“Saya pikir kamu benar. "Aku tidak akan mengundangnya," jawabnya, meskipun tenggorokannya tercekat, menyatakan sebaliknya.
Beberapa hari kemudian, Dimas menelepon ibunya Yuna. Meskipun bertahun-tahun berada dalam keterasingan, suara bibinya tetap sama: hangat, ramah, seperti selimut tua namun familiar. Ketika Dimas menjelaskan bahwa dia tidak bisa mengundangnya dan Yuna ke pesta pernikahan. Dengan cintanya yang tanpa syarat, menerimanya tanpa protes.
“Jangan khawatir, anakku. Yang penting kamu bahagia,” kata ibunya Yuna di ujung telepon, meski Dimas bisa merasakan jeda kecil dalam suaranya, sedikit getaran yang menandakan adanya cedera.
Hari pernikahan telah tiba. Aula resepsi Nadz Wedding, yang paling elegan di kawasan ini, bersinar dengan lampu emas dan dekorasi mewah. Dimas, yang mengenakan setelan desainernya tanpa cela, menyaksikan para tamu menikmati musik dan jamuan makan. Clara berseri-seri mengobrol dengan tokoh-tokoh penting di dunia bisnis.
Tapi ada sesuatu yang tidak cocok. Di antara tawa dan kesibukan, Dimas merasakan ketidaknyamanan yang aneh, semacam kehampaan yang tidak bisa dijelaskan. Ketika dia mencoba menikmati malam itu, seorang pelayan mendekatinya dengan sebuah bungkusan kecil di tangannya.
“Tuan Dimas, ini baru saja tiba untuk Anda.
Dimas mengambil bungkusan itu, terkejut. Tidak ada pengirimnya, tapi dia langsung mengenali nama pengirimnya: Yuna.
Dia membukanya dengan hati-hati, dan di dalamnya dia menemukan sosok kecil yang diukir di kayu. Itu adalah benda yang sederhana, tetapi bagi Dimas itu berarti segalanya. Itu adalah mainan yang sama yang dibuatkan Yuna untuknya ketika dia masih kecil, sosok kuda yang diukir dengan tangannya, simbol cintanya yang tanpa syarat. Di sebelah gambar itu, ada sebuah surat. Dengan jantung berdebar kencang, Dimas mulai membacanya:
“Dimas sayang, aku tahu kamu telah membangun kehidupan yang indah, kehidupan yang membuatmu bahagia, dan hanya itu yang aku inginkan untukmu. Jangan khawatir untuk tidak mengundangku ke pesta pernikahan, aku mengerti bahwa hidupmu berbeda sekarang. Hanya saja aku ingin mengirimimu ini, sedikit pengingat tentang siapa dirimu, saat yang penting hanyalah cinta dan kebersamaan. Jangan pernah lupa bahwa hal yang paling berharga bukanlah apa yang kita miliki, tapi siapa yang ada di sisi kita. Aku akan selalu ada untukmu. Dengan segenap cintaku, Yuna."
Surat itu terlepas dari tangannya. Dimas merasakan tekanan di dadanya, seolah beban tahun-tahun menimpanya secara tiba-tiba. Bagaimana dia bisa membiarkan dirinya terbawa sejauh ini hanya karena penampilan? Pikirannya mulai dipenuhi kenangan: sore hari saat Yuna mengajaknya ke sungai untuk memancing, Bermain kura-kura, malam saat Yuna memeluknya saat ketakutan akan badai membuatnya menangis, pengorbanan yang dilakukannya selama ini.
Clara memanggilnya dari lantai dansa, tapi Dimas tidak bisa bergerak. Angin puyuh penyesalan menyelimuti dirinya, dan setiap tawa, setiap cangkir yang diangkat di sekelilingnya, tampak kosong tak berarti.