Tubuhnya mulai berubah, berubah menjadi sesuatu yang tidak manusiawi, seekor binatang buas yang mencoba memutuskan rantainya.Â
Mata MarÃo bersinar karena rasa lapar yang luar biasa, namun bahkan dalam wujudnya yang mengerikan, cintanya pada Martia membuatnya terus berjuang.
"Jangan biarkan aku pergi," dia memohon, dengan suara yang terpecah antara makhluk itu dan pria itu.
Martia, dengan air mata berlinang, memeluknya erat. Dia bisa merasakan kegelapan Mario yang berusaha memisahkan mereka, namun cinta mereka lebih kuat dari kutukan apa pun.Â
Seiring berjalannya waktu dan malam semakin pekat, Martia tak henti-hentinya membisikkan kata-kata lembut dan janji masa depan bersama, penuh cahaya. Dia merasakan tubuh Mario gemetar, melawan dirinya sendiri, tapi dia tidak pernah melepaskannya.
Makhluk itu menggeram, cakarnya merobek tanah, dan matanya bersinar seperti api di kegelapan. Namun, cinta Martia adalah tamengnya, satu-satunya pertahanannya melawan kutukan. Dengan setiap detak jantungnya, binatang itu melemah, dan lelaki itu kembali mengambil kendali.
Akhirnya, ketika sinar matahari pertama menerobos hutan, kegelapan menghilang sepenuhnya. Mario jatuh ke tanah, menjadi manusia lagi, terengah-engah, tubuhnya dipenuhi keringat dingin. Dia memandang Martia, takut dengan apa yang mungkin dilihatnya dalam dirinya.
Namun di mata Martia yang ada hanyalah cinta. Dia berlutut di sampingnya dan memeluknya, dengan lembut membelai wajahnya.
"Kita berhasil," katanya sambil tersenyum gemetar.
Cinta yang mereka bagi bersama lebih kuat dari kutukan apa pun, lebih kuat dari kegelapan apa pun. Saat itu, MarÃo tahu bahwa selama Martia berada di sisinya, tidak akan ada bayangan di dunia ini yang dapat menghabisinya lagi.
Maka, di tengah hutan yang telah menyaksikan begitu banyak tragedi, kisah cinta, teror, dan kelembutan menemukan akhir yang bahagia. MarÃo dan Martia, disatukan oleh ikatan yang tidak bisa dihancurkan, berjalan menuju fajar, meninggalkan kegelapan selamanya.