Mohon tunggu...
Nanang A.H
Nanang A.H Mohon Tunggu... Jurnalis - Pewarta

Penyuka Kopi Penikmat Literasi// Scribo Ergo Sum

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Belenggu yang Tak Terlihat

19 Agustus 2024   10:28 Diperbarui: 19 Agustus 2024   11:17 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang yang merenung karena terbelenggu hatinya (Sumber gambar: Unsplash)


Di sebuah desa terpencil yang jauh dari hiruk-pikuk kota, hidup seorang pemuda bernama Satria. Ia dikenal sebagai sosok yang baik hati, selalu membantu sesama, dan memiliki senyum yang tulus untuk siapa saja.

Namun, di balik senyumannya itu, Satria menyimpan luka mendalam yang tak pernah terlihat oleh orang lain.

Satria dibesarkan dalam keluarga yang menganut keyakinan agama yang berbeda dari mayoritas penduduk desa. Keluarganya adalah satu-satunya yang menganut keyakinan tersebut di desa itu.

Sejak kecil, Satria dan keluarganya sering menghadapi cibiran, pandangan sinis, bahkan penolakan dari masyarakat sekitar.

Namun, Satria selalu diajarkan oleh kedua orang tuanya untuk tetap rendah hati dan menghormati keyakinan orang lain, meski tak selalu diperlakukan dengan adil.

Ketika Satria beranjak dewasa, diskriminasi yang ia rasakan semakin nyata. Setiap kali ada acara desa, keluarganya jarang diundang. Jika pun diundang, mereka ditempatkan di sudut yang jauh, seolah-olah kehadiran mereka adalah suatu kesalahan.

Namun, puncak dari rasa sakit hati Satria terjadi ketika ia mulai merasakan cinta untuk pertama kalinya.

Satria jatuh cinta pada seorang gadis bernama Laras, yang juga tinggal di desa tersebut. Laras adalah gadis yang lembut dan penuh kasih sayang.

Keduanya sering bertemu di tepi sungai desa, tempat mereka berbagi cerita, tawa, dan mimpi. Bagi Satria, Laras adalah satu-satunya orang di desa yang tidak memandangnya dengan prasangka.

Namun, kebahagiaan mereka tak berlangsung lama. Ketika hubungan mereka diketahui oleh orang tua Laras, reaksi yang datang sangatlah keras.

Laras dilarang untuk bertemu dengan Satria lagi. Orang tuanya bahkan mengancam akan mengusir Satria dan keluarganya dari desa jika mereka tetap melanjutkan hubungan itu.

Laras menangis dan memohon pada orang tuanya, mencoba meyakinkan mereka bahwa cinta mereka tulus, dan agama seharusnya tidak menjadi penghalang.

Namun, hatinya hancur ketika orang tuanya menegaskan bahwa mereka lebih memilih anak mereka mati daripada melihatnya bersama seseorang yang berbeda keyakinan.

Satria yang mengetahui hal ini merasa dunia seakan runtuh di hadapannya. Ia merasa marah, sedih, dan tak berdaya. Namun, yang paling menyakitkan adalah rasa bersalah yang menghantui hatinya.

Ia merasa bahwa cintanya telah membawa kesulitan bagi Laras, seseorang yang ia cintai lebih dari apapun.

Dalam keputusasaan, Satria memutuskan untuk meninggalkan desa tersebut. Ia berharap dengan kepergiannya, Laras bisa hidup dengan tenang tanpa tekanan dari orang-orang di sekitarnya.

Pada malam yang gelap, Satria berkemas dan meninggalkan desa tanpa pamit pada siapa pun, kecuali keluarganya.

Di luar desa, Satria mencoba memulai hidup baru. Namun, rasa rindu pada Laras terus menghantui. Setiap malam, ia duduk di bawah langit yang penuh bintang, mengingat senyuman dan tawa Laras.

Ia sering bertanya pada Tuhan, mengapa cinta mereka harus diuji dengan cara yang begitu kejam. Mengapa kebebasan untuk mencintai dan berkeyakinan harus terbelenggu oleh prasangka yang begitu dalam?

Tahun demi tahun berlalu, namun Satria tidak pernah kembali ke desa. Ia mendengar kabar bahwa Laras telah menikah dengan pria lain yang dipilih oleh orang tuanya.

Meski hatinya terasa hancur, Satria hanya bisa berdoa agar Laras bahagia, meski tidak bersamanya.

Dalam kesendirian dan kesedihannya, Satria menyadari satu hal: meski ia telah meninggalkan desa itu, belenggu diskriminasi dan prasangka masih menghantuinya.

Kebebasan yang ia dambakan tak pernah benar-benar ia rasakan. Baginya, kebebasan adalah hak yang seharusnya dimiliki oleh semua orang, namun kenyataannya, masih banyak yang hidup dalam penjara tak kasat mata, terbelenggu oleh aturan dan pandangan yang mengekang.

Di akhir hidupnya, Satria hanya bisa berharap bahwa suatu hari nanti, cinta dan kebebasan bisa berjalan berdampingan tanpa ada lagi diskriminasi.

Hingga saat itu tiba, ia hanya bisa menerima takdirnya, hidup dalam belenggu yang tak pernah terlihat oleh mata, namun sangat nyata di hatinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun