Mohon tunggu...
Naftalia Kusumawardhani
Naftalia Kusumawardhani Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis (Remaja dan Dewasa)

Psikolog Klinis dengan kekhususan penanganan kasus-kasus neurosa pada remaja, dewasa, dan keluarga. Praktek di RS Mitra Keluarga Waru. Senang menulis sejak masih SMP dulu hingga saat ini, dan sedang mencoba menjadi penulis artikel dan buku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mencoba Memahami Mengapa SN Merasa Terjebak?

8 Desember 2015   01:51 Diperbarui: 8 Desember 2015   01:58 2022
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kasus rekam merekam pembicaraan sedang jadi trending topic akhir-akhir ini. Memang rekaman apalagi ditambah video adalah senjata ampuh melawan pihak lain. Perdebatan tentang keabsahan rekaman tak kunjung habis. Saya teringat pengalaman tahun lalu ketika harus "mengancam" pihak lain untuk saya rekam.

Suatu kali anak saya dituduh gurunya menghilangkan/mengambil raket milik sekolah. Bukan hanya dia saja, tapi bersama dengan beberapa teman lainnya. Masing-masing anak diminta ganti rugi sekian ratus ribu rupiah. Wah! Ada orangtua siswa yang langsung bayar karena kuatir anaknya "diapa-apakan" gurunya. Saya tidak terima begitu saja anak saya dituduh seperti itu.

Setelah dapat laporan dari anak saya, saya datang ke sekolah. Menemui kepala sekolah dan minta penjelasan tentang tuduhan tersebut. Kepala sekolah memanggil guru yang menuduh dan menyuruh minta ganti rugi. Si guru itu berkelit ketika saya "sidang" kronologis hilangnya raket. Jawaban yang berputar-putar bikin saya jengkel, apalagi si guru menantang kalau saya tidak mau bayar ya sudah. Hmmm... Ini namanya cari masalah!

Saya jawab tantangannya dengan mengeluarkan HP yang sudah saya charge full baterainya. Saya katakan kalau saya akan rekam semua pembicaraannya, dan kalau ternyata anak saya salah, maka saya akan bayar sesuai tuntutan dia. Tapi kalau ternyata anak saya dan teman-temannya tidak salah, maka rekaman itu akan saya gunakan untuk proses lebih lanjut. Tentunya nada suara saya bukan lemah lembut ya. Kepsek dan guru tampak tidak bisa berbuat apapun.

Sikapnya berubah. HP saya on-kan. Lalu saya katakan, "Silakan mulai cerita, Pak". Proses selanjutnya tidak penting, hasil akhirnya anak saya dan teman-temannya tidak salah. Bahkan uang yang sudah terlanjur dikumpulkan dikembalikan lagi ke orangtua. Namun tidak semua orangtua senang dengan hal itu. Mereka menunjukkan sikap tidak nyaman terhadap saya. Saya paham kekuatiran mereka tentang nilai-nilai anak-anaknya. Ya terserah mereka sih..

Kenapa saya tidak kuatir dengan perlakuan guru ke anak saya? Karena saya wanti-wanti pada guru itu, di akhir rekaman, kalau sampai terjadi perubahan nilai pada anak saya, saya tahu siapa yang melakukannya...hahaha.. Galak bener nih ibuknya... Ya iyalah, kalau anak kita dituduh maling, padahal kita tahu persis karakternya tidak demikian, ya kita wajib membelanya, agar anak tahu bahwa kalau dia benar maka tidak ada yang perlu ditakutkan.

Ancaman merekam kedua kalinya saya lakukan terhadap orangtua anak yang melecehkan anak saya (artikel saya sebelumnya). Rupanya ancaman itu ampuh. Membuat ayah si pelaku terdiam. Padahal HP saya sudah siap lho. Sudah saya taruh di atas meja. Merknya sama seperti punya pak Maroef (ternyata merk S itu emang bagus untuk merekam..hahaha... *salah fokus*).

Mencoba Memahami Kekagetan SN

Dari kasus SN, saya mencoba memahami mengapa SN kaget dan merasa seperti dikhianati. Dia mengklaim bahwa dirinya dizolimi. Sejak pandangan pertama, eh ..pertemuan pertama, SN sudah mengendus peluang bisnis. Insting bisnisnya bekerja bak radar Doraemon. Apalagi mungkin SN melihat gelagat MS butuh dibantu. Bisa jadi gelagat itu diungkapkan secara non-verbal.

Nah, yang men-verbal-kan kebutuhan ketemu lebih lanjut pada akhir pertemuan pertama itu SN (menurut MS). SN sendiri mengatakan memang ada pertemuan di kantornya, tapi menolak untuk mengakui bahwa inisiatif pertemuan kedua berasal darinya. Mungkin yang dia maksudkan tapi tidak mampu menunjukkan adalah isyarat non-verbal itu. Macam pemuda yang jatuh hati pada seorang gadis dan yakin si gadis bakalan balas perasaannya karena merasakan isyarat "okay... deketin aku". Kayaknya ada yang lebih pinter di sini...hehehe...

Dari pertemuan kedua, bisa jadi SN merasa MS adalah "orang kita juga". Ingroup. Bahasa Suroboyo-nya itu bolo dhewe. Udah ngrasa satu klik, satu geng. Dipersatukan oleh kebutuhan yang sama. Yang satu butuh kepastian kelangsungan bisnisnya, yang satu butuh punya kebun duit. Klop dah. Ternyata oh ternyata... Tak dinyana, si konco dhewe ini merekam semua omongan mereka.

Omongan plus bualan ada semua di sana. Si konco-plek mengecewakan. Rekaman dilaporkan ke bosnya. Dilaporkan pula ke atasan sektornya. Jelas aja gelagapan SN dan MR. Udah kadung mbual sembarang kalir. Ngomong nggak pake diatur. Malu dong...

Udah ngatain Presiden koppig (bacanya koj-peg, dengan e ditelan), egonya ketinggian, trus mbual pisan tentang peran penting mereka dalam ngatur negara ini. Saking nyamannya mereka berdua di depan MS, omongan apapun nggak pake difilter. Dikeluarin semua. Belum tentu mereka berdua akan ngobrol sebebas itu dengan orang lain yang tidak dianggap orang lingkaran dalam. Bisa dibayangkan khan, ketika tiba-tiba, tanpa informasi sebelumnya, ramai berita SN dituduh mencatut nama Presiden dan Wapres. Dasar tuduhan adalah rekaman bualan mereka. Kalau orang Suroboyo bilang, "Mati koen..". Lalu terjadilah seperti yang ramai diberitakan media massa.

Apakah dalam hal ini sebaiknya MS ngasih info lebih dulu dan minta ijin SN kalau rekaman itu bakal dijadikan dasar pengaduan? Kira-kira SN bakal jawab apa ya? *sudah jelas jawabannya hehehe...*. Bisa dipahami kalau SN merasa MS berkhianat terhadap persahabatan mereka. Bisa dipahami juga kalau SN merasa "terjebak" dalam jebakan batman MS. Padahal mengindari jebakan batman itu gampang banget.. Setidaknya ada 4 cara (menurut survey kecil-kecilan) yaitu :

1. Lewat di bawah jebakan itu. Dijamin nggak bakalan kena.

2. Panggil si Batmannya dong. Suruh minggirin jebakannya. Naruh jebakan kok sembarangan. Anak saya aja kalau udah selesai main, saya suruh kembalikan ke tempatnya.

3. Panggil si Robin karena dia pasti punya penawarnya.

4. Terakhir, bawa gunting yang tajem banget. Tinggal crashh...crassh...selesai deh.

Eh ini tadi mau ngomong apa sih? Ndadak lupa... Oya, jebakan batman MS. Kalau SN dan MR tidak merasa sangat nyaman dengan MS, tidak mungkin mereka bicara seterbuka itu. Ini semacam kode komunikasi.

"Loe punya rahasia gue, en gue juga punya rahasia loe". Mereka yakin dan percaya diri karena mereka punya rahasia MS juga. Hanya saja mereka tidak menyangka, pada suatu titik pembicaraan, MS punya pertimbangan lain. MS lalu melaporkan rekaman itu.

Lepas dari berbagai kepentingan politik lainnya, atau juga pertarungan antar kubu, saya melihat ada konflik relasi sosial di antara mereka bertiga. Dalam relasi sosial selalu terjadi barter. Transaksi sosial. Ketika salah satu pihak merasa "terancam" dan tidak nyaman, dia akan berusaha untuk melindungi dirinya. Itulah yang dilakukan MS. Namun motif yang sesungguhnya perlu digali lagi.

Karena bila MS sudah menangkap isyarat bakal terintimidasi oleh kedua 'sahabatnya' itu, mengapa dia tidak berkonsultasi dengan ahli hukum perusahaan? Tidak mungkin perusahaan sekelas Freeport tidak punya ahli hukum. Jarak sosial paling dekat antara Presdir adalah dengan perangkat SDM perusahaan. Tapi MS memutuskan maju sendirian untuk masuk ke jebakan batman itu (jadi sebetulnya siapa masuk perangkap siapa?). Mengapa? Terus terang saya tidak punya jawabannya.

Mungkin juga hal ini yang ditangkap oleh kubu SN yang kemudian mempersoalkan keabsahan rekaman, motif MS, bahkan SN pernah berucap kalau peristiwa ini seperti pemerasan baginya. Bisa dipahami hal itu. Tapi tetap tidak menghilangkan fakta tentang ucapannya dalam rekaman (yang mati-matian tidak dia akui dalam sidang MKD hari ini). Fakta bahwa sebagai ketua DPR ia telah mengata-ngatai Presiden dan sejumlah hal lainnya. Tidak sepantasnya SN bicara seperti itu. Tapi ya apa daya, semua sudah terlanjur. Upaya mengelak bahwa suara dalam rekaman itu adalah suaranya bakal terus dilakukan.

Apa yang salah dalam kasus SN ini? Jawabannya cuman satu : Salah milih teman dan naruh kepercayaan! Hahaha... Lalu moral of the story? Uang dan sahabat bisa menyelamatkannyamu dari masalah yang kamu timbulkan. Oleh karena itu, perbanyaklah temanmu dan tanamkan pohon balas budi dengan uang yang kamu punya. *ajaran sesat deh*

Sudah dulu. Ngantuk. Mikir sidang MKD ini bikin kepala mumet..

Sidoarjo, 01.50.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun