"Satu, Â Dua, Tiga, Empat,..... Innalilllah, ini baru 4 langkah, rasanya sudah pegal banget ni ."
"Heh Husen lu jangan sambat, ayolah kita tetap kuat dan semangat ."
"Gimana ndak sambat, pergelangan sendi-sendiku sudah pada ngilu  mi..."
Fahmi coba memotivasi Husen yang tampak sambat menjalani takziran jalan jongkok oleh Mustahiq, gara-gara hafalan Alfiyahnya tidak target. Santri asal Jabot yang terkenal usil itu sebenarnya cerdas, sayang saja kecerdasanya tertutup oleh kemalasan yang menyelimuti Jati Dirinya.
Angin sepoi-sepoi khas dari arah gedung barat Muktamar, menembus melalui jendela dan ventilasi gedung An-Nahdoh, yang seketika mengeringkan keringat.
Fahmi dan Husain yang lagi jalan jongkok didepan kelas sepanjang gedung Ah-Nahdo, bila diukur kurang lebih panjangnya 300 M. Memanjang dari Utara keselatan, bisa dibayangkan betapa Gobyosnya keringat mereka berdua.
"Teeng, teng, teeeeeng, teng,." Lonceng panjang berbunyi, tanda waktu untuk pulang, namun si Husen dan Fahmi tidak langsung menyelesaikan takziran jongkoknya, Fahmi dan Husen musti menunggu perintah selesai dari Mustahiknya, meskipun Fahmi dan Husen terkenal malesan, tapi masalah adab tatakrama kepada Guru, mereka berdua Nomor satu, ditakzir model apapun rasanya tak pernah menggerutu dan menerima saja, hitung-hitung sebagai konsekuensi kenakalan.
"Sampun Kang Mbrangkangipun."
Setelah 15 Menit dengan bahasa kromo alus khasnya, bapak Mustahik mempersilahkan Fahmi dan husen untuk pulang dan memungkasi takziran.
Mereka Langsung lari ke, Warung Nafis "Kang Kopi ireng 2 saset gulone sesendok". Siap kang. "heeeeeh, miii, liat noh ada Ahmad, ayoh duduk di sampingnya."
"Madddd!!! Sehat lu Madddd?." Bentak husen