PENCIPTAAN ALAM SEMESTA
Nadia Adriati (2315050160)
Filsafat Islam, jurusan Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir
Nadnadia639@gmail.com
Abstrak: Alam Semesta juga dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dianggap ada secara fisik, seluruh ruang dan waktu, dan segala bentuk materi serta energi. Istilah semesta atau jagat raya dapat digunakan dalam indra kontekstual yang sedikit berbeda, yang menunjukkan konsep-konsep seperti kosmos, dunia, atau alam. Alam semesta juga sering didefinisikan sebagai "satu-keseluruhan keberadaan", atau segala sesuatu yang ada, segala sesuatu yang telah ada, dan segala sesuatu yang akan ada.[16] Bahkan, beberapa filsuf dan ilmuwan mendukung penyertaan gagasan dan konsep abstrak -- seperti matematika dan logika -- dalam definisi Alam semesta. Kata alam semesta juga dapat merujuk pada konsep-konsep seperti kosmos, dunia, dan alam.
Pendahuluan
WLatar belakang
Kata alam () secara bahasa berarti seluruh alam semesta. Jika dikatakan al-kauny (): al-alamy () artinya yang meliputi seluruh dunia. Dalam Bahasa Yunani, alam semesta atau jagat raya disebut sebagai "kosmos" yang berarti "serasi, harmonis". Dari segi akar kata, "alam" (alam) memiliki akar yang sama dengan "ilm" (ilmu, pengetahuan) dan "alamat" (alamat, pertanda). Disebut demikian karena jagat raya ini sebagai pertanda adanya sang Maha Pencipta, yaitu Allah Swt. Jagat raya juga disebut sebagai ayat-ayat yang menjadi sumber ilmu dan pelajaran bagi manusia. Salah satu pelajaran dan ajaran yang dapat diambil dari pengamatan terhadap alam semesta ialah keserasian, keharmonisan dan ketertiban, bukan suatu kekacauan. Disebabkan sifatnya yang penuh maksud, maka studi tentang alam semesta akan membimbing seseorang kepada kesimpulan positif dan sikap penuh apresiasi.
Dalam al-Qur'an, banyak ayat-ayat yang berbicara mengenai penciptaan alam semesta yang diungkapkan dalam bentuk yang bermacam-macam. Al-Quran menekankan bahwa Allah telah menciptakan segala sesuatu, baik yang di langit maupun di bumi. Allah pencipta segala sesuatu, itulah sifat-Nya yang paling besar dan paling nyata, tidak ada pencipta selain-Nya. Sebagai pencipta, al-Qur'an menyebut sejumlah nama Allah, antara lain al-Khaliq, al-Bari', al-Mushawwir, dan al-Badi'. Oleh karena itu, umat Islam sepakat bahwa Allah adalah pencipta (al-Khaliq) dan alam semesta ini adalah ciptaan-Nya (Makhluq).
Rumusan masalahÂ
Bagaimana penciptaan alam semesta menurut al- qur'an dan para ahli.
Tujuan penelitian
Untuk mengetahui bagaimana penciptaan alam semesta menurut Al-qur'an dan para ahli.
PembahasanÂ
Penciptaan alam semesta menurut Al-qur'an.
Menurut pandangan Al Quran, penciptaan alam semesta dapat dilihat pada surat Al Anbiya ayat 30. "Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, Kemudian kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?"
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.
Bumi sebelumnya adalah planet yang mati dan Allah menghidupkannya dengan menurunkan air dari langit. "Dan Allah menurunkan dari langit air dan dengan air itu dihidupkannya bumi sesudah matinya." (QS`An Nahl ; 65).
Penciptaan alam semesta menurut para ahli
Dalam sejarah perkembangan filsafat Islam, terdapat dua doktrin yang berbeda dalam menjelaskan bagaimana alam dijadikan. Pertama, doktrin penciptan (al-khalq/creation). Kedua, doktrin emanasi (al-fayd/emanation).Â
Pada kedua kelompok ini telah terjadi perdebatan dan kontroversi di sepanjang sejarah perkembangan teologi dan filsafat Islam. Dengan doktrin ini pula telah melibatkan hampir semua tokoh teolog dan filosof Islam, sebab terjadi perbedaan penafsiran terhadap keagungan dan kebesaran Tuhan.
Teori penciptaan merupakan pemikiran ahli teologi terutama para ahli dalam aliran Asy'ariyah. Aliran ini berpendapat bahwa Allah menjadikan alam melalui sifat-Nya seperti ilm, iradah, qudrah dan sebagainya. Dalam kajian teologi, pembahasan terhadap kejadian alam menjurus kepada kajian sifat-sifat Allah dan kesan-kesan dari sifat-sifat tersebut. Menurut aliran ini, alam ini mempunyai dua unsur yaitu unsur jauhar dan unsur aradh (substansi dan accidents). Demikian juga dengan teori emanasi yang merupakan pemikiran para filosof Islam. Mereka mengolah pemikiran para ahli teologi terutama tentang sifat afal Allah dalam konteks keberadaan alam.
 Para filosof Islam berpendapat bahwa penciptaan (al-khalq/creation) sebenarnya adalah suatu proses yang lahir daripada konsep akibat yang semestinya, melalui tindakan berfikir yang dilakukan oleh pencipta maka alam sebagai objek pikiran Pencipta wujud yang semestinya. Teori emanasi ini menjelaskan bahwa alam ini abadi (qadim/eternal). Filosof Islam pertama yang dipandang memperkenalkan teori ini adalah al-Farabi. Menurutnya, alam semesta ini dijadikan secara melimpah (al-faidh), teori ini diambil dari Neo-Platonisme yang mengatakan bahwa alam ini terjadi karena limpahan dari yang Esa.Wujud pertama yang melimpah adalah satu yakni akal. Dengan demikian, keanekaan alamiah itu tidak secara langsung dimulai dari Tuhan. Tetapi dari akal pertama yang melimpah mengandung keanekaan potensial sebagai sebab langsung bagi keanekaan aktual di alam empiris. Berdasarkan teori ini, Tuhan terpelihara keutuhan zat-Nya dari keanekaan, karena Tuhan bukan langsung dari wujud empiris.
Teori yang dikemukakan al-Farabi ini adalah untuk menjelaskan hakikat-hakikat yang terlibat dalam proses emanasi. Hakikat- hakikat tersebut dijelaskan dalam uraian prinsip-prinsip kewujudan. Al-Farabi membagi prinsip-prinsip ini kepada kewujudan yang bukan jisim dan kewujudan yang berada di dalam jisim. Jisim-jisim tidaklah dengan sendirinya dianggap sebagai prinsip kewujudan.Â
Sebelum al-Farabi, filosof Islam pertama adalah al-Kindi. Ia tidak mengutarakan teori yang berbeda antara ahli teologi tentang kejadian alam. Pemikiran al-Kindi dalam bidang teologi sejalan dengan pemikiran Mu'tazilah. Menurut al-Kindi, alam ini baharu, tidak abadi. Alam diciptakan oleh Allah. Al-Kindi menggunakan kata-kata ibda untuk menjelaskan proses penciptaan alam. Dalam hal ini, Sayyed Hussein Nashr berpendapat walaupun al-Kindi telah melahirkan perspektif baru dalam dunia intelektual Islam namun al-Farabilah yang telah meletakkan filsafat Islam di atas asas yang lebih kuat dan kokoh.
Berbeda dengan al-Kindi, filosof Islam Ibnu Maskawaih juga menjelaskan tentang proses terjadinya alam. Menurut Ibnu Maskawaih, Allah menciptakan alam melalui proses emanasi. Emanasi yang dipahami oleh Ibnu Maskawaih adalah entitas pertama yang memancar dari Allah yaitu "aqal fa'al" (akal aktif). Akal aktif ini tanpa perantara sesuatupun. Ia qadim, sempurna dan tidak berubah. Dari akal aktif, timbullah jiwa dan dari perantaraan jiwa timbul planet (al-falak). Pelimpahan yang terus menerus dari Allah dapat memelihara tatanan di dalam alam ini.Â
Selain Ibnu Maskawaih, Ibnu Sina juga membahas tentang teori emanasi. Proses emanasi yang diajukan oleh Ibnu Sina didasarkan karena dalam al-Qur'an tidak ditemukan informasi yang rinci tentang penciptaan alam dari materi yang sudah ada atau dari tiada.Â
Ibnu Sina memberikan corak yang berlainan dari teori emanasi yang diajukan oleh Ibnu Maskawaih. Corak emanasi yang diajukan Ibnu Sina adalah dari Tuhan akan memancar intelegensi (akal) pertama, dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama; demikian seterusnya hingga sampai kepada memancarnya akal kesepuluh dan bumi. Dari akal kesepuluh akan melimpah segala sesuatu yang terdapat di bumi.
          Penutup
 Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa alam semesta menurut al-Quran diciptakan Allah namun tidak dijelaskan secara rinci apakah diciptakan dari sesuatu atau materi yang sudah ada atau dari ketiadaan (nihil). Proses penciptaan alam juga mengalami perkembangan secara gradual (tadrij) sesuai dengan sunatullah. Dari sinilah muncul banyak penafsiran yang berbeda di kalangan mufasir, khususnya para teolog dan filosof.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H