Mohon tunggu...
Nanang A.H
Nanang A.H Mohon Tunggu... Jurnalis - Pewarta

Penyuka Kopi Penikmat Literasi// Scribo Ergo Sum

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Mengapa Fenomena Lurking di Media Sosial Bisa Terjadi?

30 Oktober 2024   06:26 Diperbarui: 30 Oktober 2024   13:48 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pengguna media sosial sedang melakukan lurking (sumber:Kaboompics.com/Pexels)

Media sosial telah menjadi ruang interaksi dan ekspresi yang besar bagi generasi muda, khususnya Gen Z dan Milenial. Namun, ada satu fenomena menarik yang sering terjadi di platform-platform ini, yaitu 'lurking'. 

Istilah ini merujuk pada tindakan “mengamati tanpa ikut terlibat,” di mana seseorang hanya melihat atau mengikuti berbagai unggahan dan aktivitas pengguna lain tanpa pernah menyukai, mengomentari, atau berinteraksi secara langsung. 

Fenomena ini bisa dilihat di berbagai media sosial seperti Instagram, Twitter, hingga TikTok, dan menariknya, cukup banyak pengguna yang mengaku melakukannya. Namun, mengapa orang cenderung lurking, dan apa faktor-faktor yang menyebabkan perilaku ini?

1. Alasan Psikologis: Kebutuhan untuk Menjaga Privasi dan Menghindari Konflik

Media sosial adalah ruang publik di mana segala sesuatu yang kita unggah bisa dilihat oleh banyak orang, mulai dari teman hingga orang yang bahkan tidak kita kenal. Ketika seseorang memilih untuk menjadi lurker, sering kali alasannya adalah untuk menjaga privasi. 

Mereka enggan meninggalkan jejak yang bisa dilacak atau dinilai orang lain, khususnya dalam konteks yang bisa menimbulkan penilaian atau konflik. 

Bagi sebagian orang, keinginan untuk menjaga privasi menjadi sangat penting, sehingga memilih menjadi pengamat pasif adalah solusi terbaik untuk tetap mendapat informasi tanpa terlibat langsung.

Contoh Kasus Seseorang yang aktif membaca unggahan politik atau kontroversi di Twitter mungkin akan cenderung menghindari menyukai atau mengomentari unggahan tersebut, karena khawatir mendapat respons negatif atau dilibatkan dalam debat panjang.

2. Ketakutan Akan Penilaian Sosial atau FOMO (Fear of Missing Out)

Perasaan takut terhadap penilaian sosial atau “apa yang dipikirkan orang lain” juga menjadi penyebab utama lurking. Media sosial sering kali menjadi arena untuk menampilkan versi ideal dari diri kita sendiri, yang dapat menciptakan tekanan agar semua tindakan atau interaksi kita sempurna di mata orang lain. 

Hal ini bisa membuat beberapa pengguna memilih untuk lurking agar terhindar dari perasaan cemas akibat penilaian atau ekspektasi sosial yang tinggi.

Fenomena FOMO juga berperan. Banyak pengguna hanya ingin tahu apa yang terjadi, tanpa benar-benar merasa perlu ikut berpartisipasi. 

Mereka mengamati agar tetap mendapatkan informasi terbaru, tetapi menahan diri untuk tidak berinteraksi, baik karena takut terlibat lebih jauh atau karena tidak merasa cukup percaya diri.

3. Dampak Media Sosial yang Semakin Visual

Platform-platform media sosial seperti Instagram atau TikTok yang berfokus pada konten visual sering kali menciptakan tekanan tersendiri untuk menampilkan konten yang estetik. 

Bagi pengguna yang tidak merasa memiliki konten visual menarik atau sesuai standar platform, mereka cenderung lebih sering menjadi pengamat pasif.

Selain itu, lurkers sering kali merasa media sosial adalah hiburan semata atau sumber informasi, bukan platform di mana mereka merasa harus “ikut terlibat” atau “menjadi konten kreator”. 

Hal ini menunjukkan bahwa motivasi setiap pengguna berbeda, di mana beberapa orang merasa cukup menjadi pengamat yang pasif.

4. Budaya Work-Life Balance dan Konsumsi Konten Pasif

Khususnya bagi generasi muda seperti Gen Z, keseimbangan antara pekerjaan dan waktu pribadi atau work-life balance semakin menjadi prioritas. 

Ketika media sosial mulai terasa sebagai “tugas tambahan,” mereka cenderung hanya menonton atau mengamati tanpa berinteraksi lebih jauh, agar energi mereka tidak terkuras untuk aktivitas daring. 

Konsumsi konten pasif juga menjadi cara untuk “mendinginkan otak” setelah seharian penuh aktivitas.

5. Anxiety Sosial yang Menyertai Media Sosial

Kecemasan sosial atau social anxiety juga berperan besar dalam fenomena lurking. Banyak orang merasa takut atau cemas bahwa komentar atau interaksi mereka di media sosial bisa menjadi subjek perhatian atau penilaian negatif dari orang lain. 

Mereka memilih untuk “mengintip dari jauh” demi menjaga kenyamanan pribadi.

6. Algoritma Media Sosial dan Kebiasaan Mengonsumsi Konten

Algoritma platform seperti Instagram dan TikTok dirancang untuk menampilkan konten yang dianggap menarik bagi pengguna. Hal ini menciptakan pengalaman “mengonsumsi” konten secara pasif yang begitu personal dan disesuaikan dengan minat masing-masing. 

Dengan begitu, orang merasa sudah cukup dengan mengamati, karena algoritma media sosial sudah memenuhi kebutuhan informasional atau hiburan mereka tanpa perlu ikut berpartisipasi langsung.

Contoh KasusDi TikTok, misalnya, algoritma akan terus menampilkan video yang sesuai dengan minat pengguna. Hal ini membuat pengguna merasa puas hanya dengan menonton video tanpa perlu memberikan tanggapan apa pun.

Lurking, Berdampak Positif atau Negatif?

Menjadi lurker di media sosial bukanlah hal yang sepenuhnya negatif. Bagi beberapa orang, ini adalah cara yang sehat untuk tetap terhubung tanpa merasakan tekanan sosial yang terlalu besar. 

Namun, jika terus berlanjut, perilaku lurking ini bisa menjadi tanda dari masalah seperti kecemasan sosial atau bahkan fear of missing out yang berkepanjangan. 

Oleh karena itu, penting untuk menemukan keseimbangan, seperti sesekali berinteraksi, sekadar menyukai atau memberikan komentar positif, agar tetap merasa bagian dari komunitas tanpa mengorbankan kesehatan mental.

Fenomena lurking di media sosial adalah hasil dari banyak faktor, mulai dari kebutuhan menjaga privasi, ketakutan akan penilaian sosial, hingga kecenderungan pasif dalam mengonsumsi konten. 

Sifat alami media sosial sebagai ruang publik sering kali mendorong pengguna untuk lebih berhati-hati dalam bersikap, yang menyebabkan beberapa orang lebih nyaman hanya sebagai pengamat. 

Memahami fenomena ini bisa membantu kita lebih bijak dalam berinteraksi di media sosial dan menemukan cara yang lebih sehat untuk tetap berhubungan dengan dunia maya tanpa terjebak dalam tekanan sosial yang berlebihan.

Nah siapa yang masih melakukan lurking apa alasannya jawab dikolom komentar ya..hehe

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun