Memasuki ruangan ketiga, rombongan kami dibagi menjadi dua kelompok. Bapak Guide menyampaikan bahwa kapasitas maksimum ruangan ketiga hanya 7 orang. Hal ini disebabkan karena ruangan ini hanya berukuran 2 x 9 meter. Ruangan ketiga adalah Ruang Senthong atau ruang cermin yang akan membawa pengunjung menjelajahi ruang gemerlap penuh imajinasi tentang cerita Multatuli sang pendobrak antikolonialisme. Ruangan ini dikelilingi oleh cermin datar hingga ke langit-langit ruangan, disetting dengan pencahayaan minim cenderung gelap serta dihiasi dengan instalasi seni lampu yang meninggalkan kesan artistik.Â
Ruangan berikutnya yang kami masuki adalah Ruang Merah. Sesuai dengan namanya, dinding ruangan ini didominasi oleh warna merah dengan display sejarah yang dicetak dalam bentuk bujur sangkar dan ditempel di dinding. Ruang ini menceritakan kisah seputar era politik etis dan kesadaran nasional serta peran dari Mangkunegaran VIII dan Pakubuwono XII.Â
Ruangan terakhir yang kami masuki adalah Ruang Gadri atau Pekiwon Mburi yang merupakan satu ruangan, tapi disekat menjadi dua. Section pertama menceritakan sejarah revolusi kemerdekaan tahun 1942-1946, sementara section kedua menampilkan perkembangan Kota Surakarta dari zaman dahulu hingga sekarang yang ditampilkan dalam bentuk video di sebuah smart tv. Di ruangan terakhir section pertama, Bapak Guide menjelaskan sesuatu yang cukup mengejutkan untukku karena informasi itu baru pertama kali kudengar dan kuketahui.
"Surakarta sempat menjadi daerah istimewa bersamaan dengan Yogyakarta. Namun, status daerah istimewa ini hanya bertahan satu tahun dan kemudian dicabut pada tahun 1946" ucap guide tersebut.