Laras dilarang untuk bertemu dengan Satria lagi. Orang tuanya bahkan mengancam akan mengusir Satria dan keluarganya dari desa jika mereka tetap melanjutkan hubungan itu.
Laras menangis dan memohon pada orang tuanya, mencoba meyakinkan mereka bahwa cinta mereka tulus, dan agama seharusnya tidak menjadi penghalang.
Namun, hatinya hancur ketika orang tuanya menegaskan bahwa mereka lebih memilih anak mereka mati daripada melihatnya bersama seseorang yang berbeda keyakinan.
Satria yang mengetahui hal ini merasa dunia seakan runtuh di hadapannya. Ia merasa marah, sedih, dan tak berdaya. Namun, yang paling menyakitkan adalah rasa bersalah yang menghantui hatinya.
Ia merasa bahwa cintanya telah membawa kesulitan bagi Laras, seseorang yang ia cintai lebih dari apapun.
Dalam keputusasaan, Satria memutuskan untuk meninggalkan desa tersebut. Ia berharap dengan kepergiannya, Laras bisa hidup dengan tenang tanpa tekanan dari orang-orang di sekitarnya.
Pada malam yang gelap, Satria berkemas dan meninggalkan desa tanpa pamit pada siapa pun, kecuali keluarganya.
Di luar desa, Satria mencoba memulai hidup baru. Namun, rasa rindu pada Laras terus menghantui. Setiap malam, ia duduk di bawah langit yang penuh bintang, mengingat senyuman dan tawa Laras.
Ia sering bertanya pada Tuhan, mengapa cinta mereka harus diuji dengan cara yang begitu kejam. Mengapa kebebasan untuk mencintai dan berkeyakinan harus terbelenggu oleh prasangka yang begitu dalam?
Tahun demi tahun berlalu, namun Satria tidak pernah kembali ke desa. Ia mendengar kabar bahwa Laras telah menikah dengan pria lain yang dipilih oleh orang tuanya.
Meski hatinya terasa hancur, Satria hanya bisa berdoa agar Laras bahagia, meski tidak bersamanya.