Uli Elysabet Pardede + Nadia Putri Sara Pardede (54)
Valentina Roselina. Itu adalah nama Mamaku sayang. Dia ada di balik jeruji besi itu kini. Dan kalian tahu apa? Aku sangat mencintai Mama sampai kapan pun. Kasus Mama menurutku sangat pahlawan. Mama membunuh Papa yang selalu melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Mama membela aku dan kedua Kakak-kakakku saat Papa mengacung-acungkan sebuah parang tepat di wajah kami. Sedih sekali... Mama menarik kembali parang itu lalu menancapkannya di jidat Papa.
Mamaku sayang, Mamaku malang. Di umur 15 tahun aku harus terpisah dengan Mamaku dan aku merasa sangat tak berharga di hadapan teman-temanku.
"Shandy, ga usah keseringan besuk Mama" Kata Kak Ellen suatu ketika padaku.
"Apa?" Aku terkejut mendengar Kak Ellen, seseorang yang lahir dari rahim seorang Mama mengatakan itu.
"Iya... Lupakan Mama... Kita ga punya Mama sesadis itu..." Kata Kak Ellen lalu pergi ke kantor sambil meninggalkan uang jajan padaku.
Sekarang Kak Ellen dan Kak Liana merasa hebat karena sudah selesai kuliahnya dan bisa bekerja. Tapi apa pantas mereka melupakan Mama? Apa bukan karena Mama mereka dan aku selamat dari kekerasan Papa? Ya, Tuhan... Inikah yang disebut anak durhaka.
Aku tetap membesuk Mama, jika Mama menanyakan kabar Kakak-kakakku maka aku akan langsung mengatakan bahwa Kakak-kakakku merindunkan Mama padahal sebenarnya aku berbohong. Dan hal yang paling sering ditanyakan Mama adalah...
"Kakak Ellen sudah punya pacar belum? Kakak Liana?" Tanyanya dengan sangat peduli.
Ingin aku menangis melihat keadaan yang jauh berbeda itu. Dimana Kakak-kakakku tak menghiraukan Mama sementara Mama? Bahkan Mama sangat ingin tahu anak-anaknya yang sudah beranjak dewasa itu mendapatkan jodoh atau tidak.
Kakak-kakakku tak pernah berpacaran sewaktu kuliah, mereka itu dulu kuper sekali. Mungkin karena efek dari rumah tangga yang berantakan ini. Namun begitu Kakak-kakakku bekerja, banyak lelaki datang dan pergi dari dalam rumah kami. Aku sedih sekali. Aku tahu apa yang sedang mereka lakukan di dalam kamar. Tapi aku tak bisa berkata apa-apa hanya bisa menahan tangis yang tak berkesudahan. Beginikah ternyata yang tidak ber-Papa dan ber-Mama yang di penjara? Itulah pertanyaan yang muncul selalu di tiap malam.
"Akhirnya mereka punya pacar, Ma..." Jawabku.
"Mama luar biasa senangnya." Mama menitikkan airmata. Tiba-tiba Mama terbatuk-batuk dan mengeluarkan darah.
"Mama... Sakit?" Aku menangis sejadi-jadinya melihat penderitaan Mama.
Suatu malam aku melihat Kakak-kakakku sedang bersantai ria di ruang nonton TV, lalu aku mendekati mereka dengan sangat hati-hati.
"Apa? Nambah uang jajan...?" Tebak Kak Liana.
"Bukan kak..."
"Jadi apa?" Tanyanya ketus.
"Tiga hari lagi Mama ulangtahun... Empatbelas Februari..."
"Terus? Kamu nyuruh aku pergi merayakan ulangtahun Mama di penjara? Selesai itu kemana aku buat muka aku ini?" Tanya Kak Liana penuh emosi.
"Kakak... Aku mohon sekali ini saja..." Pintaku.
"NO..." Katanya sambil bangkit berdiri dan menuju ke kamar. Kak Ellen pun yang sedari tadi tenang menonton TV, bangkit berdiri dan meninggalkan aku sendiri.
Besoknya aku pergi ke penjara, namun sel tempat Mamaku ditahan kosong. Aku bertanya pada sipir dan ternyata...
"Bu Valnetina dilarikan ke rumah sakit tadi malam." Jawab sipir penjara yang setengah baya itu.
Aku segera berlari masih dengan seragam putih abu-abuku. Airmataku bertetesan di pipi. Aku tak bisa membayangkan Mamaku sakit lemah dan tak berdaya.
"Mama... Cepat sembuh... Besok ulang tahun Mama..." Tangisku di hadapan tubunya yang kaku.
Tepat tanggal empatbelas Februari, aku tak pergi ke sekolah melainkan akan pergi menjenguk Mama dan merayakan ulantahun Mama yang bertepatang dengan hari kasih sayang itu. Kubawa kue tart yang aku beli dengan uang jajanku berikut dengan lilin kecilnya.
"Kamu kemana? Gak sekolah?" Tanya Kak Ellen.
"Engga... Mau merayakan ulangtahun Mama di rumah sakit..." Jawabku ketus sambil mengikat tali sepatuku.
"Rumah sakit?" Kakak Ellen kebingungan.
"Iya... Kenapa? Terkejut? Udah dua hari Mama dirawat di rumah sakit. Jadi plis begitu keluarnya Mama dari rumah sakit, Kakak berdua siap-siap sisihkan uang untuk biaya Mama. Yah kalau sembuh... Tapi kalau..." Aku tak melanjutkan perkataanku lagi, aku segera berlalu.
"Shandy..." Panggil Kak Ellen sambil merogoh dompetnya lalu mengeluarkan selembar uang seratus ribu.
"Untuk apa?" Tanyaku.
"Belikan apa kek... Untuk Mama... Aku sibuk nich... Ga bisa pergi sekarang..." Kilah Kak Ellen.
"Sibuk melulu. Ya, udah... Kantungin aja uangnya. Seharusnya Kakak juga ikut aku, sadar dong Kakak, orang yang Kakak jauhi sekarang adalah seorang Mama yang telah Kakak tumpangi rahimnya...!!!" Pekikku dengan emosi lalu berlari meninggalkan Kak Ellen yang terdiam kaku.
Rumah sakit...
"Bangun, Ma... Cepet sembuh, Ma..." Bisikku ke telinga Mama.
Mama diam saja, lemah badanya, matanya pun tertutup. Aku hanya bisa mengusap-usap airmata yang bercucuran diam-diam dari kelopak mata Mama.
"Kakak lagi sibuk... Mama sabar, yah... Ulangtahunnya sama Shandy aja mau yah?" Bisikku sambil menahan tangisan yang hampir meledak.
Kuelus-elus pipi Mamaku yang telah keriput itu. Mama yang penuh kasih sayang mendidik ketiga anaknya bahkan berkorban untuk anak-anaknya. Tiba-tiba pintu kamar terbuka oleh orang. Dan ternyata itu adalah Kakak-kakakku.
"Kakak?" Aku terkejut melihat kehadiran Kakak-kakakku yang tiba-tiba.
"Mama..." Mereka mendekati Mama dengan mata yang sembab.
"Maafin Ellen, Ma..." Tangis Kak Ellen.
"Maafin Liana, Ma..." Tangis Kak Liana.
Namun mata Mama tak kunjung terbuka, dia diam terus namun airmatanya makin deras. Aku hanya bisa geleng kepala tak tahan menghadapi keadaan ini.
"Happy birthday, Mama... Happy birthday, Mama..." Sennadungku ditemani tangisan, Kakak-kakakku hanya bisa tertunduk menangis dan menangis.
"I love you, Ma..."
****
Penguburan Mamaku...
Mamaku sayang, kau malaikat bagiku. Berjubah putih walau tak bersayap. Senyumanmu yang dulu kulihat setiap pagi kini tak akan ada lagi. Tapi Mamaku sayang aku masih sangat menyayangimu. Aku tau malaikat-malaikat baik sedang ada di samping kanan kirimu membawa kau dalam pangkuan Bapa. Mamaku sayang... Terimakasih buat tumpangan rahimnya... Mamaku sayang, apalah nilaiku saat ini? Tanpa Papa, tanpa Mama... Tapi tak mengapa, yang terpenting aku sudah pernah berlindung dalam rahim seorang ibu yang begitu tulus. I love you so deep, Ma...
Untuk melihat karya lainnya sila merujuk ke akun Cinta Fiksi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H