Dikisahkan, Alif Fikri (Arbani Yasiz) baru saja menyelesaikan pendidikannya di Pondok Madani dan  bermimpi untuk melanjutkan pendidikannya di ITB  serta melanjutkan studi ke luar negeri, mengikuti jejak idolanya, B.J. Habibie. Namun, Alif menemui hambatan yang tidak terduga ketika menyadari bahwa setelah lulus dari Pondok Madani, ia tidak memiliki ijazah karena pada saat itu pondok tersebut belum memiliki otorisasi untuk menerbitkan ijazah. Alif memutuskan untuk mengikuti ujian penyetaraan agar bisa mendapatkan ijazah yang diperlukan untuk mendaftar kuliah.
 Sahabatnya, Randai (Teuku Rassya), sempat meragukan kemampuan Alif untuk lulus UMPTN dan diterima di ITB. Namun, Alif tetap mengikuti ujian dan berhasil diterima di Universitas Padjajaran , jurusan Hubungan Internasional. Disana, ia bertemu dengan Raisa (Amanda Rawles), seorang mahasiswi yang juga kuliah di Universitas Padjajaran dengan jurusan Ilmu Komunikasi, yang berhasil menarik hatinya.
 Selama masa kuliah, Alif dihadapkan pada serangkaian masalah yang menguji tekadnya. Meskipun hampir menyerah, Alif kemudian teringat akan hal  yang diajarkan di pondoknya, yaitu "barangsiapa yang bersabar, maka akan beruntung,". Dengan tekad  yang kuat, Alif berhasil menguatkan pendiriannya dan mulai sabar menghadapi segala situasi yang dihadapinya. Seiring berjalannya waktu,  Alif mendapat kesempatan untuk menjadi mahasiswa dalam program pertukaran pelajar ke Amerika. Ia berangkat ke Kanada bersama enam mahasiswa lainnya, termasuk Raisa. Perjalanannya belum berakhir, masih ada banyak hal-hal yang tidak terduga menunggunya. Akankah Alif tetap dalam  pendirian kesabarannya?
 E. KEUNGGULAN FILM
 Film Ranah 3 Warna merupakan sekuel dari trilogi novel Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna, dan Rantau 1 Muara. Meskipun menghadirkan konflik yang baru, film ini tetap memperlihatkan kilas balik dari karakter-karakter sebelumnya. Dalam film Ranah 3 Warna kita akan melihat Alif yang menghadapi pahitnya kehidupan. Film ini juga memiliki unsur religi, meskipun penyampaian unsur religi tidak menjadi sasaran utama bagi penonton, melainkan hanya disajikan secara perlahan dalam alur cerita. Tema yang diangkat pun sangat berkualitas. Film ini menampilkan keberagaman Indonesia dari background para pemainnya dan juga mengangkat isu penting yaitu quarter life crisis yang dialami para 'Gen Z' saat ini.
 Alur cerita film ini pun menarik dengan konflik yang menegangkan dan tidak monoton. Hal ini dapat dikaitkan dengan fakta bahwa film ini merupakan adaptasi dari sebuah novel, sehingga plot ceritanya mengikuti alur yang telah ditetapkan dalam novel tersebut. Sutradara, Guntur Soeharjanto, juga terampil dalam memberikan pengarahan kepada para pemeran di film ini. Terbukti dengan penampilan para karakter yang mempersembahkan peran mereka dengan karisma yang khas, sehingga muncul karakteristik unik dari masing-masing tokoh.
 Dalam film ini juga mengajarkan kepada kita akan pentingnya sebuah kesabaran. Dimana narasi terakhir film ini, Alif mengatakan bahwa kendaraan hidup adalah kesabaran.
 F. KEKURANGAN FILMÂ
 Jika dilihat dari deskripsi diatas, film ini memang memiliki kualitas yang cukup baik. Namun, seperti halnya kebanyakan film, pasti akan ada beberapa kekurangannya yang perlu diperhatikan. Salah satu aspek yang menurut saya perlu diperbaiki adalah kualitas suara yang terasa kurang memuaskan. Ada beberapa karakter di film ini yang ketika berbicara, suaranya terasa seperti tempelan atau di-dubbing sehingga terdengar tidak wajar. Hal ini dapat mengurangi keaslian dan kualitas dialog dalam film. Selain itu, terdapat perbedaan kualitas suara antara adegan satu dengan adegan  lainnya. Sehingga dapat mengganggu kesinambungan audiovisual dan mengurangi imersi penonton.
 Pada sisi lain, film ini berusaha merekontruksi wajah-wajah tempat pada era 1990-an dengan baik. Namun, eksplorasi setting Bandung pada tahun 1997, terutama di lingkungan mahasiswa di Universitas Padjajaran (UNPAD), terabaikan. Hal ini disayangkan mengingat saat itu terjadi gejolak ekonomi dan politik di Indonesia.
 Tangga dramatik dalam film ini juga kurang memiliki perbedaan yang signifikan antar levelnya. Momen dramatik pada segmen-segmen akhir, termasuk klimaks, tidak banyak berbeda dengan babak awal. Membuat film ini tidak banyak berbeda dengan medium sumber adaptasinya. Beberapa momen dramatik juga kurang kuat dalam mencapai puncaknya. Sehingga, tidak semua penonton dapat tersentuh emosinya, termasuk saya sendiri.