Randai dipimpin oleh seorang ketua pemain yang disebut dengan panggoreh. Panggoreh juga memiliki tugas lain selain memandu jalannya permainan.Â
Salah satunya, mengeluarkan teriakan khas dalam permainan Randai. Bunyi teriakan itu biasanya: hep! tah! tih! yang bertujuan untuk menentukan tempo cepat atau lambatnya gerakan seiring dengan dendang atau gurindam.Â
Tujuannya agar Randai yang dimainkan terlihat seirama. Dalam satu grup Randai, biasanya terdapat satu orang panggoreh yang dipercaya oleh seluruh anggota tim, tetapi bisa digantikan oleh anggota tim yang lain apabila panggoreh sebelumnya kelelahan, karena satu cerita Randai saja dapat menghabiskan 1 hingga 5 jam bahkan lebih.
Cerita Randai biasanya diambil dari kenyataan hidup yang ada di tengah masyarakat atau cerita rakyat. Pemain Randai melantunkan cerita-cerita ini sambil bernyanyi.Â
Pemeran utama akan bertugas menyampaikan cerita, pemeran utama ini bisa berjumlah satu orang, dua orang, tiga orang, atau lebih sesuai cerita yang dibawakan.Â
Anggota-anggota lain akan melingkari para pemeran utama yang bertujuan untuk menyemarakkan cerita tersebut. Pemain ini biasa dikenal dengan sebutan janang. Adapun judul cerita yang biasa dimainkan dalam Randai seperti Sabai Nan Aluih, Anggun Nan Tungga, dan Cindua Mato.
Seni pertunjukan Randai memiliki nama-nama yang berbeda tergantung cerita yang dimainkan contohnya Randai Maalah Kapa Tujuah. Randai ini berasal dari Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota. Ceritanya diambil dari Kisah Anggun Nan Tungga Magek Si Jabang dengan tema pahlawanan. Untuk video pertunjukan, dapat mengakses link di bawah ini:
Randai ini dimainkan selama 4-5 jam dengan pemain laki-laki dan perempuan yang berjumlah kurang dari 15. Randai ini biasanya dipentaskan pada malam hari di lapangan luas, sebagai hiburan masyarakat dengan diiringi alat musik tradisional seperti talempong, pupuik batang padi, rebab, bansi dan saluang. Sedangkan lagu yang mengiringinya adalah Mudiak Arau, Banda Sapuluh, dan Palayaran.
Randai biasa dimainkan oleh anak-anak muda di Sumatera Barat saat ada acara adat atau acara penting seperti Idul Fitri. Namun, tidak sedikit juga masyarakat Sumatera Barat yang menggeluti dan melestarikan Randai untuk dikenalkan kepada masyarakat luar.
Perkembangan kesenian Randai tidak selalu berada di puncak, kesenian ini juga mengalami pasang-surut. Kesenian Randai mengalami kemunduran pada saat kependudukan Jepang (1942-1945) dan kembali meningkat setelah kemerdekaan.Â