Mohon tunggu...
Ihdi Bahrun Nafi
Ihdi Bahrun Nafi Mohon Tunggu... Administrasi - Foto Pribadi

Just Ordinary Man

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Keteguhan Hati Seorang Nenek

16 September 2018   12:21 Diperbarui: 19 September 2018   00:53 2227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Subuh- subuh sekali. Seorang nenek mengambil wudlu. Membasahi tubuhnya dan siap menghadapi hari-harinya dengan untaian doa. Adzan sudah berkumandang, akan tetapi suhu dingin belum menurun, meski seperti itu nenek Khodijah tetap berangkat ke musholla dekat dengan rumahnya. 

Di kampung Nanas, nenek merupakan warga yang tertua sehingga banyak tetangga yang hormat kepadanya. Meski dihormati seperti itu, nenek tetap bersikap biasa saja. Bahkan ketika jalannya sudah mulai pelan dan orang-orang akan menolongnya, nenek memaksa untuk jalan sendiri.  

Hampir setiap hari ia lakukan, sedangkan anak dan cucunya masih terlihat tidur. Biasanya mereka akan bangun ketika matahari baru terbit. Nenek yang berkali-kali melihat hal itu, mengingatkan mereka. Keesokan harinya bisa mengikuti, namun lusanya tidak. Nenek terus mengingatkan mereka harus berubah, sambil menyirami tanaman-tanaman kecil di depan rumahnya sebagai hobi.

Hanya tanaman-tanaman kecil itu sebagai penghibur harinya, kadang-kadang ia mencurahkan isi hatinya pada tanaman itu. Orang-orang yang melihatnya pun ada yang tertawa bahkan ada yang iba terhadapnya sebab sepanjang pagi ia hanya sendiri di rumah. Anak dan menantu pergi bekerja , sedangkan cucunya masuk sekolah.

Setiap pagi nenek pergi keluar mencari barang-barang bekas yang bisa ia jual. Sebagian orang menganggap nenek orang yang ulet karena mengumpulkan barang bekas itu menjadi uang, akan tetapi sebagian yang lain melihatnya sebagai sebuah sikap yang baik yang diperlakukan anaknya karena membiarkan orang tua terlantar mencari barang kemana-mana dan tidak memberikan sedikit uangnya.

Meski begitu, banyak orang yang sayang terhadapnya. Bahkan terkadang suka menirukan gerakan orang-orang yang lebih muda darinya atau latah. Orang-orang pun terhibur kadangkala dengan sikapnya. Demikian kehidupannya ia lakukan dengan tidak pernah banyak mengeluh, terkadang anak-anak santri yang pernah dikunjungi pesantren olehnya untuk mencari barang bekas memberikan sedikit uang kepadanya. Akan tetapi nenek justru menolak dan berkata, " Nak, lebih baik untuk uang sakumu saja".

Mendengar hal tersebut, anak-anak pun trenyuh dan sedih sembari mengajak duduk dan berbicara. Kejadian tersebut tidak berlaku sekali dua kali, akan tetapi berkali-kali. Rumahnya yang begitu jauh dari tempat-tempat ia mencari barang selalu ia tempuh dengan berjalan sembari memegang bungkusan barang bekas. Beberapa orang ingin mengajaknya pulang dengan motor, namun ia menolaknya karena trauma pernah jatuh dari kendaraan itu.

Waktu berganti waktu ia terus melakukan kegiatan tersebut hingga bertahun-tahun lamanya. Beberapa hari kemudian. Ketika pagi datang , orang-orang seisi rumah sudah sepi dan meninggalkannya. 

Matanya pun berkunang dan badannya lemah ketika ia menyiram tanaman kesukaannya. Ia pun jatuh,  meski keinginannya kuat untuk terus melakukan kegiatan sehari-harinya. Melihat hal itu, orang --orang datang berkerumun membopong nenek ke dalam rumah. 

Namun, melihat kondisinya yang begitu lemah, orang-orang membawa ke klinik rawat inap dekat rumahnya.

Setelah tersadarkan diri setelah berjam-jam, nenek mengigau dan melihat tangannya telah terinfus. Ia pun ingin segera bangkit sembari memanggil-manggil anak dan cucunya  untuk  segera membawanya pulang sambil berlinangan air matanya. Namun, badannya kembali lemah dan ia kembali tak sadarkan diri.

Beberapa orang menghubungi anaknya dan menunggu rumahnya. Setelah anak dan cucunya pulang, orang-orang pun bergantian memberitakan bahwa nenek Khodijah sudah dirawat inap selama berjam-jam. Mendengar hal itu, disuruhnya seorang cucu perempuan oleh ibunya untuk menjenguk nenek. Setelah berganti pakaian, cucunya pun berangkat lalu disusul ibunya beberapa menit kemudian.      

Sudah hampir tiga hari, nenek di rawat inap di klinik dan hendak dirujuk ke rumah sakit terdekat. Anaknya pun juga jarang pulang rumah, sedang hanya cucunya yang berdiam di rumah sesekali pulang setelah sekolah mampir menginap di rawat inap. Entah ke mana anaknya itu, sejak ditinggal suaminya kerja proyekan di luar kota sering tidak di rumah. Kabarnya sedang ikut-ikutan acara sosialita para ibu-ibu muda hingga lupa pulang, atau mungkin lembur sampai lupa dimana rumahnya.

Setelah suaminya pulang, ia pun mencari ke mana istrinya itu. Kebetulan hari itu, istrinya pulang dan ditanya kemana mertuanya yang sudah renta itu hendak diberi hadiah.

"Di mana Nenek, bu?"

"Yang ibu tahu, kemarin di rawat inap.. entah sekarang ke mana"

" Oh, sekarang apa sudah baikan?"

" Entahlah,"

" Lho, Bagaimana to ibunya sendiri kok ndak tahu."

Istrinya hanya terdiam ketika ditanya suaminya itu dan menaruh barang-barangnya yang kemarin ditentengnya lalu menuju kamar mandi. Suaminya hanya geleng-geleng melihat sikap istrinya.

Suaminya pun keluar rumah dan mencari tahu ke tetangga-tetangganya. Setelah mandi dan merapikan barang bawaanya, istrinya lalu pergi kembali. Melihat hal itu, suaminya memanggil-manggilnya tapi sang istri berlalu pergi dengan motornya. 

Suami yang biasa dipanggil Herman itu, menghela nafas dan segera menemukan kembali mertuanya. Di tengah jalan, ia bertemu anaknya Ria dan menanyakan perihal mertuanya. Ria yang tahu dimana neneknya sekarang, tanpa pikir panjang mengantarkan ayahnya ke tempat rawat inap.  

Ketika malam tiba, Winda yang baru keluar dari berkumpul dengan kawan kerjanya, menentang tas dan dilihatnya arloji di tangannya. Jam menunjukkan sudah tengah malam, ia masih berfikir apakah pulang atau tidak. 

Ketika dilihatnya teman-temannya sudah banyak yang pulang, ia pun memutuskan untuk pulang meski sudah larut malam. Ia menghidupkan motornya dan melaju dengan kecepatan tinggi, ia memperkirakan cepat sampai rumah. 

Di tengah jalan ia diikuti oleh sebuah motor yang menurutnya misterius, dimana ia melaju di tempat yang merupakan jalan pintas yang sepi, motor di belakangnya pun ikut. Ia bergegas mencari jalan yang ramai. 

Naasnya di depan motornya ia sudah dihadang oleh sebuah motor dengan dua orang. Ia tak peduli dan mencoba kabur. Sebelum mencapai jalan raya, motornya sudah dapat dikejar oleh gerombolan misterius itu. 

Dengan menodongkan senjata tajam, ia mengangkat tangannya. Tas yang dibawanya dan kunci motor yang dipegangnya di minta, akan tetapi ia menolak untuk memberikan kunci. Gerombolan itu tak mau berkompromi dan tetap menodongkan senjata.

Untungnya, ia masih dalam lingkungan kampung yang sedang melakukan siskamling. Gerombolan itu  tertangkap basah oleh beberapa orang yang masih berjaga-jaga. Mereka pun berhasil kabur dengan membawa tas yang isinya uang dan smartphonenya. Orang-orang kampung mendekatinya dan menanyainya apakah ia baik-baik saja. Winda hanya bisa terdiam lemas dan duduk sebentar.

"Alhamdulillah bu, kalau tidak sampai terluka,"

"Tapi, tasnya raib tadi karena kita kurang cepat,"

Lalu diantarkannya Winda hingga sampai jalan raya yang ramai. Winda pun akhirnya berhasil pulang, akan tetapi pintu rumah masih terkunci. Hingga malam itu ia mengetuk pintu keras-keras. Herman yang mendengar ketukan itu, dan melihat keluar. Dari jendela dilihatnya sosok yang tidak asing baginya, Winda istrinya.

"Dari mana bu?"

Belum terjawab pertanyaan suaminya, Winda memeluknya dan menangis. Diceritakannya kejadian itu, hingga ia berhasil pulang.

Menjelang paginya, ia mengikuti suaminya ke musholla untuk jamah sholat bersama anaknya. Ketika pulang diceritakannya semua kejadian malam itu kepada anak dan suaminya. Hingga mentari sudah terbit, ia belum juga terlihat cepat-cepat berangkat seperti biasanya. Dilihatnya bunga-bunga yang bermekaran itu, dan teringat ibunya.

"Di mana ibu sekarang nak," tanya Winda pada anaknya

"Nenek sudah di rumah sakit bu, ayah kemarin yang membawanya,"

Lalu ibunya memeluk cucunya, sembari meneteskan air matanya. Mereka bertiga berencana menjenguk nenek Khodijah yang sudah dipindah ke rumah sakit. Setelah sampai di kamar perawatan, Winda langsung mencium tangan ibunya dan meneteskan air matanya...

"Bu, maafkan Winda selama ini kurang perhatian sama ibu,"

"Gak apa-apa nak, sakit seperti ini sudah takdirnya."

"Kalau sudah sembuh, ibu nggak boleh keluar jauh-jauh,"

"Lho, ibu hanya ingin jalan-jalan dan mencari sedikit tambahan."

"Tidak usah bu, cukup saya saja ibu di rumah saja."

Nenek hanya bisa tersenyum mendengar ucapannya. Ia meminta anaknya itu untuk membopong keluar kamar untuk melihat keluar. Kebetulan letak kamar berada di lantai tiga sehingga dapat melihat ke jalan dan beberapa pemandangan di sana, mungkin ketika senja juga ia akan meminta hal itu, bersama semua keluarganya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun