Mohon tunggu...
Nadya Agus Salim
Nadya Agus Salim Mohon Tunggu... Guru - Seorang Penulis yang juga berprofesi sebagai pendidik

Nadya. terkenal dengan nama Pena Nadya Agus Salim ,. Ibu dua orang anak ini adalah seorang guru SMK yang memiliki hobby menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Nenek Asih Berpulang

4 September 2021   10:19 Diperbarui: 4 September 2021   10:27 1054
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: ordinarymanjournal.wordpress.com

Kampung Marawi terletak di kaki bukit. Ada satu keluarga yang hidup sangat sederhana. Pak Maman dan Ibu Ayu, mereka memiliki seorang putri yang bernama Latifah. Latifah masih kelas lima sekolah dasar. 

Keseharian keluarga kecil mereka, mengolah lahan yang ada di sekitar rumah. Ditanami sayur, mayur dan hasilnya di jual ke kota. Latifah sepulang sekolah membantu ibu mencari kayu bakar di hutan.

Seperti biasanya, hari itu Ifah juga mencari kayu bakar. Tak terasa kakinya semakin jauh melangkah ke dalam hutan. Tampak dikejauhan ada sebuah gubuk. Penasaran, Ifah melangkahkan kakinya kesana. 

Ternyata di gubuk tersebut ada seorang nenek yang tinggal sendirian. Nenek Asih namanya. Suaminya telah meninggal dua tahun yang lalu. 

Makamnya juga ada di dekat gubuk mereka. Nenek Asih dan Aki Rahmat, sepanjang usianya tak memiliki anak. Nenek Asih sangat baik, ia mengajak Ifah bercerita. Hingga tak terasa hari telah berganti malam. Takut dicari kedua orang tuanya. Ifah segera pamit.

"Nenek hati-hati ya?" kata Ifah.

"Salam sama kedua orang tuamu," ucap Nenek Asih.

Ifah berlari kencang, menuju rumahnya. Setiba di rumah, kedua orang tuanya mulai panik mencari keberadaannya. Mereka takut Ifah di tangkap nenek jadi-jadian seperti yang dibicarakan penduduk desa.

"Maaf ayah! Maaf ibu!, Ifah memang mampir ke gubuk Nenek Asih. Beliau bukan nenek-nenek jadian seperti yang dibicarakan penduduk desa. Nenek Asih, manusia biasa seperti kita juga. Kasihan Nenek Asih, hidup sebatangkara di tengah hutan. Cerita Ifah pada kedua orang tuanya."

Orang tuanya percaya, akan cerita yang disampaikan Ifah. Dahulu, waktu mereka masih kecil, mereka mendengar cerita yang sama. Bahwa ada suami istri yang tinggal di tengah hutan. Mereka mengolah kebun buah-buahan dan beberapa hektar sawah. Kedua orang tua Ifah tak pernah sampai ke tengah hutan.

Hari ini siang begitu panas. Sinarnya membakar kulit putih Ifah. Ia segera pulang ke rumah. Ia akan mengunjungi Nenek Asih. Tak lupa membawakan sedikit makanan.

Setelah makan siang, Ifah pamit pada kedua orang tuanya. Orang tuanya berpesan jangan pulang terlalu sore, takut ada binatang buas.

Sambil bernyanyi riang, tak terasa Ifah tiba di gubuk nenek. Nenek sedang melamun di depan jendela.

"Dar" kata Ifah.

"Yaa Allah Ifah, masuk ke rumah itu pakai salam, bukan pakai "Dar" seru Nek Asih kaget.

"Maaf nek! Assalamualaikum," ucap Ifah sambil cengengesan.

"Jangan diulangi lagi ya?" kata Nenek Asih.

"Siap nek," lanjut Ifah.

Sejak ada Ifah, keceriaan Nenek Asih kembali. Walau Ifah mengunjungi setelah sepulang sekolah. Ia yang sebatangkara. Cukup merasa terhibur akan kehadiran Ifah. Mereka menghabiskan waktu dengan bercerita. Terkadang ke kebun memetik buah-buahan yang telah ranum.

Telah sebulan persahabatan Ifah dan Nenek Asih. Terkadang, karena capeknya bercerita. Ifah sampai tertidur di pangkuan Nenek Asih. Ia merasa sangat disayangi.

"Mentari telah menampakkan senyumannya. Burung-burung bernyanyi riang." Di dalah hutan, tempat tinggal Nenek Asih, ramai penduduk berkumpul. Ternyata, menjelang Azan Subuh, Nenek Asih telah menghadap Rabb-Nya. 

Berita meninggalnya Nenek Asih, bak petir di siang bolong. Kemarin, saat mengunjungi Nenek. Tak ada firasat, atau sakit yang dirasakan Nenek. Tanpa menunggu kedua orang tuanya. Ifah berlari sekencang-kencangnya menuju gubuk Nenek Asih.

"Nenek!" teriaknya. "Jangan tinggalkan Ifah Nek. Ifah tak punya teman lagi Nek," isak Ifah menggema.

Penduduk desa, sangat menyesal, ternyata cerita tentang nenek jadi-jadian bohong belaka. Ifah anak sekecil ini, malah berani masuk ke dalam hutan dan menemani Nenek Asih. Jenazah Nenek Asih dimakamkan tak jauh dari suaminya. Di samping gubuk mereka. Setelah prosesi pemakaman selesai. Seorang lelaki berjas hitam, dengan kaca mata bertengger di hidungnya mancungnya. Mengeluarkan setumpuk map dari dalam tasnya.

"Siapa diantara bapak-bapak dan ibu-ibu, orang tua dari Ifah?" tanya lelaki tersebut.

Orang tua Ifahpun duduk mendekati lelaki tadi.

"Mohon maaf, perkenalkan, saya Yoga, pengacara dari Nenek Ifah dan Kakek Rahmat."

"Selama ini mereka memang mencari siapa yang berhak menerima warisan mereka. Berpuluh hektar sawah, serta berpuluh hektar kebun buah-buahan. Selama ini, saya yang membantu pengelolaannya. 

Penduduk desa memang tak tahu, bahwa kakek Rahmat dan Nenek Asih adalah orang terkaya di desa ini. Hidup mereka yang sederhana, luput dari perhatian penduduk. Itu sekelumit cerita tentang Kakek Rahmat dan Nenek Asih.

Sebulan terakhir ini, Nenek Asih, sangat bahagia. Hidupnya kembali penuh warna. Ifah menjadi penyemangatnya. Tetapi usia Nenek Asih yang memang telah lanjut. Membuat ia tak mampu bertahan. Seluruh harta warisan Nenek Asih dan Kakek Rahmat telah diwariskan kepada Ifah."

Apa yang diungkapkan pengacara barusan, membuat orang tua Ifah terkejut. Mereka tak menyangka, kasih sayang anaknya kepada Nenek Asih berbuah manis.

Ifah kini menjadi anak terkaya di desanya. Ia akan sekolah hingga ke perguruan tinggi. Cita-citanya untuk menjadi Dokter, kini di depan mata. Masalah biaya tak lagi jadi permasalahan. Kehidupan merekapun berubah. Tetapi Ifah tetaplah seorang anak yang sederhana, ceria, penyanyang kepada semua orang.

"Jangan mudah menilai seseorang, hanya dari bentuk fisiknya."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun