"Ayolah prof saya curiga jangan-jangan tidak pernah ada yang namanya surga. Maka saya khawatir orang-orang akan kecewa karena telah mati-matian berbuat baik ini dan itu patuh pada agamanya demi iming-iming surga. Hingga dari mati-matian baik merekapun nyebrang jahat dengan menghabisi yang bersebrangan dengannya atau yang tidak seagama" gadis itu sekali waktu menawarkan keragu-raguannya pada konsep tentang agama, sekalipun hanya nampak humor semata. Meski di waktu lain ia datang mengusung diri bahwa ia adalah nabi yang terlahir kembali di tubuh kekiniannya.
"Kau tidak tahu bahwa di tempat lain orang berpandangan sepertimu itu yang waras. Sementara yang terobsesi pada surga menjadi pesakitan oleh sebab berperilaku beringas" profesor Su berseloroh pada dirinya sendiri.
Hampir di setiap dini hari profesor Su tertegun membacai pesan-pesan si gadis yang memberitakan bahwa ia dikejar-kejar sekelompok orang yang ingin membunuhnya karena tahu bahwa ia adalah nabi yang sedang terlahir kembali membawa pesan terbaru dari Tuhan yang padahal pernah juga di lain waktu disangsikannya. Profesor lewat setengah abab itu sering batuk-batuk dibuat terpekur oleh si pasien gadis muda cantik yang gila. Barangkali menyesali, menyayangkan, cantiknya gadis itu tapi sayangnya gila. Sehingga kenyataan nampak sebagai mimpi buruk yang tak bersudah. Perempuan itu menyebut dirinya pada sang profesor sebagai; Hana. Serta 25 tahun usianya.
***
Tuan Rudolfo, seorang yang terlahir dari paduan Eropa dan Asia. Tuan Rudolfo yang tampan tetapi pendiam. Ia psikiater muda yang baru menapaki karier cemerlangnya. Psikiater muda itu akhir-akhir ini cukup sibuk membantu menanggulangi ibu muda yang tengah defresi berat. Ibu muda  yang bernasib kurang beruntung, memiliki 4 putri dari 4 pria yang berbeda tanpa bangunan keluarga utuh di ending kisahnya.
Macam-macam jalan perolehan ke 4 putrinya, beberapa dari menikah sah, lalu ada pula menikah yang tidak sah, selanjutnya adalah tidak menikah, sisanya karena mabuk. Ibu muda itu bernama Nia, 35 tahun usianya. Kurus, pucat, murung, tak ada pijar di matanya. Berpakaiannya ala kadar jauh dari kesan berdandan. Atau barangkali tidak peduli lagi pada kecantikan yang pernah membuat para lelaki di masa lalunya bertekuk-lutut sebelum meninggalkannya kemudian.
Sudah 336 hari paparnya, ia memenjarakan dirinya. Hari-harinya di mulai dari membuka jendela dan berakhir pada menutup jendela kamarnya. Mengistirahatkan kata-kata pada orang-orang di sekitarnya. Di setiap bangun dan menjelangn tidurnya ia hanya memandang dinding-dinding dan langit-langit kamarnya. Sehingga ia tak lagi menandai pergantian hari melalui cahaya. Rumahnya adalah kapal yang pecah oleh hantaman ombak samudera. Ia telah mengungsikan semua anaknya ke panti asuhan. Begini penuturannya :
"Menurut anda apakah saya 'sakit' jika saya tidak begitu mencintai anak-anak saya? Tidak harus peduli pada mereka semua? Kenapa harus, coba? Saya tahu mereka tidak pernah meminta terlahir di dunia menjadi diri mereka, tetapi anda pun harus tahu bahwa saya pun tidak pernah minta dilahirkan menjadi diri saya, ibu mereka yang tidak mengenal asal-usulnya, seperti rumput liar yang tidak berharga. Lagipula mengapa seorang ibu harus mencintai anak-anaknya, toh ia juga tidak mengharuskan anak-anaknya mencintainya. Pasti ada yang memulai kebiasan yang akhirnya menjadi sebuah nilai semacam ini, di dunia ini. Dokter, tidak bolehkah saya lelah dan menyerah menjadi diri saya?!"
Ia membiarkan psikiater muda itu mendengar dan memandanginya. Barangkali terpekur barangkali tidak. Yang penting baginya ia sudah lelah bermanis muka atau bertopeng etik dan estetik di hadapan lelaki muda itu, orang yang fungsinya mengurusi rerungsing jiwa. Masa bodoh sudah jika dia melabeli gila. Apakah gila itu salah atau dosa jika datang dan perginya pun ibu muda itu tak mengerti jalan bercaranya.
"Jika ada yang harus disalahkan kenapa tidak kita coba saja menyalahkan Tuhan dokter, bolehkah?! Dia satu-satunya yang maha segalanya mengapa kita harus sungkan pada yang lebih paham serta sering berlomba-lomba merasa bersalah berdosa atas carut-marut kehidupan di dunia yang notabenenya adalah hasil karya Nya?!"
Tuan Rodolfo memberi monoamine pada perempuan yang depresi itu. Kadang juga xanax agar dia pulas untuk menenangkannya dari kecemasan dan kegelisahan hidup. Monoamine itu obat anti depresan agar ia mendapat nyala semangat kembali. Bayangkan selama 1 tahun ia mengurung diri tidak melakukan dialog kehidupan. Sering merasa tidak berguna tidak berarti sehingga inginnya hanya mau mati tetapi tidak mudah berhasil. Kegagalan-demi kegagalan hidup membuat hargadiri mendasarnya kian terkikis habis. Ia bukan tidak menarik, tetapi memudar dari cantik, seperti patung berdebu yang karena lama tidak pernah dibersihkan.