Aku tertegun mendengarnya. Jadi status daerah istimewa sebetulnya tidak hanya dimiliki oleh Yogyakarta saja? Impressive sekali. Saat itu aku ingin bertanya lebih lanjut pada Bapak Guide terkait penetapan daerah istimewa ini, tapi beliau masih sibuk menjelaskan perkembangan Surakarta di era modern. Aku menunggu hingga beliau selesai menjelaskan sekaligus menunggu rombongan meninggalkan ruangan satu per satu.
Saat sekumpulan massa sudah berkurang, menyisakan aku dan Nisa seorang, aku menghampiri Bapak Guide. Aku meminta izin, "Pak, boleh tanya lebih lanjut tentang sejarah Solo yang pernah ditetapkan jadi daerah istimewa?". Beliau mempersilakan.
"Tadi kan njenengan sempat menjelaskan kalau Solo pernah jadi daerah istimewa, ya, Pak? Nah itu kejadiannya di tahun berapa dan kok bisa?" tanyaku dengan tatapan penasaran.
"Jadi begini, Mbak. Ketika dua kerajaan di Solo menerima informasi bahwa Indonesia telah merdeka pada 17 Agustus 1945, Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran mengirimkan telegram kepada Soekarno-Hatta yang berisikan ucapan selamat atas kemerdekaan Indonesia serta pernyataan kesiapan mereka menjadi bagian dari NKRI. Ucapan dan pernyataan ini dikirimkan pada 18-19 Agustus 1945, satu hingga dua hari pasca kemerdekaan. Lalu pada 19 Agustus 1945, Presiden mengeluarkan Piagam Penetapan Presiden dan UU No. 1 Tahun 1945 yang menjadi dasar awal keistimewaan daerah Surakarta dan Yogyakarta. Selanjutnya pada 1 September 1945, empat hari sebelum Yogyakarta ditetapkan menjadi daerah istimewa, SISKS Pakubuwana XII dan KGPAA Mangkunagara VIII, secara terpisah mengeluarkan dekret resmi kerajaan yang menyatakan bahwa daerah yang mereka kuasai telah ditetapkan menjadi daerah istimewa. Lima hari kemudian, tepatnya pada 6 September 1945, kedua monarki tersebut mendapat Piagam Penetapan dari Presiden Indonesia. Tapi cuma bertahan selama setahun, Mbak"
"Kenapa begitu, Pak? Kenapa daerah istimewa di Solo cuma setahun, sementara Jogja masih bertahan jadi daerah istimewa sampai sekarang?"
"Dalam setahun itu, Solo sedang menghadapi banyak masalah politik dan masalah internal. Muncul penolakan terkait penetapan daerah istimewa ini oleh masyarakat karena dikhawatirkan kekuasaan seperti ini akan merugikan rakyat dan menguntungkan elit-elit penguasa semata. Saat itu wilayah Kasunanan yang jadi bagian dari daerah istimewa meliputi, Surakarta, Sukoharjo, Klaten, Boyolali, dan Sragen. Sementara itu, wilayah Mangkunegarannya meliputi, Karanganyar, Wonogiri, dan Kabupaten/Kota Mangkunegaran. Namun, akibat banyaknya penolakan dan tidak adanya kesepakatan antara Kasunanan dan Mangkunegaran dalam kursi pemerintahan, status daerah istimewa Surakarta ini kemudian dibekukan lewat Surat Penetapan Presiden Nomor 16/SD Tahun 1946 yang dirilis pada 15 Juli 1946. Pembekuan itu kemudian dilegalisasi dengan UU Nomor 10 Tahun 1950 yang juga beriringan dengan dicabutnya hak otonomi pemerintahan Kasunanan dan Mangkunegaran"
Aku ingin bertanya lebih lanjut terkait konflik internal yang terjadi di Solo dalam kurun waktu setahun tersebut, tapi sayangnya kami kehabisan waktu. Jam smartphone-ku sudah menunjukkan pukul 16.15 yang artinya kami sudah overtime selama 15 menit. Tak ingin memperpanjang waktu Bapak Guide ini dan membuatnya overwork, kami memutuskan untuk menyudahi diskusi ini. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih kepada beliau.
Penasaran dengan masalah daerah istimewa dan konflik internal yang pernah terjadi di Solo, aku memutuskan untuk menghubungi teman kelasku, Akbar, yang pernah menduduki nyamannya bangku kuliah prodi Sejarah di Universitas Diponegoro.Â
"Lord, koe paham sejarah Solo sing pernah dadi daerah istimewa, to?" (Lord, kamu paham sejarah Solo yang pernah jadi daerah istimewa, kan?) Aku terbiasa memanggil Akbar dengan sebutan Lord yang artinya Dewa karena kecerdasan yang dimilikinya sudah melebihi manusia pada umumnya.
"Lumayan. Piye piye?" (Lumayan. Gimana gimana?)
"Aku bingung kenapa Solo gak lanjut jadi daerah istimewa padahal Jogja sampai sekarang masih dapat keistimewaan itu?