Dari pihak kelompok pemegang otoritas yaitu super-ordinate, konflik sosial terbentuk sebagai usaha mereka mempertahankan posisinya. Sedangkan bagi kelompok bawah atau sub-ordinate, mereka berupaya untuk mengubah keadaan dengan berbagai cara, salah satunya adalah aksi.
Dahrendorf juga mengemukakan bahwa setelah kelompok konflik muncul, mereka akan melakukan tindakan yang menciptakan perubahan di dalam struktur sosial. Apapun bentuk konfliknya pasti akan berdampak pada munculnya perubahan dan kemajuan masyarakat. Walaupun demikian, Dahrendorf juga membenarkan bahwa terdapat hubungan antara konflik dengan status quo.
Pada kasus ini, yang menjadi pihak super-ordinate adalah pemerintah yang membuat berbagai kebijakan. Kemudian yang menjadi pihak sub-ordinate merupakan para remaja yang tidak setuju atau menentang kebijakan tersebut. Salah satu kebijakan yang dimaksud yaitu pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang dilaksanakan daring melalui gawai masing-masing.
Awalnya memang terjadi situasi yang damai karena penerimaan kebijakan tersebut sebagai bentuk dukungan upaya pencegahan penularan virus. Namun lama kelamaan para muda-mudi banyak yang mengeluh tentang PJJ karena pelaksanaannya dinilai tidak efektif dan malah menimbulkan berbagai masalah baru, seperti guru atau dosen yang berlaku seenaknya, tidak mengajar di kelas dan malah langsung memberikan banyak tugas yang dinilai memberatkan mereka.
Hal ini didukung oleh survei mengenai persepsi pelajar di Jawa Timur terhadap dampak Covid-19 yang telah dilakukan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Jawa Timur melalui Student Reseach Center (SRC). Data yang diperoleh yaitu para pelajar menilai sistem pembelajaran yang diterapkan saat ini (PJJ) menjenuhkan, membosankan dan membuat stres dengan presentase 88,75%. Selanjutnya mayoritas pelajar di Jawa Timur sepakat dengan pernyataan bahwa belajar tatap muka dengan guru di sekolah lebih efektif daripada belajar dari rumah menggunakan gawai, dengan perolehan presentase yang tinggi yaitu 95,42%.
Perbedaan kepentingan antara pemerintah yang ingin memutus mata rantai penyebaran virus melalui penerapan kebijakan PJJ dengan para remaja yang ingin dapat bersekolah tatap muka menciptakan ketegangan di antara keduanya.Â
Namun pada akhirnya terbitlah SKB (Surat Keputusan Bersama) 4 Menteri yang ditanda tangani oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang berisikan pernyataan bahwa setiap sekolah wajib memberikan opsi layanan belajar tatap muka terbatas setelah seluruh pendidik dan tenaga kependidikan menerima vaksin Covid-19. Banyak muda-mudi dari kalangan pelajar dan mahasiswa menyambut baik SKB ini karena dianggap memberikan keringanan beban mental mereka yang selama ini bertambah akibat melakukan pembelajaran daring.
Referensi:
Egsa.geo.ugm.ac.id. (2020, November). "Darurat Kesehatan Mental bagi Remaja"
Diakses pada 3 Desember 2021, dari
https://egsa.geo.ugm.ac.id/2020/11/27/darurat-kesehatan-mental-bagi-remaja/