"Aku tidak tahu," jawab Ray akhirnya. Namun saya tidak ingin menjadi orang yang menghalangi Anda mencapai apa yang selama ini Anda impikan.
Waktu berlalu dengan cepat. Izel membenamkan dirinya dalam latihan untuk pekerjaannya, sementara Ray memulai hidupnya sebagai pianis di tempat lain. Meski berjauhan, mereka tetap berhubungan, namun percakapan menjadi semakin pendek, lebih formal, seolah-olah jarak di antara mereka bukan hanya bersifat fisik, namun juga emosional.
Hingga suatu malam, beberapa bulan kemudian, Izel debut di teater. Aku gugup, tapi saat lampu padam dan panggung menyala, semuanya memudar. Dia merasa akhirnya berada di tempatnya.
Saat pertunjukan berakhir, tepuk tangan memenuhi teater, dan saat Izel tersenyum penuh terima kasih, ada sesuatu di antara penonton yang menarik perhatiannya. Di antara penonton, Ray berdiri, memandangnya, bertepuk tangan dengan senyuman yang hanya bisa dia berikan padanya.
-Sebagai...? ---Izel tergagap saat dia melihatnya di luar teater, menunggunya.
"Aku tahu aku tidak akan memaafkan diriku sendiri jika aku tidak melihatmu berhasil," jawabnya, dengan senyuman setengah sedih, setengah bahagia. Aku di sini untukmu, Izel. Saya selalu begitu.
Izel, dengan mata penuh air mata haru, memeluknya erat. Tidak peduli jarak, ras, atau peluang yang dapat memisahkan mereka. Pada saat itu, mereka menyadari bahwa impian mereka penting, tetapi tidak lebih dari apa yang mereka maksudkan satu sama lain.
---Dan sekarang bagaimana? ---dia bertanya sambil menyeka air mata dengan lengan bajunya.
"Sekarang..." kata Ray sambil meraih tangannya. Sekarang, kami terus bermimpi, tapi bersama-sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H