Mohon tunggu...
Cerpen

Darah Persaudaraan

7 November 2017   23:56 Diperbarui: 8 November 2017   00:06 814
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

            1 Februari 1945

Abang sudah lama pergi dari rumah untuk bergabung dengan PETA (Pembela Tanah Air). Aneh. PETA adalah organisasi buatan Jepang. Mereka hanya menggunakan kita untuk membela tanah penjajahan Jepang di Asia Pasifik. Abang salah memihak. Meskipun, PETA berisi pemuda-pemuda Indonesia bukan berarti kita harus percaya kepada mereka. Mereka sudah menjajah bangsa kita. Dia salah besar.

 

5 Februari 1945

            "PETA sedang merekrut para pemuda untuk dijadikan tentara. Kamu mau, dek?" tanya Ibu. Aku menengok ke arah Ibu. Ibu gila? Tidak mungkin aku mau mengikuti organisasi semacam itu. Sebuah organisasi yang sangat merugikan bangsa Indonesia. Aku menjawab dengan nada kesal, "Tidak. Aden tidak suka dengan PETA." Ibu menghela nafas.

            "Mengapa kamu berpikir seperti itu, Den? Abangmu saja mau ikut PETA karena pada organisasi tersebut memberikan banyak manfaat bagi bangsa Indonesia. Pemuda Indonesia dapat dididik dan dilatih kemiliteran. Kamu sudah 18 tahun..," jawab Ayah. Ibu memegang pundak Ayah. Memberikan senyuman kecil.

"Ah, mungkin itu memang keputusanmu. Tetapi, dengan PETA Aden dapat menjadi tentara bagi bangsa ini. Bangsa ini bisa saja mengusir penjajah dengan tenaga PETA." Ayah menghela nafasnya. Memberikan senyum kecilnya dengan diikuti ibu yang tersenyum kepada ayah. Pertanyaan yang Mengapa ayah tidak ikut PETA?

"Sudahlah, Ayah. Diam saja. Aden tidak suka dengan PETA," kataku. Aku berdiri dan berjalan ke kamarku yang gelap. Terasa kosong tanpa kehadiran Abang. Aku sudah memikirkan untuk bergabung tetapi tetap saja aku memikirkan hal-hal yang negatif tentang PETA tersebut. Matahari sudah terbenam dan aku harus tidur. Tetapi, tidak bisa. Aku menutup mataku pelan-pelan dan mulai berdoa.

9 Februari 1945

            Matahari bersinar dengan terang dan memulai hari yang baru, Ibu membangunkan aku untuk sarapan bersama karena hari ini adalah hari Sabtu, 9 Februari. Ayah, Ibu, dan aku duduk bersama di meja yang memiliki 4 bangku. Sebelum Abang pergi, dia selalu duduk bersebelahan dengan aku dan berbagi cerita lucu tentang teman-teman dia.

            10 menit berlalu dengan ditemani oleh keheningan. Aku menengok kanan kiri. Mereka masih makan. Aku melihat ke piringku yang masih penuh.

"Aku ingin bergabung dengan PETA."

Ya, kalimat itu yang membuat kesunyian tersebut pecah. "Apa?" jawab Ayah dan Ibu bersamaan. "Ya, aku ingin bergabung," Aku meletakkan sendok yang aku pegang dengan kencang ke piring, "Besok aku akan memulai pelatihan. Aku akan bertemu dengan abang."

11 Februari 1945

"AYO. KALIAN ADALAH PENGECUT ATAU TENTARA?!" teriak komandan dengan kencang kepada barisan aku. Sebagai ketua, aku merasa tertekan. Meskipun baru 2 hari di pelatihan sudah serasa bertahun-tahun. Pelatihan yang berat dan juga setiap saat. Selama 2 hari ini susah sekali untuk mencari Abang. Dari bibir mulut aku dengar, Abang sudah bekerja di lapangan dan juga ada yang bilang tewas saat berperang.

"Eh, Aden, mau cari Abang? Dia sedang mengikuti pemberontakan itu," bisik Pedro. Aku menengok setelah mendengar kata Abang. "Maksudmu, kamu tahu bahwa aku sedang mencari Abang?" tanyaku sambil menaikkan alisku.

Pedro mengangguk, "Kelihatan. Tidak mungkin seorang yang sepertimu datang-datang untuk mengikuti PETA. Orang sepertimu sangat cinta tanah air. Kamu tidak suka dengan apa yang terjadi di Indonesia tanah kita sekarang.." Perkataan Pedro disela oleh Komandan. "Apa yang sedang kalian bicarakan?" sambil memberikan tatapan tajam. "Sebaiknya kalian lanjut berlatih. Saya tidak mau ada anak bimbingan saya yang bermain-main di saat yang serius." Kami berdua pun langsung sigap menuruti.

"Bagaimana kau bisa tahu tentang keberadaan Abang?" tanyaku dari seberang kasur. "beberapa anak PETA yang sudah lama, ditarik oleh Supriyadi. Komandan platon itu. Katanya si beliau tidak suka dengan cara kerja Jepang terhadap Indonesia. Beliau akan melakukan pemberontakan sekitar minggu ini," Pedro diam sebentar lalu menatap ke jendela. "Beliau sedang merekrut pemuda-pemuda yang siap untuk memberontak PETA."

Aku harus bergabung.

"Pedro, mari kita memberontak," kataku dengan nada bahagia dan senyuman.

12 Februari 1945

"Kalian sudah lihat? Betapa menderitanya para pekerja yang dipaksa, disiksa? Sekarang, beritahu saya. Mengapa kalian masih mau mengikuti apa perintah komandan PETA?" Teriak Supriyadi. Aku dibawa ke ruangan rahasia di daerah Blitar. Tampaknya ini adalah rumah beliau. Tetapi, sangat gelap. Hanya terang 2 lampu kuning yang menyinari.

"Saya ingin bertanya. Apakah kalian sungguh-sungguh akan mempertaruhkan nyawa kalian untuk menghentikan penyiksaan ini?" Satu ruangan berseru YA!

Terdengar dari ujung ruangan suara itu. Suara yang akrab. Suara Abang. Dia tampak berbeda dengan tampilan lebih patriotik dari biasa. Abang melihatku lalu memberikan senyuman kecil. Aku pun membalasnya.

            Rencana ini terdengar sangat baik. Memberontak kepada PETA. Dengan 68 orang ini, sudah cukup untuk memberontak. Aku sangat positif. Komandan Supriyadi juga. Tetapi, kami masih butuh sebuah persetujuan dari Bapak Soekarno karena tanpa persetujuan maka kami tidak dapat melaksanakan pemberontakan dengan lancar. Komandan berencana untuk meminta pendapatnya mengenai rencana ini. Aku hanya berharap ini berjalan dengan lancar.

 

13 Februari 1945

            "Berita bagus kawan-kawan, Soekarno akan berkunjung ke Blitar untuk mengunjungi orang tuanya. Ini adalah saat yang tepat untuk memberitahu tentang tencana kita dan meminta pendapatnya!" seru salah seorang pasukan. Supriyadi pun mengangguk sebagai tanda setuju. Aku dan Abang sedang duduk-duduk di keheningan.

            "Bagaimana kabar orang tua kita, Den?" tanya Abang. "Baik. Tetapi, mereka menunggu kakak untuk pulang ke rumah," jawabku tanpa melihat wajah Abang. Memang terdengar Abang khawatir, aku ingin menanyakan mengapa Abang tidak pulang, tetapi saat ini adalah waktu yang sangat tidak tepat. Aku memiliki rasa kesal terhadap Abang. Kenapa harus disaat seperti ini dia harus pergi? Hari ini pasukan harus siap memberontak. Fokus kepada tujuan. 

            "Pasukan, mari bersiap-siap!" tegas Supriyadi. Kami mengambil semua barang-barang yang dibutuhkan dalam pemberontakan. "Kalian akan menghampiri Soekarno dan menanyakan tentang hal ini. Pastikan jangan sampai ada tentara lain yang menyadari tentang kehadiran kita."

            "Kami akan melaksanakan pemberontakan pada tanggal 14 Februari tepatnya besok. Pemberontakan terhadap PETA yang dipimpin oleh Komandan Supriyadi. Menurut bapak, bagaimana?" tanya Abang dengan penuh percaya diri. Soekarno melihat kami dan memberikan kami tatapan tidak yakin. "Kalian semua yakin? Bahwa rencana ini akan berjalan dengan lancar? Menurut saya, risikonya sangat besar. Tolong kalian pertimbangkan dahulu. Kalian hanya berjumlah 68 orang. Bagaimana kalian bisa melawan satu organisasi PETA?"

            "Saya yakin. Pemberontakan ini akan berjalan dengan baik dan lancar. Pemberontakan ini akan berhasil. Karena, rasa cinta kami akan tanah air dan kehidupan rakyat yang sangat menyiksa dapat dihentikan dengan cara ini," tegas Supriyadi. Kami para pasukan hanya berdiri di belakang dan memberikan tatapan serius. Kami serius ingin membela untuk rakyat kami. Kami tidak suka melihat penderitaan yang telah dilakukan oleh Jepang. Kerja paksa, hasil pertanian dirampas oleh mereka, dan terjadinya rasisme di antaranya.

14 Februari 1945

Pemberontakan pun dimulai. Tembakan pun sudah. Dimulai dari yang awalnya hanya perbuatan yang sembunyi-sembunyi menjadi heboh. Kami berhasil membunuh beberapa tentara PETA dan Jepang. Kami merampas barang-barang yang dapat kami ambil. Lalu, kami akan kembali lagi untuk melanjutkan rencana tetapi, komandan memerintahkan hal yang lain. Beliau meminta kita untuk mundur dan hanya mengambil beberapa barang yang sanggup kita ambil.

"KALIAN! AMBIL SENJATA DAN PERSEDIAANYA YANG DAPAT KALIAN AMBIL! KITA AKAN MUNDUR," teriak komandan. Suara tembakan pun makin keras. Langkah kaki pun semakin banyak. Jepang ternyata memerintahkan tentara PETA untuk melawan kita kembali! Kami langsung cepat-cepat kabur. Tetapi, tiba-tiba BRUK! Suara jatuh dari salah satu pasukan kami.

Abang.

Tidak.

Darah bercucuran dari sisi kanan perut. Nafas Abang menjadi pendek. Seperti tersesak. Aku, Pedro, dan satu teman lagi membantu membawa dia untuk diamankan. Kami kembali lari ke markas. Kami akan aman di sini meskipun hanya beberapa saat.

"ARGH! Kita seharusnya bisa mendapatkan yang lebih! Sekarang mereka memburu kita! Salah satu pasukan kita terkena baku tembakan!" Komandan marah sambil memukul meja. Tetapi, bukan marah yang menggelegar melainkan marah yang bercampur dengan kesedihan. "Kita tidak dapat membebaskan rakyat dari kerja paksa.. Kita sudah menjadi buronan. Rakyat pun akan melihat kita sebagai salah satu musuh mereka," kata komandan.

Aku mengalihkan perhatian ke Abang. Dia masih tertidur di kasur. Pembalut yang sudah dilapisi sebanyak 3 kali masih terlihat darah pekat di sekitar pinggang.

Ayah dan Ibu akan sangat kesal jika mereka tahu tentang hal ini.

Risiko yang harus ditanggung memang besar..

Aku menghampiri Abang. Aku yakin. Dia tidak akan selamat. Darah yang keluar terlalu banyak.

Risikonya.. kehilangan seorang kakak.

"Aden, kamu tahu... Abang pergi. Supaya, Abang bisa membalas dendam kepada Jepang. Tapi, tampaknya. Abang tidak sanggup. Aden. Jaga Ibu dan Ayah. Abang tidak akan pulang lagi. Abang senang sudah memberontak demi kebaikan..," Helaan nafas yang terakhir terdengar sangat kencang di telinga. Semacam pertanda. Aku menahan tangisan. Tidak bisa aku menangis di sini. Pedro menghampiri dan meletakkan tangannya dibahuku. "Dia sudah mati membela. Dia sudah berlatih selama 2 bulan lebih. Sekarang giliran kamu, Aden, sebagai adik. Membela tanah ini," kata Pedro. Aku menatap Pedro. Pedro tampaknya ingin menangis juga tetapi, dia menahan.

"Tampaknya ini adalah pertemuan terakhir kita. Kelompok pemberontak PETA. Cepat atau lambat, kita pasti akan ditemukan. Jadi, ini adalah sebuah perkataan terakhir saya. Beritahu kepada yang lain. Perjuangan atas kemerdekaan, keadilan, hilangnya penderitaan tidak akan berakhir sampai sini. Indonesia akan merdeka. Hanya tinggal waktu saja yang akan memberitahu kapan. Jadi, sekarang adalah waktunya untuk kalian bubar, kabur, cari tempat aman karena Jepang akan menangkap dan menghukum kalian.. Terima kasih atas segala perjuangan kalian."

Semua mengangguk setuju dan berpisah satu sama lain.

Tidak lama, semua pasukan tertangkap. Hukuman pun diberikan menurut pengadilan. Senang sekali aku, setidaknya aku sudah membela tanah air meskipun hanya satu tempat saja. Indonesia suatu saat akan merdeka. Pasti.

Suara radio

Pelaku pemberontakan yang terjadi di Blitar pada tanggal 14 Februari 1945, sudah tertangkap 68 orang. Mereka akan diadili di Jakarta. Berdasarkan informasi, 8 orang akan dihukum mati, sisanya dipenjara. Tetapi, ketua pemberontak, Supriyadi, masih menjadi buronan. Bagi yang menemukan akan diberikan sebuah hadiah..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun