Sakit yang kurasa, tak sesakit saat kau mendua. Perhatian, kasih sayangmu tak berkurang padaku. Walau kurasa ada cinta yang kau bagi. Tapi cintamu utuh untukku. Ungkapan cintamu yang selalu kau ucapkan. Kata-kata romantis penuh cinta tak berkurang walau kau telah mendua.
"Aku ingin memiliki anak perempuan."
Aku bisa apa, jika itu menjadi keinginanmu. Hingga pernikahan itupun terjadi. Seorang wanita yang akhirnya dapat memberikan empat putri. Mereka begitu cantik, hingga hati ku pun luluh. Walau mereka bukan terlahir dari rahimku. Namun, mereka juga darah dagingmu. Aku sadar akan kekuranganku.
Perhatianmu tetap tak pudar. Semakin sayang padaku. Rayuan penuh cinta, pelukan hangat, nan mesra. Begitu melimpah kurasakan. Walau engkau berbagi cinta. Aku tak pernah merasakan kekurangan. Aku merasa menjadi wanita yang paling bahagia di muka bumi ini.
Hingga suatu hari. Engkau merasakan nyeri di perutmu. Seperti biasa, hanya baluran minyak angin serta kerokan di tubuhmu, yang kau pinta padaku.
"Hanya masuk angin biasa," itu jawabanmu.
Sakitmu berlarut. Bukan hanya nyeri di perut. Ternyata saat BAB, hanya lendir bercampur darah yang mengucur dari tubuhmu. Tubuhmu mulai lelah. Napsu makanmu mulai hilang. Tubuhmu mulai kurus. Kita ke dokter.
"Ada benjolan kecil di sekitar usus. Kemungkinan tumor." Analisa dokter kala itu.
Sejak masih bujangan, engkau memiliki ginjal yang lemah. Fatal yang terjadi. Saat engkau bersikeras untuk melakukan pengobatan hanya melalui terapis. Engkau lupa. Akupun lupa. Ginjalmu tak mampu mengolah obat-obat dari terapis. Akhirnya engkau di rujuk untuk melakukan operasi di rumah sakit di pulau seberang. Ternyata tumor telah menyerang ginjalmu.
Saat operasi akan dilakukan. Hb mu rendah, perlu tranfusi lima kantong darah. Alhmadulillah berkat komunikasi di sosial media. Kebutuhan lima kantong darah terpenuhi. Operasipun dilakukan. Alhamdulillah operasi sukses. Namun, ujian kembali datang. Sebelum melakukan operasi selanjutnya. Engkau tak bisa BAB. Akhirnya dilakukan pelubangan pada perut untuk membantu mengeluarkan kotoran. Sejak itu tubuhmu semakin lemah. Kini hanya tinggal kulit yang membalut tulang. Kesadaranmu mulai hilang. Di temani seorang sahabat di sana, kami menuntunmu. Satu-satu napasmu mulai hilang.
"Kami ikhlas melepasmu. Pergilah dengan tenang," ucapku.
Engkau mengikuti Asma Allah yang kami ucapkan.
"Minum," terpatah kau ucapkan.
Setelah itu, dengan mengucap kalimah syahadat. Engkau pergi selamanya.
Walau di mulut aku berkata," Aku ikhlas melepasmu sayang. Namun, di hatiku berkata lain. Aku tak sanggup kehilanganmu kekasihku."
Dua puluh lima tahun mahligai rumah tangga kita jalani bersama. Onak duri, tikungan terjal, maupun beribu masalah, dapat kita atasi. Dengan kasih sayang, kepercayaan, saling menjaga, dan iman di hati tentu saja. Cinta kita semakin kuat.
Sekuat apapun cinta kita. Jika sang pemilik cinta, akan memisahkan. Kita tak sanggup menolak. Begitu banyak sahabat, saudara yang mengantar kepergianmu.
"Abang orang baik. Sangat baik," terdengar cerita mereka tentang keseharianmu.
Kamis malam jumat pukul 23.45 engkau pergi selama-lamanya.
"Pergilah bang. Tunggu aku dan buah cinta kita di Jannah-Nya.
"Aku bahagia, telah menjadi pendampingmu. Kenangan cinta kita kan abadi di hatiku. Kan ku rawat buah cinta kita hingga sukses."
Kini, di kamar tempat kita memadu kasih. Aku melamun. Memandangi langit-langit kamar. Seolah, senyummu ada di sana. Masih kurasakan pelukan hangatmu. Aroma tubuhmu masih ada di baju yang tergantung di kamar kita. Walau di hadapan para kerabat aku berkat, "Aku kuat." Namun, air mata ini tak dapat kucegah.
"Aku rindu bang."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H