Saya pernah mencoba jasa penjemputan food waste yang nantinya ditukar kompos. Tapi menunggu penjemputan seminggu sekali ternyata berat bagi keluarga kami. Dapur jadi bau busuk.
Solusi kedua yang saya coba adalah membuat lubang biopori. Lubangnya sudah ada di halaman belakang, tapi info tentang ‘resep’ kompos biopori ini minim. Saya tidak pernah menambah daun kering atau kardus yang dibutuhkan dalam proses composting. Alhasil, saya tidak pernah panen, justru mengundang tikus-tikus ke halaman belakang.
KEHATI membuat program-program yang sangat menarik dan bermanfaat dalam rangka sosialisasi pangan lokal sebagai alternatif sumber karbohidrat. Mulai dari Yogyakarta (1999-2002): gerakan umbi-umbian, Kepulauan Sangihe (2016-2021): Program pengembangan sagu dan pangan lokal, sampai ke Raja Ampat, Papua (2019-2021): Pelestarian dan pemanfaatan sagu
Sayangnya saya sebagai emak-emak urban tidak masuk dalam program tersebut.
Saya tentu peduli pada isu ketahanan pangan ini, karena masa depan anak-anak saya berhubungan erat dengan isu tersebut. Namun, seorang emak-emak biasa seperti saya tidak memiliki banyak pilihan kecuali pasrah pada pemerintah.
Well, saya bisa mencoba saran Pak Sjamsul Hadi untuk “satu hari tanpa beras.” Saya juga bisa mencoba memberi masukkan ini ke sekolah anak-anak, karena saya ketua komite orang tua.
Sisanya, biar para ahli di Kementrian dan Pemerintahan yang mikirin. Saya mau jemput anak-anak di sekolahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H