"Nenek!" teriaknya. "Jangan tinggalkan Ifah Nek. Ifah tak punya teman lagi Nek," isak Ifah menggema.
Penduduk desa, sangat menyesal, ternyata cerita tentang nenek jadi-jadian bohong belaka. Ifah anak sekecil ini, malah berani masuk ke dalam hutan dan menemani Nenek Asih. Jenazah Nenek Asih dimakamkan tak jauh dari suaminya. Di samping gubuk mereka. Setelah prosesi pemakaman selesai. Seorang lelaki berjas hitam, dengan kaca mata bertengger di hidungnya mancungnya. Mengeluarkan setumpuk map dari dalam tasnya.
"Siapa diantara bapak-bapak dan ibu-ibu, orang tua dari Ifah?" tanya lelaki tersebut.
Orang tua Ifahpun duduk mendekati lelaki tadi.
"Mohon maaf, perkenalkan, saya Yoga, pengacara dari Nenek Ifah dan Kakek Rahmat."
"Selama ini mereka memang mencari siapa yang berhak menerima warisan mereka. Berpuluh hektar sawah, serta berpuluh hektar kebun buah-buahan. Selama ini, saya yang membantu pengelolaannya.Â
Penduduk desa memang tak tahu, bahwa kakek Rahmat dan Nenek Asih adalah orang terkaya di desa ini. Hidup mereka yang sederhana, luput dari perhatian penduduk. Itu sekelumit cerita tentang Kakek Rahmat dan Nenek Asih.
Sebulan terakhir ini, Nenek Asih, sangat bahagia. Hidupnya kembali penuh warna. Ifah menjadi penyemangatnya. Tetapi usia Nenek Asih yang memang telah lanjut. Membuat ia tak mampu bertahan. Seluruh harta warisan Nenek Asih dan Kakek Rahmat telah diwariskan kepada Ifah."
Apa yang diungkapkan pengacara barusan, membuat orang tua Ifah terkejut. Mereka tak menyangka, kasih sayang anaknya kepada Nenek Asih berbuah manis.
Ifah kini menjadi anak terkaya di desanya. Ia akan sekolah hingga ke perguruan tinggi. Cita-citanya untuk menjadi Dokter, kini di depan mata. Masalah biaya tak lagi jadi permasalahan. Kehidupan merekapun berubah. Tetapi Ifah tetaplah seorang anak yang sederhana, ceria, penyanyang kepada semua orang.
"Jangan mudah menilai seseorang, hanya dari bentuk fisiknya."