Mohon tunggu...
Ihdi Bahrun Nafi
Ihdi Bahrun Nafi Mohon Tunggu... Administrasi - Foto Pribadi

Just Ordinary Man

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Catatan Ramadhan Annisa

8 April 2024   23:37 Diperbarui: 8 April 2024   23:40 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jam menunjukkan setengah empat pagi, Annisa segera bangun dan merapikan tempat tidurnya. Hari ini merupakan minggu terakhir dia melakukan pembelajaran di sebuah tempat di luar kampus. Suatu program khusus dari kampus untuk melakukan pembelajaran di kelas dan pengabdian masyarakat. Ia berlari ke dapur dan menemukan sebutir telur dan sebungkus mie goreng. Alhasil, itu menjadi menu makanan sahur yang dicampur dengan sayur yang ia beli pada pagi hari.

            Ia sudah terbiasa seperti itu, apalagi tempat tinggalnya saat ini tidak bersama dengan teman satu kelompok, mengingat kamarnya cukup kecil untuk ditinggali. Alhasil ia mesti apa-apa sendiri dibanding teman perempuan lainnya yang tinggal bertiga. Adzan subuh berkumandang , ia segera merapikan tempat tidur dan bersiap berangkat ke Masjid. Dengan langkah pelan ia melihat kanan kiri tapi tidak ditemui teman perempuan lainnya. Ia hanya melihat tiga kawan laki-lakinya berjalanan beriringan.

" Sa, mana Eka, Tri dan Sari?"

" Nggak tahu Dit, dari tadi cari-cari"

Annisa berniat menghampiri temannya sepulang dari masjid. Setelah mengikuti kuliah subuh, hawa dingin berhamburan Annisa melangkah menuju kos tempat tinggal kawan lainnya.

" Eka, Tri , Sari , sudah bangunkah kalian?"

" Iya, kami sudah bangun" Terlihat perempuan berkacamata membuka tirai kamar .

" Buka dong Tri, aku mau masuk!"

Seketika Tri membuka pintu kost dan mempersilahkan Annisa masuk.

" Kalian kesiangan?" Annisa melihat ketiga temannya seolah baru bangun dari tidurnya.

" Kalau aku sempet sahur Sa, tapi tidur lagi" Jawab Tri

" Kami berdua ketiduran tidak sempat sahur" Tambah Eka

" Kalau aku bukannya sengaja, lagi halangan" Sari membela.

Eka hanya tersenyum menanggapi jawaban Sari,  sedangkan Tri mulai masuk ke kamar mandi dan bersiap melanjutkan kegiatan kampusnya. Sari merapikan tempat tidur sambil mendengarkan pembicaraan Annisa tentang tugas kampus. Annisa meminta mereka bersiap menuju sekolah yang ditunjuk kampusnya demi melanjutkan tugas sarjana pendidikannya. Mereka datang dari jurusan pendidikan yang berbeda. Annisa dan  Sari  mengambil jurusan pendidikan Sejarah . Tri mengambil jurusan pendidikan Fisika. Eka mengambil jurusan pendidikan bahasa Indonesia. Radit dan Wisnu mengambil jurusan pendidikan jasmani dan kesehatan serta Rama mengambil jurusan pendidikan Ekonomi.

Meski mereka dari jurusan yang berbeda , mereka mampu membaur satu sama lain. Tak terkecuali keempat mahasiswi yang memang sudah berteman sejak awal masuk kuliah. Ketika mereka bersama-sama satu kelompok dalam Orientasi Kampus.

Annisa dan kawan-kawannya sudah siap untuk mengemban tugas dari kampusnya. Meski dalam hatinya menjadi guru bukanlah sesuatu yang mudah , ia mengusahakan yang terbaik. Setelah masuk sekolah, anak-anak banyak mendekati mereka, ada yang bercanda, mencium tangan hingga sudah janjian ketika istirahat nanti akan mengobrol lebih banyak. Memang waktu itu adalah Bulan Ramadhan, waktu yang cukup menguras tenaga ketika kegiatan pembelajaran. Tak disangka, beberapa hari mereka telah melaksanakan tugasnya. Mereka menghiasi ramadhan anak-anak dengan pembelajaran positif.

Tak hanya di sekolah , di kampung yang mereka tinggali juga demikian. Tokoh masyarakat setempat meminta para mahasiswa untuk memberikan pelajaran terutama anak-anak sekolah dasar. Annisa mendatangi salah seorang anak kecil yang menenteng buku catatan selama Ramadhan. Ia melihat hampir semua tugas terisi.

" Dek, kamu puasa?" Tanya Annisa

Anak kecil itu hanya tersenyum dan melihat buku catatan puasanya penuh.

" Kamu beneran puasa, hebat!"

" Tidak kak, ini disuruh kakak di rumah untuk diisi penuh"

" Lho, tidak hanya diisi tapi juga belajar puasa ya dek"

" Iya kak, hampir seisi rumah tidak puasa"

Annisa hanya termenung mendengar jawaban anak kecil itu. Anak itu kemudian lari menghampiri teman-temannya yang seolah menghindar , mereka menganggap yang tidak berpuasa tidak boleh berteman. Annisa dan kawan-kawannya mendekati mereka dan melemparkan tebak-tebakan dan humor sehingga anak-anak tertawa kembali.

            Terik siang pun tak bisa dihindari, sekumpulan mahasiswa pulang bersama, kecuali Annisa memilih jalan berbeda. Ia mengikuti anak kecil tersebut dan sampai di depan rumahnya. Terlihat seorang perempuan yang berdiri menyambutnya. Ia meminta sesuatu kepada anaknya. Annisa melihatnya dari kejauhan dan mencoba bercengkrama dengan warga sekitar. Ia mendapati bahwa keluarga yang sejak lama ia lihat, memang ada sedikit masalah.

            Terlihat perempuan itu keluar dan membawa piring yang akan dicucinya. Anaknya kemudian keluar dari dalam rumah dan bermain dengan kawan sebayanya. Tidak lama datanglah laki-laki yang merupakan pasangan perempuan tersebut datang dan membawa sekarung kecil pasir yang kemudian diberikan pada istrinya. Sejenak yang Annisa lihat, keluarga yang ada dihadapannya jauh dari kata buruk.

            Hampir setiap hari Annisa bertemu dengan anak kecil itu, berkali-kali pula temannya menjauhinya. Annisa dan kawan perempuannya berupaya mendamaikannya. Annisa iba dengan anak kecil itu. Hari dilalui tidak terasa , semua kawan-kawan Annisa merencanakan program akhir sebelum berpisah dengan warga. Mereka merencanakan melakukan perpisahan di musholla yang selama ini selalu menjadi tempat belajar mereka bersama anak-anak.

            Suatu senja , para warga berlarian menuju musholla. Annisa pikir hal yang wajar karena seperti yang ia lihat beberapa kali sebelum maghrib orang-orang berdatangan untuk sekedar takjil bersama di musholla. Namun, ia melihat sang ibu anak kecil itu berjalan sambil menangis dengan langkah berlawanan arah dengan didampingi beberapa warga. Annisa yang sedari tadi diam kemudian mengikuti arah para warga berjalan. Para warga sampai di depan rumah sang ibu, disana sudah ada kawan-kawan Annisa dan Rt setempat. Ibu itu terduduk dan menangis semakin menjadi-jadi sambil berteriak memanggil anaknya.

            Dari kejauhan warga yang datang dari arah musholla membawa anak kecil itu dengan berlumuran darah. Annisa hanya terdiam tidak tahu apa yang harus dilakukan. Beberapa warga mencoba menenangkan ibu itu. Beberapa dari mereka mendampingi, beberapa berangkat kembali ke musholla.

Setelah tarawih, para mahasiswi duduk bersama di kost.

" Sar, ada apaan sih?" Tanya Annisa.

" Bapaknya anak itu"

" Bapaknya kenapa Sar?"

" Kabar dari warga , anak kecil yang kepalanya berlumuran darah disebabkan bapaknya" Terang Ita.

" Lah, emangnya kenapa Ta"

" Aku juga kurang tahu, aku dengarnya cuma itu"

" Kalau menurutmu Ka?"

Eka hanya menjawab dengan menggelengkan kepala. Mereka bertiga menyarankan Annisa menanyakan ke kawan laki-lakinya.

            Annisa kemudian mencari tahi via Whatsapp dan mendapati kawan --kawan lelakinya sedang berkumpul di kost bersama Rt setempat. Annisa mengabari teman yang lain dan bergegas bersama menuju kostan laki-laki.

" Mohon maaf ya nak, belajar kalian disini terganggu " Pak Rt memandang dengan menyesal.

" Memangnya sering pak kejadian seperti itu?" Tanya Radit

" Dulu pernah, tapi tak separah ini"

Tiba-tiba rombongan mahasiswi ikut duduk mendengarkan penjelasan Rt setempat.

" Oh, emang kejadian tadi sore apa pak?"
" Begini nak, tadi ibu itu menangis gara-gara anaknya dilempar gelas sama bapaknya"

" Hah, yang bener pak" Eka kaget.

" Sampai sekarang bapaknya belum ditemukan, entah lari kemana"

" Apa alasan bapaknya melempar gelas?" Tanya Annisa

"Menurut warga yang melihat , anaknya ketahuan mencuri uang di kotak amal"

" Hah " serempak mahasiswi kaget.

" Padahal beberapa waktu lalu bapaknya seringkali mengambil barang-barang warga disini tanpa sepengetahuan pemiliknya"

" Mungkin si anak gagal lalu , bapaknya ngelempar gelas" Ita mencoba menjawab .

" Kalau dari pengakuan warga , ia kelihatan marah sekali karena uang yang dibawa anaknya tidak begitu banyak dan dari dalam musholla beberapa warga meneriaki si anak yang telah ketahuan"

" Wah parah sih " Radit menyayangkan kejadian itu.

Keesokan harinya   Annisa dan kawan-kawan  mengadakan pertemuan di musholla sebagai hari terakhir bersama warga. Mereka mengutarakan suka duka ketika tinggal di desa tersebut. Annisa kemudian maju ke depan dan memberi tahu kan kepada warga.

" Hari ini kami sepakat memberikan sebagian uang yang kami miliki bagi anak kecil yang kemarin mengalami kejadian yang berat", Terang Annisa.

" Kami berharap semua warga tetap memperhatikan tanpa menjelekkan bahkan bagi kawan-kawan kecilnya tolong jangan dijauhi lagi" Tambah Sari

" Menurut yang kami lihat ia adalah anak yang polos, jujur mengakui kesalahannya, kami mohon para bapak dan ibu sudi untuk menghibur mereka agar tidak menangis lagi" Eka berkata dengan semangat.

Para warga senang dengan kedatangan mereka dan mengutuk segala tindakan tidak terpuji tanpa menyalahkan korbannya.  

   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun