Mohon tunggu...
Nadya Nadine
Nadya Nadine Mohon Tunggu... Lainnya - Cepernis yang suka psikologi

Lahir di Banyuwangi, besar di ibu kota Jakarta, merambah dunia untuk mencari sesuap nasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hanida

22 November 2019   06:15 Diperbarui: 22 November 2019   07:27 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Aku mengenalmu di meja judi pada lawatanku di Macau setiap tiga bulan sekali. Kamu salah-satu dari pekerja tempat judi itu yang paling profesional. Cantik, energik, hangat sungguh menyenangkan. Yang membuatku rela berjam-jam menungguimu selesai kerja demi hanya untuk mengajakmu minum-minum di bar sebalik tempat kerjamu.

Jika aku menang judi kaulah orang pertama yang akan kudatangi kuhujani hadiah. Lalu kita akan minum arak beras terbaik dan terbangun di pagi hari dalam rasa penuh kelucuan juga kekacauan.

"Aku selalu menyesal jika mendapati diri masih terbangun sebagai diriku yang ini, bukan orang lain yang baru" begitu selorohmu sambil tergopoh mendandani diri terpatut di depan cermin karena mabuk telah membuat bangunmu terlambat sementara kamu adalah pekerja paling profesional. Giat yang ketat.

Dan aku hanya tersenyum sambil menatapmu kagum juga menyesali karena rasa mabuk membuatku tak begitu detil merasakan perayakan sisa malam bersamamu.

Hanida. Jika bumi ini adalah taman bunga, maka engkau adalah mawar terindah yang kulupakan duri-durinya. Tapi bagaimana bumi ini sebuah taman, Hanida? Barangkali aku adalah yang malas untuk sungguh mengitarinya. Atau memang bumi adalah taman, dan taman tidaklah harus selalu luas. Sementara di taman bukan hanya bunga yang bisa tumbuh, rumput, semak, perdu, pepohonan, juga biasanya ada berdiam diri di taman.

Bahkan orang, binatang, juga sampah. Siapa yang sungguh-sungguh boleh mendiami taman, rasanya semua itu bisa. Maka, engkau bolehlah tetap kusebut mawar tercantik di dunia, Hanida. Setidaknya di tamanku. Di duniaku. Di bumiku.

***

Profesor Su seorang bermoyangkan Tiongkok, seminggu ini sulit tidur dengan nyenyak akibat ia melanggar janjinya sendiri telah tidak mematikan cell phone-nya disaat tidur. Istrinya kerap mengeluh mimpi buruk dan tiba-tiba terbangun oleh bunyi bepzzz yang bahkan selembut kentut yang paling santun. Pasien terbarunya dengan gangguan halusinasi itu menjadi banyak menyita waktunya saat tidak tidur sekaligus saat tidur.

Perempuan muda cantik yang skizofrenia. Kasihan, memang telah banyak di dunia saat ini orang cantik yang sakit jiwa, orang cantik yang gila. Orang tampan pun tak beda. Tidak sedikit yang demam jiwanya. Seperti ia, gadis itu masih muda, sering mengalami halusinasi dan delusi yang meminggirkannya dari garis kenormalan. Tetapi ia datang berkunjung secara mandiri.

Dandanannya glamour serupa artis disini yang tak beda dengan artis-artis Korea di seri drama televisi, tidak nampak gila sama sekali, akan tetapi di 15 menit konsultasi akan kau sadari sudah ngelantur omongannya, berhalusinasi dikejar-kejar orang mau dibunuh, bahkan kadang merasa bahwa ia adalah inkarnasi para nabi, dewa-dewi, dan iblis manis yang turun ke bumi.

Profesor Su sang psikiater senior itu pernah sedikitnya meresepkannya haloperidol, anti psikosis dengan potensi tinggi, memiliki efek sedasi rendah & memberikan efek extrapiramidal yang besar. Itu memang salah-satu obat generik untuk pasien skizofrenia. Untuk menanggulangi halusinasi dan delusinya.

"Ayolah prof saya curiga jangan-jangan tidak pernah ada yang namanya surga. Maka saya khawatir orang-orang akan kecewa karena telah mati-matian berbuat baik ini dan itu patuh pada agamanya demi iming-iming surga. Hingga dari mati-matian baik merekapun nyebrang jahat dengan menghabisi yang bersebrangan dengannya atau yang tidak seagama" gadis itu sekali waktu menawarkan keragu-raguannya pada konsep tentang agama, sekalipun hanya nampak humor semata. Meski di waktu lain ia datang mengusung diri bahwa ia adalah nabi yang terlahir kembali di tubuh kekiniannya.

"Kau tidak tahu bahwa di tempat lain orang berpandangan sepertimu itu yang waras. Sementara yang terobsesi pada surga menjadi pesakitan oleh sebab berperilaku beringas" profesor Su berseloroh pada dirinya sendiri.

Hampir di setiap dini hari profesor Su tertegun membacai pesan-pesan si gadis yang memberitakan bahwa ia dikejar-kejar sekelompok orang yang ingin membunuhnya karena tahu bahwa ia adalah nabi yang sedang terlahir kembali membawa pesan terbaru dari Tuhan yang padahal pernah juga di lain waktu disangsikannya. Profesor lewat setengah abab itu sering batuk-batuk dibuat terpekur oleh si pasien gadis muda cantik yang gila. Barangkali menyesali, menyayangkan, cantiknya gadis itu tapi sayangnya gila. Sehingga kenyataan nampak sebagai mimpi buruk yang tak bersudah. Perempuan itu menyebut dirinya pada sang profesor sebagai; Hana. Serta 25 tahun usianya.

***

Tuan Rudolfo, seorang yang terlahir dari paduan Eropa dan Asia. Tuan Rudolfo yang tampan tetapi pendiam. Ia psikiater muda yang baru menapaki karier cemerlangnya. Psikiater muda itu akhir-akhir ini cukup sibuk membantu menanggulangi ibu muda yang tengah defresi berat. Ibu muda  yang bernasib kurang beruntung, memiliki 4 putri dari 4 pria yang berbeda tanpa bangunan keluarga utuh di ending kisahnya.

Macam-macam jalan perolehan ke 4 putrinya, beberapa dari menikah sah, lalu ada pula menikah yang tidak sah, selanjutnya adalah tidak menikah, sisanya karena mabuk. Ibu muda itu bernama Nia, 35 tahun usianya. Kurus, pucat, murung, tak ada pijar di matanya. Berpakaiannya ala kadar jauh dari kesan berdandan. Atau barangkali tidak peduli lagi pada kecantikan yang pernah membuat para lelaki di masa lalunya bertekuk-lutut sebelum meninggalkannya kemudian.

Sudah 336 hari paparnya, ia memenjarakan dirinya. Hari-harinya di mulai dari membuka jendela dan berakhir pada menutup jendela kamarnya. Mengistirahatkan kata-kata pada orang-orang di sekitarnya. Di setiap bangun dan menjelangn tidurnya ia hanya memandang dinding-dinding dan langit-langit kamarnya. Sehingga ia tak lagi menandai pergantian hari melalui cahaya. Rumahnya adalah kapal yang pecah oleh hantaman ombak samudera. Ia telah mengungsikan semua anaknya ke panti asuhan. Begini penuturannya :

"Menurut anda apakah saya 'sakit' jika saya tidak begitu mencintai anak-anak saya? Tidak harus peduli pada mereka semua? Kenapa harus, coba? Saya tahu mereka tidak pernah meminta terlahir di dunia menjadi diri mereka, tetapi anda pun harus tahu bahwa saya pun tidak pernah minta dilahirkan menjadi diri saya, ibu mereka yang tidak mengenal asal-usulnya, seperti rumput liar yang tidak berharga. Lagipula mengapa seorang ibu harus mencintai anak-anaknya, toh ia juga tidak mengharuskan anak-anaknya mencintainya. Pasti ada yang memulai kebiasan yang akhirnya menjadi sebuah nilai semacam ini, di dunia ini. Dokter, tidak bolehkah saya lelah dan menyerah menjadi diri saya?!"

Ia membiarkan psikiater muda itu mendengar dan memandanginya. Barangkali terpekur barangkali tidak. Yang penting baginya ia sudah lelah bermanis muka atau bertopeng etik dan estetik di hadapan lelaki muda itu, orang yang fungsinya mengurusi rerungsing jiwa. Masa bodoh sudah jika dia melabeli gila. Apakah gila itu salah atau dosa jika datang dan perginya pun ibu muda itu tak mengerti jalan bercaranya.

"Jika ada yang harus disalahkan kenapa tidak kita coba saja menyalahkan Tuhan dokter, bolehkah?! Dia satu-satunya yang maha segalanya mengapa kita harus sungkan pada yang lebih paham serta sering berlomba-lomba merasa bersalah berdosa atas carut-marut kehidupan di dunia yang notabenenya adalah hasil karya Nya?!"

Tuan Rodolfo memberi monoamine pada perempuan yang depresi itu. Kadang juga xanax agar dia pulas untuk menenangkannya dari kecemasan dan kegelisahan hidup. Monoamine itu obat anti depresan agar ia mendapat nyala semangat kembali. Bayangkan selama 1 tahun ia mengurung diri tidak melakukan dialog kehidupan. Sering merasa tidak berguna tidak berarti sehingga inginnya hanya mau mati tetapi tidak mudah berhasil. Kegagalan-demi kegagalan hidup membuat hargadiri mendasarnya kian terkikis habis. Ia bukan tidak menarik, tetapi memudar dari cantik, seperti patung berdebu yang karena lama tidak pernah dibersihkan.

Yang harus kulakukan adalah meningkatkan self esteem-nya. Begitu guman tuan Rudolfo setiap kali perempuan muda itu beringsut dari sesi konselingnya.

"Tidak kamu tidak salah. Jika memang kamu sudah tidak sanggup lagi dengan peranmu sebagai ibu kamu tidak harus memaksa kuat" betapa sejuknya kalimatmu, tuan Rudolfo. Alangkah indahnya itu di telinganya, di sanubarinya. Meskipun banyak tetangga ibu muda itu menyebutkan bahwa keempat anak yang dimaksudkannya tak lain adalah keempat ekor kucing peliharaannya yang sebulan lalu diadopsi tetangga kaya persis depan rumahnya.

                                     ***

Tetapi sayangku, tahukah kau kisah lainnya. Ada seorang Ira. Seorang guru musik yang kharismatik yang sanggup menangisi kemalangan-kemalangan apapun yang ada di dunia, bahkan yang hanya ada di dalam kisah. Ia yang mudah iba dan trenyuh oleh kepedihan-kepedihan hidupnya maupun hidup sesiapa saja yang terekam dalam ingatannya. Ira adalah sesosok lembut yang mungkin menjadi lemah di sisi lain, namun bisa tegas bahkan keras-retas di lain situasi dan kondisi.

Harus seperti apa dunia membebaskanmu dari rasa sepi Ira? Kesendirian di usia 40 tahun memang lebih dari merisaukan. Engkau harus rajin menyiapkan jawaban komplit beserta senyuman palsu nan busuk memuakkan untuk pertanyaan yang itu-itu saja :

"kapan menikah Ira, usiamu tidak terus muda?" Oh! Hmmm... "Sudah nemu belum jodohmu Ira, jangan pilih-pilih tebu nanti dapat hanya bongkolnya bahkan tak dapat-dapat akhirnya?" Hiks... "Wah sudah tak sabar ini pengen ada keponakan dari kamu Ira" dan bla bla bla yang membuatmu ingin menenggelamkan diri di dasar bumi selama-lamanya, atau menembaki semua kepala para penanya itu agar mereka semua berhenti bertanya.

Duhai Ira yang punya senyum manis engkau adalah kutub-kutub yang meruncing. Rambutmu yang kerap kau gelung rapih dengan wajah tipe serius nan manis. Ketika kepedihan melanda, engkau hanyut oleh gelombang tangis ke samudera airmata. Kaki-kakimu akan lumpuh tak mampu bangkit. Tubuhmu akan tergerus habis oleh tangis. Kesedihan merendammu tanak di panci duka. Kau matang oleh nestapa. Murid-muridmu sering memergokimu mengusap airmata, begitu kau mengenang dirimu sendiri.

Tetapi, kau pun harus ingat Ira. Manakala terbang oleh angin keriangan. Terdampar pada pulau kegembiraan. Meretas bahagia tak terperikan. Tawamu tak ada habisnya. Seolah dunia hanyalah surga, berisi keindahan semata. Seakan hidup adalah hanya kebahgian yang tak pernah sudah. Matamu berbinar, sorotnya berpijar. Maka engkaulah matahari dan segala bintang. Wajahmu adalah eloknya purnama pada rembulan. Pesonamu adalah bunga terelok di taman. Engkau laksana jiwa yang tak pernah mati. Dan murid-muridmu akan kerap menjumpaimu berseri-seri.

Ira, adalah bumi yang terbelah menjadi 2 bergantian. Atau dua sisi mata koin berlawanan di waktu yang berulangan.

                                    ***

Berita pagi ini di koran, Hanida. Seorang perempuan paruh baya mati ditusuk-tusuk. Lihatlah Hanida, seringkali betapa mengerikan kenyataan di sekitar. Orang bisa saja berniat membantu, tetapi bukan tidak mungkin ia justru terbunuh. Orang bisa saja hendak menolong, tetapi di detik yang sama justru nyawanya yang tidak tertolong.

Bagaimana mungkin ada kejahatan dan kekejian seperti itu di sekitar kita, Hanida. Jika kau mendengar dan melihatnya pasti engkau akan bergidik ngeri. Begini ini, aku jadi mencemaskanmu Hanida. Dimana kamu berada? Mengapa telah begitu lama engkau tak mengabariku? Tidakkah engkau merindukanku?

Beberapa kali aku mengunjungi club judi tempatmu bekerja. Tapi semua orang mengatakan hal yang sama : kamu sudah pulang ke Indonesia. Dan tak satupun orang mengetahui kontak terbarumu. Seperti dunia ini telah kembali ke jaman batu. Karena aku juga berasal dari negeri yang sama denganmu Hanida bahkan di kota yang sama tapi tak menemukanmu.

Barangkali engkau telah melupakanku Hanida. Barangkali engkau telah beroleh tempat berbagi yang baru. Mungkin engkau jatuh cinta, atau seseorang yang mencintaimu sedemikian rupa, sehingga tak bisa membuatmu menyisakan sedikit saja tempat di hatimu untukku, bahkan untuk kenangan kita, kenanganku akan dirimu yang tak mungkin kulupa.

Sedemikian mudahnyakah bagimu merajut perhitungan masadepan Hanida. Bukankah kau pernah berkelakar bahwa kau lebih menyukai ilmu sejarah daripada ilmu pasti. Itu karena bagimu lebih mudah melongok masa lalu daripada membangun masadepan yang tak pasti. Dan tentu saja aku memarahimu untuk selorohmu itu, sebab bagaimanapun juga aku lebih mengharap kamu terus melangkah ke depan, merajut masa depan, menghadapi kenyataan daripada menjelujuri masa silam yang telah tersuruk di gudang kenangan.

Hanida. Pada pertemuan terakhir kita, kau bilang berharap kita akan bertemu kembali di sebuah masadepan. Meskipun saat itu mungkin kita sudah tidak lagi muda, tetapi kau istilahkan itu saat kita matang.

Maka, lupakanlah berita mengerikan pagi ini, sekalipun perasaanku tak menentu sejak pagi. Berita tentang perempuan setengah baya yang ditusuk-tusuk oleh pembunuh misterius hingga mati. Lupakan, kita bisa memilih, berita apa yang kita senangi dalam begitu banyaknya pilihan berita mengenai kenyataan yang memapar sehari-hari.

                                     ***

Tetapi hari masih belum matang, ketika tiba-tiba ponselku berdering. Suaramu di seberang sana. Hanya "halo" sejenak, kemudian "tolong datanglah King, temui aku di Raflesh hospital, penting sekali". Dan telpon dengan nomor terbarumu ditutup, mati. Sesaat kesadaranku pudar meremang ke belakang di saat-saat kita berada di tempat judi.

Sambil melenggang tetapi jujur degub jantungku memacu, aku mencoba mengingat kembali. Telah dua tahun kita tak bersua Hanida. Perempuan terkasih yang sulit kuraih. Rambutmu yang ikal seperti gelombang samudera. Keemasan seperti cahaya senja. Matamu yang teduh seperti danau hijau yang menyimpan legenda. Lalu senyum indahmu yang membungkus ribuan misteri sekaligus. Perawakanmu yang selembut dan seramping bidadari. Perkenalan kita yang tak pernah sungguh telanjang, seperti musim yang datang silih-berganti.

"Jangan mengharap kehadiranku yang tak pasti. Sebab aku seorang pengelana yang didahagakan oleh pengalaman menyusuri seluruh lekuk dunia ini" pesanmu selalu mewanti-wanti.

                                   ***

Sungguh tetapi ini adalah mimpi. Mimpi terburuk yang hanya memiliki pintu masuk tanpa ada jalan keluarnya lagi. Di rumah sakit itu aku menjadi tak hidup lagi. Aku mati Hanida, aku sungguh mati..

Ada dua psikiater yang mengklaimmu sebagai pasiennya, seorang menyebutmu Hana seorang skizofrenia, njirrr... Seorang lagi memanggilmu Nia, seorang ibu yang depresi oleh beragam macam percobaan bunuh-diri karena kesedihan yang besar itu bermuara pada amarah yang memiriskan hati. Lalu, seorang lagi adalah psikolog katrok yang mengaku bahwa namamu adalah Ira, klien bipolarnya yang juga insomnia.

Mereka mengaku datang oleh telponmu yang menyebutkanmu over dosis oleh beragam sedativ itu haloperidol-seroquel-xanax-renaquel-dan lain-lain zat-zat yang kau campur-baurkan itu, dan terapi yoga yang justru membuatmu trans. Kesurupan bak dihuni banyaknya roh-roh kegelapan.

Dan, ya Tuhan masih adakah Kau disini?! Tuhan harus bagaimana aku mempercayai semua ini?!

Adalah hal yang lebih membuat jiwa-ragaku beku :

Polisipun datang mengatakan bahwa engkaulah pembunuh paranormal perempuan paruh-baya yang mati ditusuk-tusuk itu, engkau adalah pengunjung terakhirnya bernama Dara yang diketahui oleh asisten paranormal itu, perempuan 30 tahun yang kerap disinggahi jiwa-jiwa lain dalam teropong keilmuwannya. Polisi itu menyodorkan borgol. Dan aku tak sanggup melihat tangan dengan jari-jari lentikmu itu tak lagi bebas, Hanida.

"Aku mencari paranormal untuk mengobati penderitaanku. Tapi ternyata aku bertemu ibuku" itu suaramu Hanida.

"Aku hanya membantu ibuku terbebas dari penderitaan. Dia meninggalkanku, menjualku pada mucikari saat aku masih sepuluh tahun hingga aku terdampar di tempat judi di antah-berantah. Ibu sangat membenciku karena wajahku mengingatkannya pada laki-laki yang telah memperkosanya. Sejak kecil ia sering mengutukiku bahwa lebih baik dia mati ditusuk-tusuk daripada melihat wajahku" oh Hanida engkaukah itu?!

Mungkin memang benar mereka yang datang ini salah. Mungkin memang mereka semua tidak ada yang benar. Bahwa kau bukanlah nama-nama yang mereka klaim itu.

Tetapi akulah yang paling menderita oleh kebenaran yang sesungguhnya. Karena, setelahnya, hanya kepadaku engkau dapat menjelaskannya, bahwa engkau hanya seorang saja. Seorang ; Hanida.

      Seorang Hana.
     Seorang Nia.
     Seorang Ira.
     Seorang Dara.


                                     ***

Somewhere , 17 April 2017.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun