Mohon tunggu...
Nadya Agus Salim
Nadya Agus Salim Mohon Tunggu... Guru - Seorang Penulis yang juga berprofesi sebagai pendidik

Nadya. terkenal dengan nama Pena Nadya Agus Salim ,. Ibu dua orang anak ini adalah seorang guru SMK yang memiliki hobby menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rendang yang Dirindukan

11 Agustus 2021   16:20 Diperbarui: 11 Agustus 2021   16:35 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kota Khatulistiwa hingga kini, masih termasuk zona orange. Pembatasan untuk berkumpul di semua tempat masih diberlakukan. Membuat ruang gerak para tuna netra yang penghasilan sehari-harinya dari mengamen semakin sempit. Kecil harapan mereka untuk membawa selembar rupiah berwarna biru ke rumah. Jika ada yang memberi mereka selembar rupiah bertuliskan sepuluh ribu, maka sejumlah itulah pendapatan mereka hari itu.

Junai seorang tuna netra yang memiliki tiga orang anak usia balita. Pekerjaan sehari-harinya hanya menjadi pengamen di pasar-pasar tradisional. Saat pandemie sekarang ini, pendapatannya tidaklah menentu.

Junai tetap harus berikhtiar. Bukankah Allah pasti memberi jalan bagi hamba-Nya yang berusaha?

Meskipun sebagian orang memandang hina 'profesi' yang ia geluti, namun ia bukanlah orang yang memanfaatkan situasi untuk meminta belas kasihan orang lain tanpa mau berusaha bekerja. Himpitan ekonomi dan kecacatan fisiklah yang membuat ia memilih pekerjaan itu. Bukan memilih, tetapi memang tidak ada pilihan.

Ada kalanya Junai merasa bersyukur Allah cabut nikmat penglihatan darinya, sehingga ia tidak perlu melihat wajah-wajah penuh cibiran saat orang-orang di pasar yang dengan sengaja menghindarinya setelah asik menikmati dendangan suara merdu Junai.

Sebagian yang lain menganggap pengamen di pasar adalah pengganggu hingga mereka cepat-cepat mengusir mereka setelah melemparkan selembar uang recehan yang telah lusuh. Mereka enggan menyisihkan sedikitpun rejeki, seakan lupa pada hak kaum dhuafa seperti Junai akan harta yang mereka punya.

Esok Hari Raya Idul Adha, tak ada beras, apalagi rendang yang diharapkan anak-anaknya. Junai mulai resah, apa yang harus ia lakukan?

"Allaahu akbar Allaahu akbar Allaahu akbar, laa illaa haillallahuwaallaahuakbar Allaahu akbar walillaahil hamd." Takbir menggema di pagi yang cerah. Sinar sang mentari, tak secerah senyum Adinda. Ia anak usia lima tahun yang sedang bermuram durja. Lapar yang Ia rasakan sedari malam hingga pagi ini. Ia membayangkan rendang yang gurih di pagi Idul Adha. Tetapi apa yang ia bayangkan, tak sesuai harapan. Bau rendang yang menggoda belum tercium di atas meja.

Akhirnya dengan rasa lapar yang sudah tak bisa ia tahan.

"Ayah! Aku lapar!" Adinda menangis.

"Iy! Ayah tahu, yang sabar ya? minum air putih dulu!" rayu ayahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun