Mohon tunggu...
Nadya RamadhantiM
Nadya RamadhantiM Mohon Tunggu... Mahasiswa

Unisma 45 Bekasi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perbedaan Sudut Pandang pada Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS)

8 Desember 2021   11:37 Diperbarui: 8 Desember 2021   11:56 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kekerasan seksual yang sering terjadi di Indonesia bukanlah hal yang biasa, sebab banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia cukuplah tinggi. 

Kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia bukan hanya di alami oleh gender wanita dewasa atau remaja saja, tetapi kalangan anak-anak dibawah umur pun sering terjadi kasus kekerasan seksual. Pelaku kekerasan seksual dapat terjadi pada kalangan manapun seperti masyarakat biasa, keluarga, artis, abdi negara, bahkan pemerintah. 

Seperti pada kasus yang sekarang ini sedang ramai diperbincangkan adalah kasus seorang oknum polisi yang melakukan kekerasan seksual kepada seorang wanita yang berstatus sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di Jawa Timur yaitu kekasihnya sendiri. 

Dimana oknum tersebut telah melakukan kekerasan seksual yang mengakibatkan depresinya wanita tersebut sehingga wanita tersebut memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan menenggak racun kemudian wanita tersebut meninggal diatas
makam almarhum ayahnya. 

Kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum polisi tersebut berupa pemerkosaan, karena pada kejadiannya yang diceritankan salah satu akun twitter, bahwa oknum polisi tersebut mengajak kekasihnya ke tempat penginapan dan kemudian
kekasihnya tersebut dipaksa untuk meminum obat (obat tidur). Ketika kekasihnya sudah terlelap, oknum tersebut melakukan aksi yang tidak terpujinya yaitu pemerkosaan. 

Setelah kejadian tersebut, pihak wanita meminta pertanggungjawaban namun tidak adanya itikad baik dari pihak okmun polisi tersebut. Yang menyebabkan wanita tersebut meregang nyawa. 

Dengan kasus tersebut bahwa kekerasan seksual sudah merajalela pada kaum wanita dewasa, remaja, bahkan anak-anak pun membuat pemerintah turun tangan dalam menghadapi permasalahan tersebut. 

Maka dari itu pemerintah tentu saja telah melakukan rancangan undang-undang untuk mencegah dan mengatasi kekerasan seksual di Indonesia. 

Pemerintah telah menyusun rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual (RUU PKS) yang bertujuan untuk mengurangi angka kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. 

Namun faktanya, banyaknya masyarakat yang pro dan kontra akan rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual (RUU PKS) tersebut karena setiap ideologi atau pola berpikir yang beda-beda menyebabkan timbulnya polemik. 

Pada ideologi masyarakat yang kontra terhadap rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual (RUU PKS) berpikir bahwa, dengan adanya rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual (RUU PSK) akan memperbolehkan perzinahan dan aborsi, yang secara tidak langsung sangat bertentangan dengan keyakinan masyarakat dan melanggar hak asasi manusia. 

Jika rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual (RUU PKS) disahkan, menurut sudut pandang masyarakat yang kontra akan RUU PKS ini akan menimbulkan pertentangan pada norma agama, yang didalamnya melanggar segala bentuk penyimpangan seksual seperti seks bebas (perzinahan termasuk persetubuhan karena paksaan maupun persetujuan) dan pelacuran sukarela. 

Namun, peraturan rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual (RUU PKS) yang dilihat dari sudut pandang masyarakat yang kontra akan RUU tersebut hanyalah membatasi kekerasan seksual yang didasari pada perbuatan kejahatan seksual atau kesusilaan seperti perilaku seks yang menyimpang (LGBT) dan pelacuran. 

Sedangkan dalam penanganan kasus seksual kekerasan seperti pencabulan dan pemerkosaan telah diatur pada KUHP pasal 281 di bab kejahatan dan kesusilaan. 

Rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual (RUU PKS) menurut sudut pandang masyarakat yang kontra akan RUU tersebut berpikir bahwa kurang kejelasan frasa dalam peraturan dari RUU PKS. 

Sedangkan pada ideologi masyarakat yang pro terhadap rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual (RUU PKS) memiliki sudut pandang yang berbeda dari masyarakat yang kontra terhadap RUU tersebut. Karena berdasarkan sudut pandang masyarakat yang pro terhadap rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual (RUU PKS) tentu saja tidak membenarkan pada pola pikir masyarakat yang kontra terhadap RUU tersebut, karena dalam isi rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual (RUU PKS) di dalamnya lebih mengedepankan perihal pencegahan kekerasan seksual dan upaya penanganan kekerasa seksual yang dialami oleh korban. Karena kekerasan seksual yang terjadi di negara Indonesia cukup tinggi jumlahnya sebanyak 544.452 kasus kekerasan seksual yang telah dicatat pada komnas perempuan. 

Terlebih pada isi rancangan undang-undang tersebut mengedepankan hak asasi manusia yang dimiliki oleh kaum wanita dan juga anak-anak serta melindungi kaum wanita dan juga anak-anak terhadap pelaku seksual yang merajalela.  

Tidak hanya masyarakat yang pro dan kontra pada rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual (RUU PKS) saja, pada anggota DPR sebagai pihak pembuat RUU PKS pun mengalami ketidaksetujuan pada rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual (RUU PKS), hal ini disebabkan karena adanya perbedaan ideologi atau sudut pandang yang berbeda dari beberapa fraksi. 

Tidak bulatnya keputusan suara dari para anggota DPR perihal rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual (RUU PKS) ini pun membuat terhambatnya pengesahan rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual (RUU PKS). 

Menyebabkan timbulnya polemik pada rancangan undang-undang penghapusank ekerasan seksual (RUU PKS) bukan hanya pada kalangan masyarakat saja tetapi juga pada kalangan pemerintah. 

Timbulnya polemik terhadap rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual (RUU PKS) menurut sudut pandang pihak yang kontra terhadap RUU tersebut, harus direvisi ulang pada isi RUU tersebut sebab segala bentuk penyimpangan seksual dapat dikatakan kekerasan seksual. 

Sedangkan menurut sudut pandang pada pihak yang pro terhadap RUU tersebut, harus dicepatkannya pengesahan rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual (RUU PKS) menjadi undang-undang penghapusan kekerasan seksual, karena berdasarkan ideologi pada pihak yang pro terhadap RUU tersebut sangatlah urgent, sebab KUHP yang digunakan untuk menyelesaikan kasus-kasus pada kekerasan seksual dinilai kinerjanya belum dapat melindungi para korban dari kejahatan seksual. 

Dengan adanya polemik mengenai rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual (RUU PKS), bahwa jika RUU tersebut disahkan tetapi tidak dilakukannya revisi pada RUU tersebut, maka akan menimbulkannya pertentangan bagi kedua belah pihak pro dan kontra. 

Begitupun sebaliknya, jika RUU tersebut tidak disahkan secapatnya, maka akan menimbulkan peningkatan jumlah kekerasan seksual di Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun