Embun masih belum beranjak dari dedaunan. Rembulan masih samar terlihat. Rina telah beranjak menuju dapur. Pekerjaan menggunung telah menunggunya.Â
Cucian piring, baju kotor, membersihkan rumah, serta masih banyak pekerjaan yang harus dikerjakannya. Ia menantu di rumah besar itu. Rina seorang gadis cantik.
 Kemiskinan membuat ia hanya bersekolah sampai SMP. Ayah dan ibunya hanya bekerja sebagai pemulung. Adiknya Rani harus bekerja sambilan di laundy sepulang sekolah. Ia seorang siswa SMA. Demi bisa bersekolah ke jenjang lebih tinggi. Ia harus bersekolah sambil bekerja.
Wira, suami dari Rina tak bekerja. Sejak kakinya cacat (hanya sebelah), karena kecelakaan yang menimpanya sepulang kerja. Ia di keluarkan dari kantor.Â
Akhirnya mereka hanya bisa menumpang di rumah orang tua Wira. Rina bekerja ibarat pembantu. Melayani semua penghuni rumah, demi dapat makan sepiring nasi. Walau makanan yang ia dan suaminya dapatkan. Menunggu sisa, setelah semua penghuni rumah selesai makan.
Di rumah besar tersebut. Ada ibunya Wira. Adiknya Maya. Abangnya Dika beserta istrinya Luci. Karena dianggap menumpang. Wira dan Rina harus rela mengabdi di rumah besar tersebut.Â
Hujatan, cacian, bentakan, kadang perlakuan fisik, Rina terima. Namun suaminya Wira, tak dapat berbuat apa-apa. Istri dari Dika, seorang sarjana.
Adiknya Maya sedang melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Pendidikan Rina dan latar belakang keluarganya yang miskin membuat ia sering dihina. Mertuanya sejak dari awal, memang tak merestui pernikahan mereka. Ia malu karena memiliki besan seorang pemulung.
"Rina. Dasar menantu bodoh. Sudah miskin. Tak sekolah. Kerja lelet lagi," umpat mertuanya. Bu Leha, mertuanya. Selalu membandingkan dirinya dengan Luci dan Maya.
Rina hanya terdiam. Ia berdoa semoga Allah memberikannya rezeki. Hingga ia dan suaminya Wira dapat hidup mandiri. Suaminya Wira. Tak mengetahui.Â
Di malam hari. Berbekal handphone butut. Rina menjadi seorang penulis di aplikasi online berbayar. Kini penghasilannya sudah puluhan juta. Ia berencana akan membuka toko klontong. Sementara ini ia menunggu tabungannya banyak. Setelah itu, ia akan mencari ruko, sekaligus untuk tempat tinggal mereka.
"Kak Rina. Bajuku kok belum disetrika. Aku mau ke pesta ulang tahun temanku. Apa sih kerjaan kakak. Dasar pemalas," cacian ia terima dari adik iparnya.
"Rina. Aku lapar. Kok makan siang belum ada di meja?" teriak Luci, istri dari abang iparnya.
Mereka merasa dirinya lebih pintar, karena berpendidikan tinggi. Mereka tak sadar. Setinggi apapun pendidikan kita. Jika tak memilki attitude yang bagus. Tetaplah jelek di mata masyarakat.
Malam telah larut. Walau tubuh terasa penat. Rina menyempatkan diri melanjutkan tulisannya. Impiannya ingin sukses dan segera pergi dari rumah yang hanya menganggap mereka pembantu.
Tak terasa kini tabungannya telah cukup untuk sekedar membuka toko kecil-kecilan. Ia berterus terang pada suaminya.
"Abang tak percaya Dek! Kamu memiliki uang sebanyak ini. Ternyata istri abang hebat. Baiklah kita cari dulu ruko yang strategis, dengan harga murah. Nanti abang tanya sama teman abang di kantor. Mungkin mereka ada kenalan," sahut Wira antusias.
Setelah mendapat informasi dari temannya. Wira segera menghubungi pemilik ruko. Alhamdulillah dalam waktu singkat kesepakatan mereka dapatkan. Pemilik ruko yang melihat keadaan Wira, terharu. Ia melepas rukonye dengan harga murah untuk di sewa.
Wira dan Rina pamit, setelah pekerjaan di rumah selesai.
"Mau kemana kalian?" tanya Ibu Leha.
"Kami mau ke rumah baru kami. Esok kami akan pindah," jawab Wira.
"Rumah baru? Dari mana kalian dapat uang. Kamu cacat tidak bekerja. Sedangkan istrimu seharian hanya di rumah. Bagaimana kalian bisa memiliku uang. Sedangkan orang tua Rina juga miskin," tanya Bu Leha beruntun.
"Istriku Rina seorang penulis Bu?" jawab Wira.
"Ha ha ha ha. Penulis. Apa menjadi seorang penulis bisa kaya? Sedang Rina juga hanya tamatan SMP," ucap ibunya.
Wira tak menggubris hinaan ibunya. Biarlah orang tak percaya pikirnya.
Hari ini Rina dan Wira berangkat ke ruko yang akan mereka tempati. Mereka membawa barang-barang sekaligus mengisi barang untuk toko mereka.Â
Ruko yang akan mereka tempati sudah bersih. Jadi mereka hanya tinggal menempati. Setelah pekerjaan mereka selesai. Mereka segera pulang. Esok mereka akan grand opening pembukaan toko kelontong mereka. Sesampainya di rumah.
"Rina! Bentak Luci. Aku dengar kalian akan pindah. Apa kamu ikut pesugihan. Begitu cepat kalian punya uang. Padahal selama ini hanya berdiam di rumah. Apalagi kamu cuma tamatan SMP. Beda denga aku yang seorang sarjana," Luci berbicara tanpa henti.
Rina tak meladeni pertanyaan Luci. Percuma pikirnya. Ia tetap akan kalah. Mereka tetap tak akan percaya. Jika ia memiliki uang. Melihat Rina tak menjawab pertanyaannya. Hati Luci semakin geram.
"Dasar bodoh. Miskin. Aku tanya kamu. Harusnya kamu jawab," teriaknya lagi.
Rina segera masuk ke kamar. Ia mempersipkan barang yang masih tertinggal untuk dibawa. Setelah itu ia merebahkan diri. Walau tubuhnya terasa lelah.Â
Ia bahagia. Impiannya lepas dari keluarga yang selalu menghinanya terkabul. Semua berkat ketekunan serta kesabarannya. Suaminya Wira, juga mendukung usahanya. Ia kasihan. Selama ini menyaksikan istrinya di hina, di caci maki.
Matahari telah menampakkan sinarnya. Wira dan Rina telah bersiap berangkat ke tempat tinggal barunya. Walau ibunya melarang. Mereka tetap berangkat.Â
Masa depan telah ada di hadapan mereka. Mereka yakin akan sukses ke depannya. Allah selalu bersama hambanya yang mau berusaha.
Kini rumah yang mereka tinggalkan tak terurus. Baju kotor menumpuk. Piring kotor berserakan. Menantu sarjana yang dibanggakan. Tak mau mengerjakan pekerjaan rumah. Begitu juga putri yang dimanja.Â
Hanya sesal yang mewarnai hati Bu Leha. Ia sadar Rina adalah menantu yang baik. Tak pernah membantah, sabar, juga rajin. Kini dengan terpaksa. Ia yang sudah renta, mengerjakan semua pekerjaan rumah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H