Pemberontakan pun dimulai. Tembakan pun sudah. Dimulai dari yang awalnya hanya perbuatan yang sembunyi-sembunyi menjadi heboh. Kami berhasil membunuh beberapa tentara PETA dan Jepang. Kami merampas barang-barang yang dapat kami ambil. Lalu, kami akan kembali lagi untuk melanjutkan rencana tetapi, komandan memerintahkan hal yang lain. Beliau meminta kita untuk mundur dan hanya mengambil beberapa barang yang sanggup kita ambil.
"KALIAN! AMBIL SENJATA DAN PERSEDIAANYA YANG DAPAT KALIAN AMBIL! KITA AKAN MUNDUR," teriak komandan. Suara tembakan pun makin keras. Langkah kaki pun semakin banyak. Jepang ternyata memerintahkan tentara PETA untuk melawan kita kembali! Kami langsung cepat-cepat kabur. Tetapi, tiba-tiba BRUK! Suara jatuh dari salah satu pasukan kami.
Abang.
Tidak.
Darah bercucuran dari sisi kanan perut. Nafas Abang menjadi pendek. Seperti tersesak. Aku, Pedro, dan satu teman lagi membantu membawa dia untuk diamankan. Kami kembali lari ke markas. Kami akan aman di sini meskipun hanya beberapa saat.
"ARGH! Kita seharusnya bisa mendapatkan yang lebih! Sekarang mereka memburu kita! Salah satu pasukan kita terkena baku tembakan!" Komandan marah sambil memukul meja. Tetapi, bukan marah yang menggelegar melainkan marah yang bercampur dengan kesedihan. "Kita tidak dapat membebaskan rakyat dari kerja paksa.. Kita sudah menjadi buronan. Rakyat pun akan melihat kita sebagai salah satu musuh mereka," kata komandan.
Aku mengalihkan perhatian ke Abang. Dia masih tertidur di kasur. Pembalut yang sudah dilapisi sebanyak 3 kali masih terlihat darah pekat di sekitar pinggang.
Ayah dan Ibu akan sangat kesal jika mereka tahu tentang hal ini.
Risiko yang harus ditanggung memang besar..
Aku menghampiri Abang. Aku yakin. Dia tidak akan selamat. Darah yang keluar terlalu banyak.
Risikonya.. kehilangan seorang kakak.