Mohon tunggu...
Nadia Sarasati Nailufar
Nadia Sarasati Nailufar Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga

Emak-emak Jaksel

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ketahanan Pangan di Mata Emak-Emak Jaksel

2 November 2024   15:59 Diperbarui: 2 November 2024   15:59 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Suatu pagi di Ciganjur, Jakarta Selatan. Saya baru selesai mengantar anak-anak ke sekolah. Awalnya saya dan seorang teman berencana melancong ke Blok M hari ini, sambil menunggu jam pulang sekolah. Kami ketagihan bakmi dengan style chinese food dan donat viral yang terbuat dari labu. 

Sayangnya rencana itu batal karena teman ada urusan mendadak. Saya pun banting setir… setir motor saya ke sebuah cafe di dekat sekolah. 

Sesampainya di sana, saya buka tablet dan coba menulis tentang ketahanan pangan, sesuai tema lomba dari Natgeo Indonesia. 

Waktu saya buka link-link terkait lomba ini, munculah materi-materi tentang pangan yang cukup njlimet buat saya, perempuan yang jadi sudah 7 tahun terakhir ini memutuskan jadi ibu rumah tangga. Saya bingung kok saya tidak paham ya soal ketahanan pangan, padahal hidup saya itu pangan banget. 

Sehari-hari saya masak untuk keluarga, memikirkan variasi menu agar anak-anak saya tumbuh baik dan cukup nutrisinya. Diluar waktu masak, sambil menunggu waktu jemput anak-anak, saya dan teman-teman  keliling dari 1 cafe ke cafe lain, mencoba berbagai variasi… ya variasi pangan. 

Selain untuk memasak dan makan, waktu saya juga habis memikirkan biaya pangan. Pengalaman 7 tahun sebagai ibu rumah tangga membuat saya sadar pentingnya menentukan menu seminggu ke depan, demi meminimalisir food waste dan tentu saja biaya groceries. Nah, kan, pangan lagi.

Sayangnya isu ketahanan pangan ini jauh dari kami para ibu-ibu kaum urban. Saya enggak tahu berapa banyak import beras kita dari Thailand. Yang saya tahu, kalau ke Bangkok saya enggak akan bawa pulang beras, tapi bawa pulang milk bun. 

Beberapa waktu lalu ada berita mantan mendag terjerat kasus korupsi impor gula. Reaksi saya, “lho kita tuh impor gula?” Tapi kalau soal perdebatan sengit antara stevia vs gula, nah saya paham, tuh.

Yah, kami para ibu-ibu rumah tangga memang tidak banyak yang paham betul tentang ketahanan pangan. Tapi ibu-ibu ini lah yang akan kena dampaknya.

Said Abdullah, National Coordinator of People Coalition for Food Sovereignty, Indonesia and Fellow of CTSS — IPB University, dalam materinya menekankan pentingnya keragaman makanan. Soalnya menurut data, keragaman karbohidrat kita berubah cukup drastis. Data menunjukkan konsumsi beras naik dari 53% di 1954 ke 81% di 2017. Sementara itu, konsumsi singkong turun dari 22% ke 8%. 

Masih dari Said Abdullah, beberapa varian karbohidrat bahkan tidak masuk data terbaru saking kecilnya, seperti jagung dan sagu.

Tentu saya setuju dengan gagasan tersebut. Nasi juga musuh bagi saya yang sedang diet. Masalahnya, mengolah alternatif-aternatif beras itu tidak semudah nyeklek rice cooker. 

Alternatif karbohidrat selain beras dijelaskan lebih lengkap di materi Sjamsul Hadi. Ada variasi umbi-umbian, sagu, dan jagung. Sebenarnya info ini bukan hal baru bagi kami, ibu-ibu yang dulu masak MPASI (Makanan Pendamping ASI). Dulu saya mengolah beberapa alternatif beras, seperti kentang, ubi, dan jagung, jadi bubur bayi. Sayangnya, seperti anak-anak pada umumnya, makin besar mereka makin cinta nasi dan menganggap varian karbohidrat lainnya itu sebagai snack belaka. 

Contohnya french fries, jasuke, dan yang akhir-akhir ini muncul… ubi bruule. Yah, anggapan itu tidak sepenuhnya salah. Karena memang menu itu hanya karbohidrat saja, tidak ada protein, dan asupan nutrisi lain. 

Apa bisa ditambah protein dan serat? Secara teori bisa. Ubi bruule dengan grilled chicken dan sauteed spinach misalnya. Tapi dari namanya saja sudah terdengar mahal. Anak-anak juga sepertinya lebih memilih nasi ayam goreng dan sayur bayam. Kalau untuk bapaknya, cukup tambah sambal terasi.

Emak-emak seperti saya sebenarnya adaptif dan kreatif. Kalau nanti beras jadi sulit didapat dan di supermarket adalah singkong dan jagung, saya akan scroll tiktok mencari resep-resep masakan dengan bahan tersebut. Tapi selama beras masih tersedia, saya lebih memilih beras yang tinggal ceklek rice cooker.

Untuk menggunakan alternatif beras sebagai pengganti karbohidrat, memang sulit. Tapi kutipan Sjamsul Hadi, Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Kemendikbud, di dalam materinya, membuat saya merasa bisa mulai dari langkah kecil dulu.

Beliau menuliskan bahwa “jika sehari dalam seminggu tidak makan nasi, kita bisa menghemat 3.3 juta ton beras dalam setahun.” Wah, lumayan juga ya. Beras yang dihemat cukup banyak, dan dari sisi saya yang memasak bahan alternatif tersebut, satu hari tanpa beras sepertinya doable. 

Saya juga tertarik dengan pembahasan Jarot Indarto, Direktur Pangan dan Pertanian Kementrian PPN/Bappenas tentang masalah food waste. Ternyata food waste Indonesia itu banyak, hampir 300 kilogram/orang/tahun. Berarti rata-rata orang Indonesia membuang makanan sekitar 850 gram tiap hari. Itu setara berat ayam kampung 1 ekor yang kecil, lho.

Data lain dari kajian Bappenas 2021 juga mengungkap bahwa timbulan terbesar food waste berasal dari padi-padian. Jadi yang paling banyak dibuang itu nasi. Fakta yang cukup ironis, karena jumlah orang yang defisit energi di Indonesia adalah 45%.  

Walaupun saya baru tahu tentang fakta-fakta ini, saya sudah memilah sampah makanan dan SDU (sampah daur ulang) 4 tahun terakhir ini. Alasan idealnya adalah saya ingin anak-anak tumbuh dewasa di bumi yang sehat, bukan bumi yang tertutup sampah. Alasan praktisnya, memilah sampah membuat rumah tidak begitu bau dan cenderung lebih bersih.

Saya recycle SDU lewat start up jasa kelola sampah. Tapi untuk food waste, saya belum menemukan solusinya. Sepertinya begitu juga dengan Pak Jarot, karena tidak ada pembahasan lebih lanjut tentang solusi food waste.

Saya pernah mencoba jasa penjemputan food waste yang nantinya ditukar kompos. Tapi menunggu penjemputan seminggu sekali ternyata berat bagi keluarga kami. Dapur jadi bau busuk. 

Solusi kedua yang saya coba adalah membuat lubang biopori. Lubangnya sudah ada di halaman belakang, tapi info tentang ‘resep’ kompos biopori ini minim. Saya tidak pernah menambah daun kering atau kardus yang dibutuhkan dalam proses composting. Alhasil, saya tidak pernah panen, justru mengundang tikus-tikus ke halaman belakang.  

KEHATI membuat program-program yang sangat menarik dan bermanfaat dalam rangka sosialisasi pangan lokal sebagai alternatif sumber karbohidrat. Mulai dari Yogyakarta (1999-2002): gerakan umbi-umbian, Kepulauan Sangihe (2016-2021): Program pengembangan sagu dan pangan lokal, sampai ke Raja Ampat, Papua (2019-2021): Pelestarian dan pemanfaatan sagu

Sayangnya saya sebagai emak-emak urban tidak masuk dalam program tersebut. 

Saya tentu peduli pada isu ketahanan pangan ini, karena masa depan anak-anak saya berhubungan erat dengan isu tersebut. Namun, seorang emak-emak biasa seperti saya tidak memiliki banyak pilihan kecuali pasrah pada pemerintah. 

Well, saya bisa mencoba saran Pak Sjamsul Hadi untuk “satu hari tanpa beras.” Saya juga bisa mencoba memberi masukkan ini ke sekolah anak-anak, karena saya ketua komite orang tua. 

Sisanya, biar para ahli di Kementrian dan Pemerintahan yang mikirin. Saya mau jemput anak-anak di sekolahnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun