Tidak terasa genap sudah satu tahun pandemi akibat Corona Virus Disease (COVID-19) mewabah di Indonesia. Tentunya banyak permasalahan bagi masyarakat yang disebabkan oleh virus Corona ini, mulai dari permasalahan dalam bidang kesehatan, pendidikan, perekonomian, hingga kelingkungan. Begitu pula dengan institusi rumah sakit dalam melawan COVID-19 ini, mereka tidak hanya berfokus memberikan pelayanan dan fasilitas yang baik bagi pasien COVID-19 atau non-COVID-19, tetapi juga menangani pengelolaan limbah medis yang pada saat ini meningkat drastis. Peningkatan volume limbah medis bekas penanganan COVID-19 ini disebabkan oleh penanganan pasien COVID-19 yang memerlukan lebih banyak masker, kacamata, pakaian pelindung, dan sebagainya.
Peningkatan volume limbah medis COVID-19 ternyata tidak diseimbangi dengan baiknya fasilitas pengelolaan limbah oleh rumah sakit. Harus diakui bahwa tidak ada negara yang siap dengan matang dalam menghadapi pandemi COVID-19, begitu pula dengan Indonesia. Jumlah fasilitas pengelolaan limbah medis yang dimiliki rumah sakit di Indonesia masih terbatas (Prasetiawan, 2020). Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa dari total 2.889 rumah sakit yang beroperasi, baru 110 rumah sakit saja yang memiliki fasilitas insinerator berizin (Soemiarno, 2020).
Dampaknya, banyak limbah medis COVID-19 yang dibuang sembarangan, seperti pembuangan limbah medis COVID-19 di TPA Bandar Lampung yang dilakukan oleh pihak rumah sakit, penemuan limbah masker dan baju pelindung di muara Sungai Marunda dan Cilincing, dan terdapat pula pengakuan masyarakat yang mendapati ambulans datang untuk membuang limbah medis di TPA (Islam, 2021). Fakta-fakta ini seakan dilupakan pemerintah karena berfokus pada himbauan pakai masker, jaga jarak, cuci tangan saja.
Sungguh ironis sekali melihat rumah sakit melakukan tindakan seperti ini. Rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan yang memiliki fungsi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan sebagaimana tertera dalam Pasal 5 UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit malah melakukan pembuangan limbah medis COVID-19 sembarangan.
Dalam kasus pembuangan limbah medis COVID-19 sembarangan ini termasuk dalam tindak pidana yang tidak mungkin hanya dilakukan oleh satu orang saja. Pastinya ada orang yang bertindak sebagai penyuruh dan pelaksana. Oleh karena itu, pidana korporasi dinilai sebagai konsep yang tepat untuk menghukum semua yang terlibat dalam kasus pembuangan limbah medis sembarangan ini. Namun, dapatkah Rumah Sakit dipertanggungjawabkan?
Bahaya Limbah Medis Bekas Penanganan COVID-19
Dalam menjalankan fungsinya sebagai institusi pelayan kesehatan, rumah sakit menghasilkan buangan bekas aktivitasnya yang terdiri dari limbah medis dan limbah nonmedis. Hal yang menjadi titik perhatian di sini adalah limbah medis, karena limbah tersebut terkontaminasi dengan bakteri, virus, racun, atau bahan radioaktif yang berbahaya bagi makhluk hidup (Asrun, Sihombing, & Nuraeni, 2020). Pembagian limbah medis terdiri dari limbah cair yang mengandung mikroorganisme, bahan kimia, atau radio aktif; limbah klinis yang berasal dari pelayanan medis, perawatan gizi, veteranary¸farmasi, atau limbah lain hasil pengobatan dan penelitian; serta limbah plastik (Leonita & Yulianto, 2014).
Berdasarkan data per Oktober 2020 (enam bulan setelah kasus pertama COVID-19 di Indonesia) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), volume limbah medis meningkat sekitar 30-50 persen dibandingkan dengan sebelum terjadinya pandemi (Putri, 2021). Tentunya peningkatan volume yang signifikan ini beriringan dengan penanganan limbah medis yang kurang baik. Contohnya di kawasan Kebun Kelapa Sawit milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII Bogor, ditemukan limbah medis berserakan, seperti baju hazmat, masker, jarum suntik, infus, dan botol obat bekas (Islam, 2021). Tidak hanya itu, pernah ditemukan pula limbah masker APD di muara sungai Marunda dan Cilincing (Islam, 2021). Terdapat juga pengakuan masyarakat yang tinggal di sekitar TPA Kota Tual, Maluku mendapati ambulans datang untuk membuang limbah medis di sana (Tim Redaksi Kompas, 2021).
Memasuki masa vaksinasi seperti sekarang ini, permasalahan mengenai limbah medis tidak kunjung usai. Pasalnya, Direktur Penilaian Kinerja Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Non B3, dari KLHK, Sinta Saptarina, menyatakan bahwa Program vaksinasi COVID-19 di Indonesia berpotensi memunculkan 7.578.800 kg limbah medis (Tim Redaksi Liputan6, 2021). Dari angka tersebut, kasus-kasus pembuangan limbah medis sembarangan masih menghantui masyarakat. Sebenarnya seberapa membahayakan limbah medis khususnya limbah medis bekas penanganan COVID-19 ini?
Limbah rumah sakit adalah semua limbah yang dihasilkan dari kegiatan rumah sakit yang berbentuk padat, cair, gel, atau gas. Limbah tersebut besar kemungkinan mengandung mikroorganisme pathogen yang bersifat infeksius (berpotensi menularkan penyakit), memiliki bahan kimia beracun, dan sebagian bersifat radioaktif (Indonesian Environment and Energy Center, 2016). Begitu pula dengan limbah medis COVID-19 yang tidak kalah membahayakan karena memiliki besar kemungkinan ditempeli virus Corona.
Berdasarkan Lampiran I PP Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), limbah medis yang berasal dari rumah sakit termasuk kedalam limbah B3. Artinya, limbah medis dapat mencemari, merusak, dan membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta keberlangsungan makhluk hidup lain. Dari sini dapat disimpulkan bahwa limbah medis COVID-19 yang berasal dari rumah sakit dan yang menjadi pokok bahasan tulisan ini termasuk kedalam limbah B3.
Pada dasarnya, pengelolaan limbah medis COVID-19 memiliki cara-cara tertentu. Seperti yang tertera dalam Surat Edaran Menteri LHK No. SE.02/PSLB3/PLB.3/3/2020 tentang Pengelolaan Limbah Infeksius Limbah B3 dan Sampah Rumah Tangga dari Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19) yang mengatur bahwa pengeloaan limbah infeksius penanganan COVID-19 melalui tiga tahapan, yaitu (1) penyimpanan limbah infeksius dalam kemasan tertutup (2) mengangkut atau memusnahkan dengan insinerator atau autoclave (3) residu hasil proses sebelumnya diberikan simbol “Beracun” dan label limbah B3 yang selanjutnya disimpan dalam penyimpanan sementara limbah B3 untuk diserahkan pada pengelola limbah B3.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa limbah medis COVID-19 termasuk dalam Limbah B3. Sesuai dengan Pasal 104 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau yang biasa disebut UU Lingkungan Hidup, tindakan pembuangan limbah medis sembarangan (tanpa mengikuti prosedur penanganan limbah medis B3) merupakan tindak pidana. Karena termasuk ke dalam lingkup hukum pidana, artinya tindakan pembuangan limbah medis COVID-19 merugikan kepentingan umum (Kansil, 1989).
Terdapat dua potensi bahaya dari limbah medis bekas penanganan COVID-19, yang dapat berupa masker bekas, sarung tangan bekas, perban bekas, tisu bekas, plastik bekas minuman dan makanan, kertas bekas makanan dan minuman, alat suntik bekas, set infus bekas, baju pelindung bekas, dan sisa makanan pasien (Oktari, 2020). Potensi tersebut meliputi potensi infeksi dan potensi pemanfaatan limbah medis ilegal (Nasir, 2020). Pertama, mengenai potensi infeksi, terdapat penelitian bahwa penyebab COVID-19 adalah virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) yang mampu bertahan dalam suhu dan kelembapan tertentu. Dibutuhkan waktu beberapa hari bagi virus tersebut untuk menonaktifkan penularannya terhadap manusia, tergantung pada bahan yang ditempelinya (Chin, 2020). Apabila limbah medis dibuang sembarangan, terlebih lagi di kawasan sekitar masyarakat, maka dikhawatirkan dapat menularkan penyakit bagi masyarakat sekitar. Jika seperti itu, timbullah permasalahan baru di tengah upaya memutus mata rantai penularan COVID-19.
Kedua, mengenai potensi pemanfaatan limbah ilegal. Terdapat suatu kasus di Purbalingga bahwa limbah medis berupa suntikan diolah kembali menjadi mainan anak-anak dan limbah medis berupa botol bekas vaksin diolah menjadi botol parfum (Anugrah, 2020). Kasus lain yaitu pengelolaan kembali masker bekas pakai menjadi masker baru di Bandung (Kompas, 2020). Hal ini tentu sangat berbahaya, mengingat limbah medis besar kemungkinan membawa virus, bakteri, atau zat berbahaya lainnya. Serta virus, bakteri, atau zat berbahaya lainnya itu tidak bisa dihilangkan dengan cara yang biasa saja, diperlukan cara-cara tertentu seperti yang telah diatur pemerintah.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa limbah medis merupakan limbah yang sangat berbahaya apabila tidak dikelola sesuai prosedur dan dibuang secara sembarangan. Hal tersebut dikhwatirkan akan mengganggu kesehatan masyarakat dan keseimbangan lingkungan. Ditambah lagi, pengelolaan limbah medis COVID-19 secara ilegal menimbulkan keresahan masyarakat.
Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Tindakan Pembuangan Limbah Medis Secara Sembarangan
Dalam masa seperti sekarang ini, masih banyak oknum rumah sakit yang dengan sengaja membuang limbah medis COVID-19 secara sembarangan. Seperti contoh di TPA Bakung Kota Bandar Lampung ditemukan limbah medis COVID-19. Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandar Lampung menduga bahwa tindakan tersebut dilakukan oleh Rumah Sakit Urip Sumoharjo (KompasTV, 2021). Untuk kasus seperti demikian, tidaklah adil apabila yang dijatuhi hukuman adalah pelaksananya atau orang yang disuruh untuk membuangnya di TPA. Maka dari itu, dapatkah rumah sakit sebagai korporasi dijatuhi hukuman pidana atas kasus ini?
Perlu diketahui bahwa rumah sakit sebagai sebuah salah satu fasyankes (Fasilitas Pelayanan Kesehatan) memiliki kewajiban untuk mengelola limbah-limbah berbahaya tersebut dan melarang membuangnya secara sembarangan. Untuk itu, setiap rumah sakit harus memiliki fasilitas pengelolaan limbah sendiri sesuai dengan KepMenkes RI No. 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit.
Terkait dengan pidana korporasi, KUHP yang berlaku sekrang memanglah belum mengatur mengenai pidana korporasi. Namun, tuntutan zaman menjadi pendorong untuk mengadopsi konsep pidana korporasi. Hal ini disebabkan terdapat tindakan pidana yang apabila hanya dijatuhkan pada pengurusnya dianggap tidak adil. Serta dapat mencegah oknum-oknum yang terlibat tapi tidak bertanggungjawab. Dengan diadopsinya pidana korporasi, diharapkan petinggi korporasi dapat terpacu untuk mengelola korporasinya agar berjalan sesuai dengan kewajibannya (Krismen, 2019).
Perlahan hukum positif di Indonesia pun mengatur mengenai pidana korporasi. Korporasi mulai menjadi subjek hukum pidana dimulai dengan ditetapkannya UU Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi (Nasution, t.thn.). Kemudian mulai bermunculan pengaturan tentang pertanggungjawaban korporasi di perundang-undangan lainnya, salah satunya yaitu UU Lingkungan Hidup.
Untuk dapat menjawab apakah rumah sakit dapat dijatuhi pidana, harus dipahami terlebih dahulu apa itu tindak pidana korporasi. Berdasarkan Pasal 3 PerMa No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Korporasi menyatakan bahwa “Tindak pidana oleh Korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan kerja, atau berdasarkan hubungan lain, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang bertindak untuk dan atas nama Korporasi di dalam maupun di luar Lingkungan Korporasi.” Adapun teori-teori pidana korporasi, yaitu:
1. Teori Strict Liability
Pertanggungjawaban korporasi hanya berdasarkan bunyi undang-undang tanpa memandang siapa yang melakukan kesalahan (Hiariej, 2014).
2. Teori Pertanggungjawaban Pengganti / Vicarious Liability
Dalam pertanggungjawaban ini, korporasi bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh pekerjanya, tanpa melihat kedudukan jabatan (Wibisana, 2016).
3. Teori Identifikasi
Suatu korporasi dapat melakukan kejahatan melalui individu yang memiliki posisi tinggi (directing mind) dan bertindak untuk dan atas nama korporasi (Wibisana, 2016).
4. Teori Agregasi
Pertanggungjawaban dapat dibebankan pada badan hukum apabila terdapat tindakan A tidak memenuhi unsur delik, B tidak memenuhi unsur delik, tetapi perbuatan A digabung dengan B memenuhi unsur delik (Wibisana, 2016).
5. Teori Model Organisasi
Badan hukum dapat dipertanggungjawabkan pidana apabila seseorang melakukan tindak pidana yang mana badan hukum tersebut mengizinkan perbuatan tersebut (Hiariej, 2014).
Tindakan rumah sakit yang membuang limbah medis COVID-19 sembarangan ini dapat melanggar beberapa pasal dalam UU Lingkungan Hidup. Pasal yang dapat dikenakan yaitu Pasal 103 apabila rumah sakit tersebut tidak mengelola limbah tersebut sesuai dengan yang tercantum pada Pasal 59 UU Lingkungan Hidup dan PP Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Dapat pula dikenakan Pasal 104 UU Lingkungan Hidup apabila rumah sakit tersebut membuang limbah tersebut ke media lingkungan tanpa izin.
Dapat dipahami bahwa pasal yang dapat menjerat rumah sakit atas tindakan pembuangan limbah medis COVID-19 sembarangan yaitu Pasal 103 atau Pasal 104 UU Lingkungan Hidup. Lalu apakah rumah sakit sebagai korporasi dapat dipidanakan menggunakan UU tersebut? Bersasarkan Pasal 116 dan Pasal 118 menyatakan yang dapat bertanggung jawab adalah badan hukum dan/atau orang yang memberi pemimpin tindak pidana tersebut dapat. Terdapat pula pendapat Andri G. Wibisana bahwa UU Lingkungan Hidup memiliki kemungkinan diterapkannya teori vicarious liability dan pertanggungjawaban pribadi dari pemberi perintah tindak pidana tersebut (Wibisana, 2016). Jadi, rumah sakit dapat dijerat menggunakan Pasal 103 atau Pasal 104 UU Lingkungan Hidup.
Kemudian, apa sanksi yang bisa dijatuhkan untuk rumah sakit? Pada dasarnya sanksi yang dapat ditetapkan berupa denda dan dapat ditambah dengan pidana tambahan atau tindakan tata tertib seperti yang tercantum dalam Pasal 119 UU Lingkungan Hidup. Pidana tambahan atau tindakan tata tertib tersebut meliputi (1) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; (2) penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan; (3) perbaikan akibat tindak pidana; (4) pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun. Sanksi ini jelas akan membuat pihak rumah sakit jera dibandingkan dengan tanggung jawab pribadi yang hanya merugikan satu pihak.
Dengan demikian, rumah sakit dapat dipidana atas tindakan pembuangan limbah COVID-19 sembarangan ini. Diharapkan seluruh oknum yang terlibat dalam kasus pembuangan limbah COVID-19 bisa turut terkena dampaknya. Hal ini dapat pula mencegah petinggi rumah sakit yang menjadikan bawahannya sebagai korban. Selain itu, pihak rumah sakit akan terpacu untuk lebih bertanggungjawab atas segala tindakannya.
Mengingat limbah medis COVID-19 adalah limbah B3 yang berisiko menularkan virus Corona kepada sekitarnya, maka diperlukan pengelolaan khusus yang harus diawasi secara ketat. Apabila rumah sakit melakukan tindakan pembuangan limbah medis COVID-19 artinya rumah sakit tersebut tidaklah sejalan dengan fungsi rumah sakit yaitu untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan. Selain itu, pembuangan limbah medis COVID-19 sembarangan bertentangan dengan cita-cita pemerintah untuk memutus rantai penyebaran virus Corona. Maka dari itu, rumah sakit yang melakukan tindak pidana seperti ini harus ditindak tegas.
Pasal 103 dan 104 dalam UU Lingkungan Hidup adalah salah satu pasal yang dapat menjerat rumah sakit sebagai korporasi atas tindakan limbah medis COVID-19 sembarangan. Sanksi yang dapat dijatuhkan pun cukup membuat rumah sakit tersebut jera. Jadi, daripada memidanakan perseorangan yang hanya merugikan satu pihak, akankah lebih baik memidanakan korporasinya. Hal ini bertujuan agar semua pihak yang terlibat merasa jera dan dapat menakut-nakuti korporasi lain agar tidak melakukan pembuangan limbah medis COVID-19
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H