karena bagi anak-anak yang menerapkan gaya belajar dengan menggerakan anggota tubuh justru membuat mereka lebih cepat menangkap pelajaran yang ia serap (baik dari buku atau dari penyapaian orang lain bukan dari hasil perenung diri sendiri) daripada belajar dengan gaya tenang. ujarnya.
Penulis menggaris bawahi dengan garis tebal yang menandakan sebuah penegasan, bahwa mengerasi anak untuk bisa mendapatkan nilai pada salah satu mata pelajaran atau bidang tertentu merupakan bentuk lain dalam tindak kekerasan kepada anak.Â
Sayang seribu sayang, perlakuan seperti itu kerap kali kita temukan dan kita rasakan sendiri. Guru dan orang tua dengan pemikiran dan kecerdasan yang rendah tidak akan pernah menyadari akan hal tersebut. Bahwa perlakuan yang bersifat memaksa tersebut sangat berdampak buruk pada mental mereka.Â
Sebagai contoh contoh, memaksakan anak yang cerdas dalam bermain bola kemudian dipaksa untuk pintar bermatematika, ini adalah bukti nyata kekerasan yang tidak disadari oleh guru dan orang tua.Â
Setiap anak sejatinya ditunjang oleh kecerdasan dan kepintaran. Namun dalam dalam hal ini menurut penulis kecerdasan memiliki derajat lebih tinggi bila dibandingkan dengan kepintaran. Kecerdasan anak-anak menjadi tidak dihargai pada saat kepintaran mereka menjadi tolak ukur yang menjadi sentimen standar kepintaran oleh masyarakat yang tak mendasar. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H