Mohon tunggu...
Nadya Ananda
Nadya Ananda Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Pendidikan Sosiologi

It’s never ourselves that we write for.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Urgensi Kesehatan Mental Emosional Remaja Saat Pandemi Covid-19

8 Desember 2021   19:15 Diperbarui: 8 Desember 2021   19:18 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Oleh: Nadya Ananda Najla

(Mahasiswa Pendidikan Sosiologi FIS UNJ)

Kesehatan mental merupakan bagian penting dalam menciptakan kondisi kesehatan yang menyeluruh. Akan tetapi pada kenyataannya, di sebagian besar negara berkembang problematika kesehatan mental belum juga diutamakan jika dibandingkan dengan penyakit menular. 

Pemahaman akan kesehatan mental di Indonesia sendiri masih terbilang cukup rendah. Masyarakat cenderung memberi pandangan negatif terhadap seseorang dengan gangguan mental, misalnya dengan menghujat dan menilainya sebagai aib, bahkan anggapan bahwa orang tersebut gila. 

Selain itu masyarakat juga masih banyak yang kurang paham tentang tanda-tanda gangguan mental seperti depresi, dimana depresi adalah gangguan kesehatan mental yang paling sering ditemukan, tak terkecuali pada remaja. 

Hal ini menyebabkan seseorang dengan kesehatan mental yang terganggu cenderung sulit terbuka untuk mengikuti terapi atau pengobatan dan malah merasa lebih tertekan dengan pandangan yang beredar dikalangan masyarakat.

WHO mendefinisikan tentang kesehatan mental sebagai kondisi kesejahteraan individu yang menyadari potensinya sendiri, dapat mengatasi tekanan kehidupan yang normal, dapat bekerja secara produktif dan berbuah, dan mampu memberikan kontribusi kepada komunitasnya ("WHO | Mental health: a state of well-being" t.t.).

Kesehatan mental menurut seorang ahli kesehatan Merriam Webster, merupakan suatu keadaan emosional dan psikologis yang baik, dimana individu dapat memanfaatkan kemampuan kognisi dan emosi berfungsi dalam komunitasnya, dan memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari (Dewi dalam Zulkarnain dan Fatimah, 2019).

Pada masa pandemi Covid-19 yang masih berlangsung hingga saat ini, semua kalangan mengalami transformasi hidup hampir secara keseluruhan, tak terkecuali para remaja. 

Banyak dari mereka merasa kurang puas menghadapi situasi yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan, seperti beradaptasi dengan kebiasaan baru. Hal ini dikarenakan pemberlakuan beberapa kebijakan oleh pemerintah sebagai usaha memutus mata rantai penyebaran virus SARS-CoV-2. 

Kebijakan-kebijakan yang diterapkan di antaranya yaitu, PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), dan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat). Buntut dari kebijakan tersebut adalah semua kalangan masyarakat melakukan segala sesuatunya dari rumah, termasuk para pelajar dan mahasiswa yang melakukan pembelajaran jarak jauh menggunakan gawai di rumah masing-masing.

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa tidak setiap orang berasal dari keluarga harmonis, banyak di luar sana ditemui remaja yang 'broken home'. Hal ini yang kemudian menjadi salah satu penyebab dari terganggunya kesehatan mental emosional mereka. Adanya perasaan kecewa, terisolasi, kecemasan, bahkan depresi yang dialami remaja pun sudah bukan merupakan rahasia umum. 

Walaupun masalah kesehatan mental semakin memburuk saat pandemi, namun pendanaan dalam pengendaliannya tidak memiliki peningkatan yang berarti, hal ini dapat dilihat dari kurangnya sumber daya dan layanan serta adanya kesenjangan penyembuhan yang besar.

Data kesehatan mental di Indonesia pada tahun 2018 sendiri menunjukkan bahwa terdapat 9,8% gangguan mental emosional pada remaja dengan gejala depresi dan kecemasan pada remaja usia >15 tahun. Angka ini meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2013 yang hanya menyentuh 6%.

Penelitian yang telah dilaksanakan oleh CDC (Centre for Disease Control) menunjukkan bahwa terdapat 7,1% anak-anak pada usia 3 s.d. 17 tahun didiagnosis dengan kecemasan, dan sekitar 3,2% mengalami depresi direntang usia yang sama. 

Penelitian lainnya juga mengindikasikan bahwa isolasi mandiri akibat pandemi Covid-19 membuat kondisi kesehatan mental anak-anak berkebutuhan khusus, seperti ADHD, ASD, dan penyandang disabilitas lainnya kian memburuk. 

Kemudian perolehan data dari dari survei penilaian cepat yang sebelumnya telah dilaksanakan oleh Satgas Penanganan Covid-19 memperlihatkan bahwa terdapat 47% anak Indonesia yang merasa jenuh di rumah, lalu 35% merasa khawatir ketinggalan pelajaran, 15% dari merasa tidak aman, ada juga 20% anak yang merindukan temannya, dan yang terakhir ada 10% anak merasa khawatir tentang kondisi keuangan keluarga mereka. Jika kondisi yang terjadi ini tidak cepat diatasi, maka nantinya akan membuat hal-hal menjadi lebih parah.

Sebagai contoh kasus, yaitu pernah terjadi pada 27 Oktober 2020 tepatnya di Tarakan, Kalimantan Utara. Seorang siswa salah satu SMP di Tarakan nekat gantung diri mengakhiri hidupnya. Diduga siswa tersebut tertekan akibat pembelajaran jarak jauh yang membuatnya harus mengerjakan banyak tugas. 

Berdasarkan keterangan dari Kasat Reserse dan Kriminal (Reskrim) Polresta Tarakan Iptu Muhammad Aldi, menurut beberapa saksi, korban adalah orang yang pendiam namun pernah sesekali mengeluh stress karena kewalahan mengerjakan tugas yang banyak dari sekolah. Kasus ini merupakan bukti nyata bahwa para remaja yang menjalani proses pembelajaran di rumah termasuk kelompok yang mudah menderita gangguan kesehatan mental.

Urgensi kesehatan mental emosional para remaja, terutama yang berlangsung saat pandemi dapat dilihat melalui perspektif konflik Ralf Dahrendorf. Secara umum, Dahrendorf setuju dengan pandangan pendahulunya bahwa kepentingan selalu ada dalam setiap aktivitas manusia. Apabila kepentingan tersebut bertentangan maka akan menyebabkan terjadinya konflik. 

Dahrendorf beranggapan, masyarakat tidak akan ada tanpa konsesus dan konflik. Oleh sebab itu tipe konflik yang dikemukakan oleh Dahredorf di antaranya: 1) tiap masyarakat tunduk pada proses perubahan, 2) tiap masyarakat kapan saja memperlihatkan perpecahan dan konflik-konflik sosial, 3) tiap elemen dalam masyarakat secara sadar atau pun tidak, menyumbang pada disintegrasi dan perubahan, dan 4) tiap masyarakat didasarkan pada paksaan oleh orang lain.

Konflik sosial menurut Dahrendorf rata-rata terjadi dikarenakan adanya sikap status quo dari pihak yang merupakan super-ordinate, sementara sikap pro perubahan lebih kepada pihak sub-ordinate. 

Dari pihak kelompok pemegang otoritas yaitu super-ordinate, konflik sosial terbentuk sebagai usaha mereka mempertahankan posisinya. Sedangkan bagi kelompok bawah atau sub-ordinate, mereka berupaya untuk mengubah keadaan dengan berbagai cara, salah satunya adalah aksi.

Dahrendorf juga mengemukakan bahwa setelah kelompok konflik muncul, mereka akan melakukan tindakan yang menciptakan perubahan di dalam struktur sosial. Apapun bentuk konfliknya pasti akan berdampak pada munculnya perubahan dan kemajuan masyarakat. Walaupun demikian, Dahrendorf juga membenarkan bahwa terdapat hubungan antara konflik dengan status quo.

Pada kasus ini, yang menjadi pihak super-ordinate adalah pemerintah yang membuat berbagai kebijakan. Kemudian yang menjadi pihak sub-ordinate merupakan para remaja yang tidak setuju atau menentang kebijakan tersebut. Salah satu kebijakan yang dimaksud yaitu pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang dilaksanakan daring melalui gawai masing-masing.

Awalnya memang terjadi situasi yang damai karena penerimaan kebijakan tersebut sebagai bentuk dukungan upaya pencegahan penularan virus. Namun lama kelamaan para muda-mudi banyak yang mengeluh tentang PJJ karena pelaksanaannya dinilai tidak efektif dan malah menimbulkan berbagai masalah baru, seperti guru atau dosen yang berlaku seenaknya, tidak mengajar di kelas dan malah langsung memberikan banyak tugas yang dinilai memberatkan mereka.

Hal ini didukung oleh survei mengenai persepsi pelajar di Jawa Timur terhadap dampak Covid-19 yang telah dilakukan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Jawa Timur melalui Student Reseach Center (SRC). Data yang diperoleh yaitu para pelajar menilai sistem pembelajaran yang diterapkan saat ini (PJJ) menjenuhkan, membosankan dan membuat stres dengan presentase 88,75%. Selanjutnya mayoritas pelajar di Jawa Timur sepakat dengan pernyataan bahwa belajar tatap muka dengan guru di sekolah lebih efektif daripada belajar dari rumah menggunakan gawai, dengan perolehan presentase yang tinggi yaitu 95,42%.

Perbedaan kepentingan antara pemerintah yang ingin memutus mata rantai penyebaran virus melalui penerapan kebijakan PJJ dengan para remaja yang ingin dapat bersekolah tatap muka menciptakan ketegangan di antara keduanya. 

Namun pada akhirnya terbitlah SKB (Surat Keputusan Bersama) 4 Menteri yang ditanda tangani oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang berisikan pernyataan bahwa setiap sekolah wajib memberikan opsi layanan belajar tatap muka terbatas setelah seluruh pendidik dan tenaga kependidikan menerima vaksin Covid-19. Banyak muda-mudi dari kalangan pelajar dan mahasiswa menyambut baik SKB ini karena dianggap memberikan keringanan beban mental mereka yang selama ini bertambah akibat melakukan pembelajaran daring.

Referensi:

Egsa.geo.ugm.ac.id. (2020, November). "Darurat Kesehatan Mental bagi Remaja"

Diakses pada 3 Desember 2021, dari

https://egsa.geo.ugm.ac.id/2020/11/27/darurat-kesehatan-mental-bagi-remaja/

Fakhriyani, Diana, V. 2019. Kesehatan Mental. CV Duta Media: Pamekasan.

Idai.or.id. (2013, September). "Masalah kesehatan mental emosional remaja"

Diakses pada 3 Desember 2021, dari

https://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/masalah-kesehatan-mental-emosional-remaja

Indonesiabaik.id. (2020, Desember). "Perhatikan Kesehatan Mental Remaja Saat Pandemi Covid-19"

Diakses pada 3 Desember 2021, dari

https://indonesiabaik.id/infografis/perhatikan-kesehatan-mental-remaja-saat-pandemi-covid-19

Kompas.com. (2021, Maret). "SKB 4 Menteri: Sekolah Wajib Memberikan Opsi Pembelajaran Tatap Muka"

Diakses pada 6 Desember 2021, dari

https://www.kompas.com/edu/read/2021/03/30/142000771/skb-4-menteri--sekolah-wajib-memberikan-opsi-pembelajaran-tatap-muka

Semiun, Yustinius. 2006. Kesehatan Mental 1: Pandangan Umum Mengenai Penyesuaian Diri dan Kesehatan Mental Serta Teori-teori yang Terkait. Kanisius: Yogyakarta.

Setiawati, Yunias. 2017. Buku Saku Pedoman Deteksi Dini Gangguan Mental Emosional Masa Kanak Untuk Petugas Kesehatan di Puskesmas. Dwiputra Pustaka Jaya: Sidoarjo.

Zulfia, Intan, dkk. 2021. Kesehatan Mental Remaja Pada Masa Pandemi. Counseling As Syamil, 1(1), 11-19.

Zulkarnain dan Fatimah. 2019. Kesehatan Mental dan Kebahagiaan. Mawa'izh: Jurnal Dakwah dan Pengembangan Sosial Kemanusiaan, 10(1), 18- 38.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun