Tulisan ini sebenarnya saya persiapkan sejak ada himbauan dari Pak Anies Baswedan untuk mengantarkan anak pada hari pertama masuk sekolah. Tapi karena ada agenda kegiatan lainnya, jadinya telat tayang. Keburu menterinya diganti.. hehe.. (Saya termasuk yang ikut menyayangkan pergantian Pak Anies, tapi saya maklum karena mungkin karakter baik saja tidak cukup untuk melakukan perombakan total dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya). Sebagian tulisan pernah saya posting di wall FB saya menjelang hari pertama masuk sekolah. Bedanya tulisan di sini agak beda lebih lengkap... begitu...Â
Sejak anak-anak masih kecil, masuk sekolah pertama selalu merupakan momen menarik. Sesibuk apapun, saya berusaha mengantarkan mereka masuk sekolah hari pertama. Pra TK, TK, SD, SMP, dan SMA, bahkan kalau perlu nanti waktu masuk PT. Berlebihan? Hmm.. Bisa ya, bisa tidak.Â
Waktu Pra TK, TK dan SD, saya menunggu hingga mereka masuk kelas. Memberikan kata-kata semangat disertai janji, "Mama tunggu di sini sampe kamu pulang". Waktu SMP, hanya cukup mengantarkan di sekolah, disertai kata-kata motivasi.Â
Tidak perlu menunggu karena permintaan, "Mama pulang aja, aku sudah besar". Saat SMA, beda lagi. "Udah Mama pulang aja, ada temenku kok", padahal Mamanya belum juga turun dari mobil lho.. Â Baiklah...Â
Masa Transisi Kehidupan
Masa masuk sekolah pertama adalah bagian dari transisi kehidupan. Dalam kehidupan ini, ada beberapa peristiwa yang merupakan transisi, misalnya : menikah, menjadi orangtua pertama kali, mulai bekerja, pensiun, hidup setelah anggota keluarga meninggal dan sebagainya.Â
Masa transisi adalah perubahan dari suatu kondisi ke kondisi lainnya yang membutuhkan kemampuan individu untuk beradaptasi pada kondisi baru agar tercapai kualitas hidup lebih baik (horeee... saya bisa bikin kalimat panjang nggak pake koma...).Â
Dalam masa transisi dari jenjang pendidikan sebelumnya ke jenjang pendidikan selainjutnya, anak perlu didampingi oleh orangtua/keluarganya. Mereka perlu tahu bahwa mereka tidak sendirian menghadapi masa transisi itu. Perubahan kondisi lingkungan fisik (sekolah baru, teman baru, pelajaran baru) yang akan berimbas pada konsekuensi psikologis dan sosial akan dijalani anak dengan baik bila ia tahu kita ada untuknya.Â
Perubahan kondisi kehidupan ini berpotensi memunculkan konflik pada individu yang bersangkutan. Pada anak-anak lebih kecil, konflik tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Melalui perilakunya, orang dewasa memahami bahwa mereka sedang punya masalah. Mana pernah ada anak usia 5 tahun yang ngomong ke ibunya begini, "Mama, aku ini mengalami tekanan psikis kalau berada dalam ruangan yang baru. Jadi, jangan paksa aku masuk sekolah karena paksaan itu bikin aku makin cemas!". Coba bayangkan kalau ada yang bisa ngomong begitu.. Apa nggak kena serangan jantung tuh si ibunya...Â
Dalam tiap masa transisi kehidupan, seseorang memerlukan orang lain untuk mendukungnya. Dukungan itu bermacam-macam bentuknya; hanya diam saja sambil tersenyum pun bisa jadi bentuk dukungan berharga, disesuaikan dengan kondisi dan jenis transisi kehidupan yang dijalani. Salah satu bentuk dukungan terhadap anak agar siap menghadapi masa transisi itu adalah memberikan bekal ketrampilan sosial dan hadir ketika mereka memasuki gerbang sekolahnya.Â
Anak-anak tidak tiba-tiba pandai bergaul. Tidak otomatis tahu bagaimana caranya beradaptasi dengan lingkungan baru. Orangtua perlu mengajarkannya. Bahkan kalimat sederhana seperti "Bilang haloo dengan teman barumu", perlu diajarkan.Â
Anak juga tidak tiba-tiba cerdas emosional. Mereka perlu belajar membedakan ekspresi emosi sehingga bisa menanggapi dengan tepat. Makin tinggi jenjang pendidikan, makin perlu ketrampilan "membaca" ekspresi emosi orang lain dikuasai. Inilah peran orangtua yang bisa dilakukan sebelum anak-anak masuk kembali.Â
Sejak dulu, saya selalu membawa anak-anak untuk mengenal dulu sekolahnya sebelum mereka masuk. Hal ini membuat mereka merasa "akrab" sebelum benar-benar duduk di dalam kelas. Hasilnya? Keduanya tidak menangis waktu masuk TK! Ng...ng... Ibunya yang nangis ding... hahaha... Hayooo.. siapa yang nangis juga waktu lihat bayinya tiba-tiba masuk sekolah? Biasanya menimpa ibu yang anaknya masuk Pra TK dan TK.. :D
Menjelang masuk ke jenjang pendidikan lebih tinggi, sekalipun bersekolah di gedung yang sama, anak-anak merasa gugup. Banyak pertanyaan dalam benak mereka. Seperti apa ya teman-temanku nanti, siapa yang duduk di sebelahku, kakak kelasnya kayak apa ya, nanti MOS diapain aja ya, dan sebagainya.Â
Mungkin bagi orangtua, pertanyaan-pertanyaan itu nggak penting banget. Karena kita sudah ketemu dengan masalah-masalah lain yang lebih besar.. hehe... Tapi bagi mereka, itulah masalah besar yang akan dihadapi.Â
Tahapan Psikososial Menurut Erikson
Setiap individu akan mengalami tahap perkembangan psikososial. Itu kata Erikson lho, bukan saya. Siapa itu Erikson? Silakan searching di Google.. hehe... Dalam usia sekitar 1 - 3 tahun, anak-anak belajar untuk mengembangkan keberanian dan kepercayaan diri.Â
Pada masa ini anak-anak belajar untuk berjalan, berkomunikasi, berinteraksi dan sebagainya. Respon orangtua akan mendukung atau bisa juga menghambat anak untuk meraih keberanian. Misalnya dia belajar naik tangga, tapi ditakuti dengan teriakan, "Awas jatuh! Jangan naik-naik! Nakal ini!".. Ya nggak heran kalau anak jadi penakut.Â
Usia 6 - 11 tahun anak akan belajar mengembangkan kemampuan interaksi sosial, fisik dan intelektual. Bila tugas ini berhasil, maka anak akan memiliki kompetensi. Namun bila anak tidak berhasil, ia akan merasa rendah diri karena tidak kompetensi dalam tugas akademik, sosial, dan sebagainya. Oleh karena itu, dukungan orangtua diperlukan. Sejak awal anak-anak akan "memikul" tugas sosial ini, orangtua perlu terlibat. Salah satu momen berharga tersebut adalah hari pertama sekolah.Â
Itulah dua tahapan psikososial sebagai contoh masa transisi dalam kehidupan seorang anak. Masih ada beberapa tahapan lagi sih, nanti saya tuliskan di kesempatan lain ya..Â
Bahagianya Anak Kalau Didampingi Masuk Sekolah Pertama Seperti...Â
Himbauan Menteri Anies Baswedan untuk para orangtua agar mendampingi anak-anaknya direspon positif dan negatif. Saya tidak ingin terlibat dalam perdebatan itu. Saya hanya ingin memberikan gambaran saja bagaimana rasanya didampingi orangtua ketika pertama kali masuk ke jenjang pendidikan lebih tinggi.Â
Anak-anak mungkin belum punya kosakata cukup untuk mengungkapkan kebahagiaannya didampingi orangtua saat mereka masuk sekolah pertama kali. Apalagi kalau masih TK. Kita hanya bisa mengamati dari perilakunya.Â
Sebelum membahas lebih lanjut soal itu, apakah ada yang seneng banget waktu punya bayi pertama kali dulu, ada orangtua/keluarga yang menemani? Membantu mencuci popok, menjaga si bayi ketika ortunya kerja, menggendong saat bayi mau tidur dsb.. Rasanya sebagian beban hilang sejenak. Membuat para ibu baru merasa bisa momong anaknya karena ada yang mendukung. Ya khan?Â
Trus waktu pertama kali dapat panggilan kerja? Sebelum wawancara kerja, siapa yang mendampingi? Siapa yang paling heboh menyiapkan baju, mendoakan, dan berharap cemas menunggu hasil wawancara itu? Gimana rasanya didukung dalam saat-saat itu?Â
Kedua kondisi di atas adalah contoh masa transisi. Perubahan status psikis dan sosial pasti membawa konsekuensi. Secara teori mereka tahu apa harus dilakukan, tapi secara mental belum tentu siap. Kita membutuhkan orang lain untuk mendukung kita melalui masa transisi.Â
Pertanyaan saya, kalau orang dewasa saja membutuhkan orang lain untuk mendukungnya, mengapa anak-anak harus melaluinya seorang diri?
Ya, khan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H