Dia meninggalkan ruangan, dia butuh udara. Dia berjalan melewati taman, di bawah langit yang gelap, nyaris tidak diterangi oleh beberapa bintang yang tersebar. Gema perkataan Yuna bergema di benaknya. “Hal yang paling berharga bukanlah apa yang kita miliki, tapi siapa yang kita miliki di sisi kita.” Aku selalu ada di sana, bersamamu, bahkan ketika kamu memutuskan untuk pergi.
Dimas mengeluarkan telepon dan menghubungi nomor Yuna. Nada deringnya bertambah panjang dari biasanya dan untuk sesaat, dia khawatir wanita itu tidak akan menjawab. Akhirnya suara Yuna memecah kesunyian.
“Dimas?”, Yuna berkata, dengan kelembutan yang tak pernah padam.
“Yuna..." jawab Dimas, tapi dia tidak bisa melanjutkan. Kata-kata itu tercekat di tenggorokannya, tercekik oleh beban rasa bersalah.
Yuna menunggu beberapa detik sebelum berbicara lagi.
“Kau tidak perlu mengatakan apapun, Dimas Aku mencintaimu, dan aku akan selalu berada di sisimu.
Dimas memejamkan mata, merasakan beratnya kata-kata itu. Sosok kayu berukir itu masih ada di tangannya, simbol cinta yang diberikan Yuna sepanjang hidupnya, cinta yang dibencinya karena keinginannya untuk menyesuaikan diri dengan dunia yang pada akhirnya tidak punya apa pun untuk ditawarkan kepadanya.
Pelajaran yang didapatnya malam itu akan selalu bersamanya. Dalam usahanya membangun kehidupan yang sempurna, Yuna telah melupakan hal terpenting: cinta dan ikatan yang benar-benar menentukan siapa kita.
Ketika menutup telepon, Dimas memutuskan keesokan harinya, dia akan naik bus pertama ke Wesley. Tidak peduli berapa lama waktu telah berlalu, Yuna berhak mengetahui bahwa bagaimanapun juga, cintanya adalah satu-satunya hal yang konstan dalam hidupnya.
Pernahkah Anda dihadapkan pada keputusan yang terpenting adalah memilih orang yang mencintai Anda di atas segalanya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H