersosialisasi dalam menjalani kehidupan di tengah masyarakat. 

itu semua hanyalah statement yang tak mendasar yang terbentuk dari sentimen masyarat. Sejatinya yang diperlukan manusia adalah kecerdasan, bukan sesuatu yang harus diakui dan diagung-agungkan oleh orang lain.

Perbedaan pintar dengan cerdas, terletak bagaimana cara memperoleh sebuah ilmu. Orang yang dikatakan pintar dalam kacamata pendidikan pada tingkat akademi dan sosial adalah orang yang kemudian mampu menjawab segala pertanyaan ketika mereka berada dalam lingkup akademik maupun sosial. 

Orang tersebut mampu menjawab, karena banyak menyerap keilmuan yang didapatkan berdasarkan bacaan, atau mendegar dari orang lain bukan sesuatu ilmu yang didapatkan berdasarkan proses pengalaman dan perenungan diri sendiri. 

keilmuan yang sudah tersimpan di dalam otak yang didapatkan dari membaca atau penyampaian orang lain, sejatinya ilmu tersebut adalah ilmu yang diterima tanpa melalui proses campur tangan dari olah berpikir dan tanpa mengaktifkan kinerja otak, sehingga otak tidak dipaksa untuk berpikir. 

Kelakuan tersebut secara sadar ataupun tidak telah mengabaikan fungsi otak yang sesungguhnya yaitu mencerna segala sesuatu permasalahan atau persoalan dalam wilayah kehidupan agar kemudian, berpikir keras untuk menemuka cara meyelesaikan atau memecahkan masalah tersebut sehingga masalah menjadi terpecahkan dan dapat keluar dari masalah tersebut. 

Dengan kata lain kita juga mengabaikan atau menyia-nyiakan pemberian otak dari tuhan (bagi yang berkeyakinan adanya tuhan).

Lain hal dengan kecerdasan, menurut penulis seseorang dapat dikatakan cerdas bila sesorang memperoleh keilmuan berdasarkan pengamatan, pengalaman dan berdasarkan dari hasil kerja otak sendiri, 

sehingga ia mampu menyelesaikan berbagai macam masalah dan persoalan dalam hidup, dan menjadi sebuah pengalaman dan keilmuan yang baru kemudian diserap oleh otak untuk mengingat cara menyelesaikan masalah yang sama apabila dihadapkan dikemudian haria. 

Orang yang hidup dengan serba keterbatasan dengan teknologi kemudian, maka sudah dapat dipastikan orang tersebut akan selalu berusaha untuk melompati tembok kebuntuan berkaitan dengan persoalan hidup dan dengan berpikir sendiri secara otomatis akan memaksa otak untuk berputar-putar guna memunculkan ide-ide baru dalam rangka memudahkan hidupnya. 

Secara  otomatis mereka yang hidup dengan kondisi seperti itu tentu saja akan lebih banyak menggunakan otak mereka untuk mengamati dan berpikir agar terseleisaikannya permasalahan terkait keterbatasan teknologi kemudian memperoleh jalan keluar dan mendapatkan banyak pengalaman untuk mengatasi persoalan hidup. 

Sebuah hasil penelitian menunjukkan bahwa orang pada zaman dahulu memiliki kapsitas otak lebih besar untuk menyimpan memori dibandingkan kapasitas otak pada orang zaman sekarang. 

Hal ini dikarenakan orang zaman dahulu serba keterbatasan teknologi secara otomatis memaksa otak mereka untuk berpikir keras guna menciptakan alat untuk mempermudah aktivitas kehidupan mereka. Karena otak sering digunakan maka otak mengalami pelebaran kapasitas dalam menampung ingatan, 

sehingga otak mereka mampu menyimpan banyak informasi yang diperlakukan untuk keberlangsungan hidup mereka, 

dibandingkan dengan orang pada zaman sekarang yang dipermudah segala akses pemenuhan kebutuhan hidup mereka oleh kecanggihan teknologi sehingga mereka lebih sering mengaggurkan otak mereka karena tidak dipakai untuk berpikir yang membuat otak tidak bisa mengalami pelebaran kapasitas dalam menyimpan ingatan .

Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa tingkat kecerdasan tiap orang sejatinya berbeda-beda tergantung sejauh mana ia menjalani kehidupan atau mempergunakan otak mereka untuk berpikir. Jarang sekali kita mendengar ada yang mengatakan bahwa setiap anak mempunyai kecerdasan yang berbeda dan berlainan satu dengan yang lain. 

Bila kita lihat dalam ruang lingkup pendidikan kita,  kerap kali orang tua mengukur kecerdasan anak mereka dengan cara melihat nilai dari mata pelajaran matematika, sebagai contoh anak yang memiliki ingatan yang kuat terhadap rumus dan mampu mengelola angka pada mata pelajaran matematika diasumsikan sebagai anak cerdas, 

kemudian justru sebaliknya, kondisi miris yang sangat menyayat hati sekaligus menyedihkan adalah kerap kali dianggap tidak cerdas sama sekali serta disematkan label bodoh dan tidak bisa berpikir kepada anak-anak yang memiliki nilai rendah pada pelajaran matematika.

Pada dasarnya, cara setiap anak ketika belajar berbeda-beda dalam kata lain tiap anak memiliki pola belajarnya sendiri. karena semua itu erat berkaitan dengan kemampuan setiap anak dalam menyerap suatu materi yang didapatkan dari penyampaian guru di sekolah. 

kerap kali kita saksikan ada anak yang menggunakan gaya belajar dengan tenang, maksud gaya belajar yang tenang adalah anak tidak memiliki banyak gestur menggerakan tubuh ketika sedang belajar karena  dengan tenang akan menebalkan fokus mereka dalam belajar. sedangkan ada pula cara anak dalam belajar yang kemudian membutuhkan suasana belajar yang berlainan dari anak memiliki gaya belajar tenang, 

karena bagi mereka yang memiliki gaya belajar yang tenang dan tidak menggerakan bagian tubuh justru akan membuat mati nalar pada fungsi otak mereka, 

karena bagi anak-anak yang menerapkan gaya belajar dengan menggerakan anggota tubuh justru membuat mereka lebih cepat menangkap pelajaran yang ia serap (baik dari buku atau dari penyapaian orang lain bukan dari hasil perenung diri sendiri) daripada belajar dengan gaya tenang. ujarnya.

Penulis menggaris bawahi dengan garis tebal yang menandakan sebuah penegasan, bahwa mengerasi anak untuk bisa mendapatkan nilai pada salah satu mata pelajaran atau bidang tertentu merupakan bentuk lain dalam tindak kekerasan kepada anak. 

Sayang seribu sayang, perlakuan seperti itu kerap kali kita temukan dan kita rasakan sendiri. Guru dan orang tua dengan pemikiran dan kecerdasan yang rendah tidak akan pernah menyadari akan hal tersebut. Bahwa perlakuan yang bersifat memaksa tersebut sangat berdampak buruk pada mental mereka. 

Sebagai contoh contoh, memaksakan anak yang cerdas dalam bermain bola kemudian dipaksa untuk pintar bermatematika, ini adalah bukti nyata kekerasan yang tidak disadari oleh guru dan orang tua. 

Setiap anak sejatinya ditunjang oleh kecerdasan dan kepintaran. Namun dalam dalam hal ini menurut penulis kecerdasan memiliki derajat lebih tinggi bila dibandingkan dengan kepintaran. Kecerdasan anak-anak menjadi tidak dihargai pada saat kepintaran mereka menjadi tolak ukur yang menjadi sentimen standar kepintaran oleh masyarakat yang tak mendasar.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun