Kota Khatulistiwa hingga kini, masih termasuk zona orange. Pembatasan untuk berkumpul di semua tempat masih diberlakukan. Membuat ruang gerak para tuna netra yang penghasilan sehari-harinya dari mengamen semakin sempit. Kecil harapan mereka untuk membawa selembar rupiah berwarna biru ke rumah. Jika ada yang memberi mereka selembar rupiah bertuliskan sepuluh ribu, maka sejumlah itulah pendapatan mereka hari itu.
Junai seorang tuna netra yang memiliki tiga orang anak usia balita. Pekerjaan sehari-harinya hanya menjadi pengamen di pasar-pasar tradisional. Saat pandemie sekarang ini, pendapatannya tidaklah menentu.
Junai tetap harus berikhtiar. Bukankah Allah pasti memberi jalan bagi hamba-Nya yang berusaha?
Meskipun sebagian orang memandang hina 'profesi' yang ia geluti, namun ia bukanlah orang yang memanfaatkan situasi untuk meminta belas kasihan orang lain tanpa mau berusaha bekerja. Himpitan ekonomi dan kecacatan fisiklah yang membuat ia memilih pekerjaan itu. Bukan memilih, tetapi memang tidak ada pilihan.
Ada kalanya Junai merasa bersyukur Allah cabut nikmat penglihatan darinya, sehingga ia tidak perlu melihat wajah-wajah penuh cibiran saat orang-orang di pasar yang dengan sengaja menghindarinya setelah asik menikmati dendangan suara merdu Junai.
Sebagian yang lain menganggap pengamen di pasar adalah pengganggu hingga mereka cepat-cepat mengusir mereka setelah melemparkan selembar uang recehan yang telah lusuh. Mereka enggan menyisihkan sedikitpun rejeki, seakan lupa pada hak kaum dhuafa seperti Junai akan harta yang mereka punya.
Esok Hari Raya Idul Adha, tak ada beras, apalagi rendang yang diharapkan anak-anaknya. Junai mulai resah, apa yang harus ia lakukan?
"Allaahu akbar Allaahu akbar Allaahu akbar, laa illaa haillallahuwaallaahuakbar Allaahu akbar walillaahil hamd." Takbir menggema di pagi yang cerah. Sinar sang mentari, tak secerah senyum Adinda. Ia anak usia lima tahun yang sedang bermuram durja. Lapar yang Ia rasakan sedari malam hingga pagi ini. Ia membayangkan rendang yang gurih di pagi Idul Adha. Tetapi apa yang ia bayangkan, tak sesuai harapan. Bau rendang yang menggoda belum tercium di atas meja.
Akhirnya dengan rasa lapar yang sudah tak bisa ia tahan.
"Ayah! Aku lapar!" Adinda menangis.
"Iy! Ayah tahu, yang sabar ya? minum air putih dulu!" rayu ayahnya.