Mohon tunggu...
Cerpen

Cerpen | Sebelum Matahari Terbenam

30 November 2018   23:52 Diperbarui: 1 Desember 2018   00:02 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nenek pergi ke rumah Bibi untuk liburan selama 2 minggu. Ku ditinggal sendiri di rumah. Nilai UTS dapat dibilang memuaskan. Setidaknya ada kenaikkan dari nilai ulangan hariannya. Ku melihat luka di lenganku. Merabanya. Kurang dalam. Ku mengambil jaket dan mengenakannya sambil berkaca dan berpikir, "Setidaknya ku dapat menyembunyikannya untuk sementara."

Berjalan ke sekolah sendirian. Menjauhkan diri dari Dika dan yang lain. Ash, hari ini. Lakukan. Pikiran tersebut terus diulang -- ulang.

Janji yang kau terus dengar semuanya palsu. Tak ada orang yang dapat menepati janji. Ingat perkataan mereka yang berjanji bahwa semua hal akan membaik suatu saat? Hal itu tidak benar. Jangan percaya terlalu mudah. 

Rasanya ingin menarik rambutku dan berteriak sekencangnya. Jantungku berdebar. Tubuhku gemeteran. Bersalah. Tak berguna. Kau tak punya siapa -- siapa lagi. Selama pembelajaran ku tak dapat fokus. Perkataan tersebut diulang -- ulang.

"Untuk Ash, Kamu diharapkan untuk ke BK," kata Pak Guru. Ku berdiri dan mengangguk ke Pak Guru. "Paling, masalah duit. Belom bayar uang sekolah dia. Hahaha," terdengar tawanya. Ku menarik lengan jaketku sampai benar-benar menutup telapak tanganku.

"Ya, Bu?" ku berkata dan duduk berhadapan dengan Bu Ina. "Ash, Ibu khawatir sama kamu. Hari hari ini kamu sudah mulai terlihat pucat dan lesu. Kamu ada masalah apa ya?" Ku melihat ke lantai dan menarik nafas. "Bu, jadi.. Bu Ina pasti pernah dengar bahwa saya selalu ditertawakan, dijadikan bahan olokan, dihina, banyak yang bilang kalau saya ini tak berharga," ku menarik nafas lagi dan melanjutkan, "... Bu Ina sudah tahu bahwa Ibu saya meninggal. Saya masih tidak tahu keberadaan Ayah saya. Saya tak punya siapa.

Selesai pembicaraan aku dengan Bu Ina, katanya aku harus bertemu dengannya setiap minggu dan menceritakan hal -- hal yang terjadi pada hidupku. "Semua hal pasti akan membaik, Ash. Saya pasti percaya," kata Bu Ina. Ingin rasanya ku melawannya tapi apa boleh buat. Jika ku melawannya hal akan semakin rumit. Semua hal pastinya berakhir dengan baik. Pasti. Tetapi kita belum tahu baiknya seperti apa.

Ku berjalan ke kelas dan melihat teman sekelasku. Provokator yang pastinya adalah Dika. Ku percaya. Sudah ku lihat gerak geriknya. Dia berpura -- pura baik di depan. Dibelakang menusuk, menghina. Dika sudah jarang berbicara denganku. Jangan percaya terlalu mudah. Ku tertawa sendiri.

Hari terakhir.

 23 Agustus. Matahari terbenam. Indah sekali. Sayang hari ini adalah hari terakhirku melihat matahari terbenam. Kurang dalam. Ku tersenyum. Kurasakan lega setelah ku melihat lukanya.

...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun