Mobil melaju lambat, meski sesekali cepat. Subuh buta dari Komakihara, Kasugai. Aku belum begitu paham manakah dari kedua nama itu yang artinya desa, kota, ataupun apa. Yang jelas tempat yang kudiami bernama Kasugai dan Komakihara. Sekitar satu jam bisa lebih dari Nagoya ibukota Aichi-ken yang kuartikan sebuah propinsi di tengah Jepang, letaknya antara Osaka dan Tokyo.
   Aku tiba memasuki gerbang Jepang di bandara Kansai Osaka. Tetapi karena satu dan lain hal, sebaru tiba itu aku langsung mengadakan perjalanan ke Tokyo dan melebihi dari Tokyo ke daerah bernama Gunma-ken untuk bertemu kerabatku. Dengan kereta ganti-ganti yang jenis futsu (kereta api biasa seperti LRT dan MRT) dan jenis shinkazen (kereta api super cepat), aku menghabiskan seharian perjalanan. Saat musim bergerak menuju gerbang musim dingin, september ceria.
   Tak lebih dari seminggu di Simachi Gunma-ken, aku diantar kembali ke arah balik mendekati Osaka, ke Aichi-ken. Tepatnya di Kasugai Komakihara untuk menetap dan bekerja. Kerabatku menitipkanku pada sahabatnya, seorang nisei. Ibunya orang asli Jepang sementara ayahnya orang asli suku Maluku. Romeo tinggal sendiri, usianya lebih sepuluh tahun dari usiaku yang genap duapuluhlima tahun tepat di hari natal pertamaku di negeri Doraemon ini.
   Sepanjang jalan yang memutih oleh salju karena rute mobil melewati daerah Nagano, di mana gunung salju terkenal melingkupinya di sepanjang daerah Aichi-ken dan sekitaran Tokyo. Ranting-ranting pohon yang gundul selama musim gugur digelayuti putih-putih salju. Cuaca berada dalam sorot langit yang teduh. Beberapa kali di sepanjang perjalanan Romeo harus memeriksa rantai pada ban mobil yang kami kendarai. Itulah cara berkendaraan di tengah salju, memasang rantai-rantai besi pada ban mobil yang tak kumengerti urusan mekanik begitu.
   "Selamat ulang tahun bidadari" terbangun aku dari tidur. Seperti mimpi yang lupa pada nama hari, bulan, dan juga tahun.
   "Kita sudah sampai di Tokyo sayang. Lihat, Tokyo Disneyland sudah dekat dari rumah orangtuaku. Besok kita akan ke sana memenuhi penghiburanmu. Tidur kamu pulas sekali dari mulai Nagano tadi. Aku tidak berani membangunkanmu, padahal lagi tebal-tebalnya salju di sepanjang jalan di kiri dan kanan. Katanya mau lihat salju" ucapnya sambil membelai sekilas rambut diantara kupluk mantelku yang terlepas sejak terpulas tadi.
"Ya Romi" cemberutku. "Nanti saat balik pulang kita mampir ke Nagano tenang saja" hiburnya menenangkanku.
  Dan sebuah kotak kecil sudah diletakkannya di kedua tanganku.
                  ***
   "O tanjoubi omedeto gozaimasu (selamat ulang tahun), sayang" kecupan yang hangatnya tidak berubah dari sejak mulai bersama dikukuhkan dalam janji suci, empat belas februari dua belas tahun yang lalu. Setelahnya, selalu sebuah kotak kadang kecil kadang besar diletakkan di kedua tanganku, yang mengingatkanku pada kotak kecil hadiah pertama dan terakhir seseorang yang menemaniku pada awal-awalku di sini. Apabila berisi cincin, lelakiku ini memasangkannya melingkari jari manis tangan kiriku yang dibilangnya lentik. Apabila sebuah kalung berleontin cantik juga dikenakannya agar menghiasi leherku yang dia bilang indah. Sehingga koleksi perhiasanku sekotak besar di brankas rumah kami.
   Biasanya mataku akan berkaca-kaca. Dipenuhi keharuan dan kebahagian yang melimpah dari betapa besarnya cinta yang ditatahkannya pada hatiku, pada jiwaku, pada hidupku. Yang membuatku betul lupa akar derita yang membuatku pergi jauh dari tanah air ke negeri orang ini.
Airmata haru gemuknya kebahagiaan. Tetapi, selalu bersamaan dengan itu adalah kesedihan oleh rindu pada sebuah nama yang telah tak lagi bisa kuajak membicarakan bunyi lonceng gereja saat malam Natal dan kisah para santo-santa yang menandakan pula hari bertambahnya usiaku. 'Romeo, Romiku sayang. Yang pergi oleh kanker otak yang ditutup-tutupinya, belum genap tiga tahun aku hidup di negeri Oshin ini. Dia pergi sebulan sebelum hari bahagiaku setelah sekitar satu tahun masa-masa terburuk penyakitnya.