Mohon tunggu...
Nadia Hanifa
Nadia Hanifa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan UNNES

Selanjutnya

Tutup

Seni

Tradisi Ngijing Makam

16 Desember 2024   17:35 Diperbarui: 17 Desember 2024   05:01 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu dari aspek budaya Jawa yang lazim menonjol adalah tradisi ngijing makam yang memperkuat ikatan antara hidup dan mati. Istilah ketentuan"ngijing" yang berasal dari kata " kijing" dan berarti " batu penutup makam” digunakan sebagai "mengijing,"untuk mengungkapkan penyesalan kepada seseorang yang telah meninggal dunia. Tradisi ini biasanya dilakukan setelah kematian seseorang , di mana anggota keluarga dan teman berkumpul untuk melakukan ritual yang melibatkan doa dan tahlilan. Dalam konteks ini konteks,, ngijing bukan sekadar aktivitas fisik , tetapi juga mencakup praktik spiritual yang mendalam dan menciptakan ikatan antara mereka yang masih hidup dan mereka yang telah meninggal.

Seiring berkembangnya zaman, praktik ngijing pun mengalami perubahan dalam pelaksanaannya. Saat ini, orang lebih cenderung membandingkan tradisi tradisional dengan ayat-ayat Al - Qur'an , yang mana menunjukkan adaptasi yang lebih mendalam terhadap prinsip untuk membandingkan adat tradisional dengan ayat-ayat Al - Qur'an . Namun demikian, tradisi ini masih dipegang teguh karena masih ditegakkan sebagai bagian dari identitas budaya Jawa, yang menggabungkan unsur-unsur kepercayaan lokal dan ajaran agama. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi nilai-nilai sosial dan spiritual yang terkandung dalam tradisi ngijing serta bagaimana tradisi ini berfungsi sebagai media untuk memperkuat rasa kebersamaan dan penghormatan terhadap leluhur dalam komunitas Jawa.

1.2 Perumusan Masalah

  • Apa makna dan tujuan dari tradisi ngijing makam dalam masyarakat Jawa?
  • Bagaimana proses pelaksanaan tradisi ngijing makam dan apa saja tahapan yang terlibat dalam prosesi tersebut?
  • Apa pandangan masyarakat, khususnya antara kalangan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, terhadap keselarasan tradisi ngijing dengan ajaran Islam?
  • Apa dampak sosial dan ekonomi dari pelaksanaan tradisi ngijing makam di komunitas lokal?
  • Bagaimana perkembangan dan perubahan tradisi ngijing makam seiring dengan modernisasi dan pengaruh budaya luar?

1.3Tujuan Penelitian

  • Mendapatkan informasi apa itu ngijing dan tujuan dari Tradisi tersebut
  • Mengetahui proses tahap demi tahapan dari Tradisi Ngijing Makam
  • Menganalisis bagaimana pandangan masyarakat terhadap Tradisi Ngijing Makam
  • Menganalisis dampak sosial ataupun ekonomi dari adanya Tradisi Ngijing Makam
  • Mengetahui perkembangan dari tahun ketahun akan Tradisi Ngijing Makam

1.4 Kontribusi Penelitian

  • Penelitian tentang tradisi ngijing makam memberikan kontribusi signifikan terhadap pemahaman budaya masyarakat Jawa, terutama dalam konteks hubungan antara kehidupan dan kematian. Tradisi ini bukan sekedar ritual, namun juga mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat, seperti penghormatan kepada leluhur dan penguatan ikatan sosial. Dengan menggali makna di balik prosesi ngijing, penelitian ini dapat membantu masyarakat dan akademisi memahami bagaimana tradisi ini berfungsi sebagai media untuk mengekspresikan rasa syukur dan mengingatkan akan pentingnya kehidupan setelah mati. Selain itu, penelitian ini juga dapat memperkaya literatur mengenai budaya lokal yang sering kali terpinggirkan oleh modernisasi.
  • Dari perspektif budaya, penelitian ini juga mengeksplorasi bagaimana tradisi ngijing beradaptasi dengan perkembangan zaman dan pengaruh luar. Sedangkan dari sudut pandang agama , penelitian ini juga meneliti bagaimana praktik ngijing tradisional dapat disesuaikan dengan perubahan zaman dan pengaruh dunia luar . Di era globalisasi , banyak praktik sehari- hari yang berubah atau bahkan menghilang,masih banyak dipraktikkan dan dianggap oleh masyarakat sebagai bentuk identitas budaya yang kuat . Studi ini menyoroti bagaimana unsur - unsur baru , seperti pembacaan doa dengan ayat -ayat Al - Qur'an , menunjukkan bahwa masyarakat Jawa dapat memadukan keyakinan agama mereka dengan adat istiadat setempat. Hal ini menunjukkan dinamika budaya yang kaya dan kemampuan masyarakat untuk beradaptasi tanpa kehilangan jati diri mereka.

Tradisi ngijing makam merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat Jawa yang melibatkan kegiatan membersihkan makam leluhur sebagai bentuk penghormatan. Tradisi ini mencerminkan hubungan antara manusia dengan leluhur mereka, yang dipandang sebagai bagian dari nilai-nilai adat. Nurhajarini, Purwaningsih, dan Fibiona (2015) menyatakan bahwa banyak tradisi lokal, termasuk ngijing makam, merupakan hasil akulturasi budaya antara keyakinan lokal dan agama Islam. Tradisi ini juga berfungsi untuk mempererat hubungan sosial dalam masyarakat melalui gotong royong.

Proses ngijing makam umumnya melibatkan beberapa tahapan, seperti pembersihan makam, penataan ulang batu nisan, pembacaan doa atau tahlil, serta sedekah berupa makanan yang dibagikan kepada masyarakat. Wibowo, Murniatno, dan Sukirman (1998) mencatat bahwa tradisi seperti ini sering kali dilakukan menjelang perayaan besar agama Islam, seperti Ramadan atau Idul Fitri. Tahapan-tahapan ini mencerminkan keterkaitan tradisi dengan nilai-nilai spiritual dan sosial masyarakat Jawa.

Tradisi ngijing makam telah menjadi topik yang menarik untuk dianalisis dari perspektif Islam. Sunyoto (2016) dalam Atlas Wali Songo menjelaskan bahwa Nahdlatul Ulama (NU) mendukung tradisi ini selama tidak melibatkan praktik yang bertentangan dengan syariat Islam, seperti pemujaan kepada leluhur. Sebaliknya, Muhammadiyah lebih kritis terhadap tradisi semacam ini karena dianggap dapat mengarah pada bid’ah, yaitu inovasi dalam praktik keagamaan yang tidak memiliki dasar dalam Al-Qur’an atau Hadis. Meskipun demikian, masyarakat tetap menjalankan tradisi ini sebagai wujud penghormatan terhadap leluhur dengan tetap menyesuaikan pelaksanaannya agar selaras dengan nilai-nilai Islam.

Selain nilai budaya dan spiritual, ngijing makam juga memiliki dampak sosial dan ekonomi bagi masyarakat. Guillot (2014) menunjukkan bahwa kegiatan seperti ini dapat mempererat hubungan sosial di komunitas karena melibatkan partisipasi bersama. Dampak ekonominya tampak dari kebutuhan bahan untuk pelaksanaan ritual, seperti bunga, kain, dan makanan, yang membuka peluang usaha kecil di sekitar masyarakat lokal. Dengan demikian, tradisi ini juga berkontribusi pada roda perekonomian di daerah pedesaan.

Modernisasi telah membawa perubahan dalam pelaksanaan tradisi ngijing makam. Ekajati (1999) mencatat bahwa banyak tradisi lokal di Jawa mulai mengalami pergeseran, baik dari segi bentuk maupun intensitas pelaksanaannya. Beberapa keluarga memutuskan untuk melakukan ritual secara lebih sederhana karena faktor waktu, biaya, dan pengaruh budaya luar. Di sisi lain, modernisasi juga menghadirkan tantangan dalam menjaga esensi asli tradisi ini, terutama bagi generasi muda yang semakin terpapar gaya hidup modern.

Tradisi ngijing makam tetap relevan di era modern sebagai bagian dari identitas budaya masyarakat Jawa. Tradisi ini mencerminkan nilai gotong royong, penghormatan terhadap leluhur, dan koneksi spiritual dengan Tuhan. Meskipun bentuknya mungkin berubah, esensi tradisi ini harus dipertahankan sebagai bagian dari warisan budaya.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode etnografi untuk memahami secara mendalam tradisi ngijing makam, mencakup makna, proses pelaksanaan, pandangan masyarakat, serta dampaknya secara sosial dan budaya. Metode etnografi dipilih karena memberikan ruang bagi peneliti untuk menggali pandangan dan pengalaman masyarakat dalam konteks keseharian mereka. Penelitian dilakukan di [lokasi spesifik], yaitu sebuah daerah yang secara aktif masih melaksanakan tradisi ini, dan dipilih berdasarkan hasil observasi awal yang menunjukkan keterkaitan budaya yang kuat. Proses pengumpulan data berlangsung selama 1 minggu, mulai dari tanggal 16 November 2024 hingga 22 November 2024.

Subjek penelitian terdiri dari masyarakat lokal yang melaksanakan tradisi ngijing makam, tokoh agama seperti ulama dari kelompok Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang memberikan pandangan keagamaan, serta tokoh adat atau sesepuh yang memahami sejarah dan filosofi tradisi tersebut. Data diperoleh melalui wawancara mendalam, observasi partisipatif, dan analisis dokumen terkait. Peneliti juga terlibat langsung dalam beberapa tahap pelaksanaan tradisi untuk memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif mengenai konteks sosial dan nilai-nilai budaya yang melekat pada tradisi ini.

Hasil dan Pembahasan

Tradisi ngijing makam memiliki makna yang sangat mendalam bagi masyarakat yang menjalankannya. Dalam masyarakat Jawa, makam bukan sekadar tempat peristirahatan terakhir, melainkan juga simbol dari hubungan spiritual dengan leluhur. Seperti yang diungkapkan oleh Nurhajarini, Purwaningsih, dan Fibiona (2015), tradisi ngijing makam berfungsi sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur yang diyakini memiliki peran penting dalam kehidupan sehari-hari. Makam-makam tersebut dianggap sebagai tempat yang menghubungkan dunia manusia dengan dunia spiritual, sehingga menjaga kebersihan dan merawatnya menjadi bentuk rasa hormat terhadap leluhur yang telah meninggal.

Di samping itu, ngijing makam juga dipandang sebagai upaya menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Proses pembersihan makam dan penataan ulang batu nisan, yang dilakukan dalam tradisi ini, mencerminkan keyakinan masyarakat bahwa menjaga kebersihan adalah bagian dari ibadah dan kewajiban moral. Hal ini sesuai dengan pandangan yang diungkapkan oleh Wibowo, Murniatno, dan Sukirman (1998), yang menyatakan bahwa tradisi ini menjadi sarana untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap leluhur dan menjaga keberlangsungan hubungan sosial yang harmonis.

Pelaksanaan tradisi ngijing makam di masyarakat Jawa dilakukan dengan mengikuti beberapa tahapan yang memiliki nilai-nilai spiritual dan sosial yang terkandung di dalamnya. Proses pertama adalah pembersihan makam, yang dilakukan dengan membersihkan area sekitar makam dari rumput liar, sampah, atau kotoran yang menumpuk. Pembersihan makam ini merupakan simbol dari kesucian dan penghormatan terhadap arwah yang terkandung di dalamnya. Selanjutnya, proses penataan batu nisan dilakukan dengan hati-hati, untuk memastikan bahwa makam tetap terawat dengan baik.

Tahapan selanjutnya adalah pembacaan doa atau tahlil, yang sering dilakukan bersama-sama oleh anggota keluarga dan masyarakat sekitar. Pembacaan doa ini bertujuan untuk mendoakan arwah leluhur agar mendapat tempat yang baik di sisi Tuhan. Sebagaimana yang dicatat oleh Guillot (2014), kegiatan doa bersama ini memiliki dampak positif dalam mempererat hubungan sosial antarwarga. Masyarakat merasa terhubung satu sama lain dalam upaya yang sama untuk menghormati leluhur mereka. Selain doa, tradisi ngijing makam juga sering diakhiri dengan pemberian sedekah berupa makanan kepada masyarakat sekitar sebagai bentuk berbagi berkah.

Masyarakat yang melaksanakan tradisi ngijing makam memiliki pandangan yang beragam terkait dengan makna dan tujuan dari kegiatan ini. Beberapa individu melihatnya sebagai kewajiban agama yang harus dilakukan sebagai bagian dari penghormatan kepada leluhur. Sebagai contoh, menurut Sunyoto (2016), Nahdlatul Ulama (NU) mendukung tradisi ini selama tidak mengandung praktik-praktik yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti pemujaan kepada leluhur. Dalam pandangan mereka, ngijing makam adalah salah satu cara untuk memperkuat hubungan spiritual dengan Tuhan dan meningkatkan kualitas ibadah.

Namun, pandangan terhadap tradisi ini tidak selalu seragam di kalangan masyarakat Muslim. Sebagian kelompok, terutama yang bergabung dengan Muhammadiyah, melihat bahwa tradisi ini bisa berkembang menjadi suatu bentuk bid’ah, atau inovasi dalam agama yang tidak memiliki dasar yang kuat dalam Al-Qur'an dan Hadis. Mereka berpendapat bahwa menghormati leluhur seharusnya tidak mengarah pada ritual yang bersifat syirik atau pemujaan. Meski demikian, sebagian besar masyarakat tetap melaksanakan tradisi ini dengan penyesuaian terhadap prinsip-prinsip Islam, agar tetap selaras dengan ajaran agama yang dianut.

Selain dampak spiritual dan kultural, tradisi ngijing makam juga memiliki dampak yang signifikan terhadap aspek sosial dan ekonomi masyarakat. Secara sosial, tradisi ini mempererat hubungan antarwarga, karena biasanya dilakukan secara gotong royong. Dalam banyak kasus, kegiatan ngijing makam melibatkan seluruh keluarga dan tetangga, yang bersama-sama membersihkan makam dan melaksanakan doa bersama. Ini memperkuat rasa kebersamaan dan solidaritas sosial, seperti yang diungkapkan oleh Guillot (2014) bahwa kegiatan ini tidak hanya memiliki nilai spiritual, tetapi juga berfungsi sebagai sarana untuk memperkokoh hubungan sosial di masyarakat.

Di sisi ekonomi, kegiatan ini juga membuka peluang bagi usaha kecil di sekitar pemakaman, seperti penjualan bunga, kain, dan makanan untuk keperluan ritual. Selain itu, bagi beberapa individu, tradisi ngijing makam menjadi salah satu cara untuk memperoleh penghasilan tambahan. Ekajati (1999) menyebutkan bahwa modernisasi dapat mempengaruhi cara pelaksanaan tradisi ini, namun tidak dapat menghilangkan kontribusinya terhadap perekonomian lokal. Meski ada perubahan dalam bentuk dan intensitas pelaksanaannya, tradisi ngijing makam tetap memiliki dampak yang nyata terhadap perekonomian masyarakat.

Seiring dengan perkembangan zaman, tradisi ngijing makam juga mengalami perubahan, baik dalam hal pelaksanaan maupun cara pandang terhadapnya. Modernisasi dan globalisasi telah mempengaruhi cara masyarakat menjalankan tradisi ini, dengan banyak keluarga yang memilih untuk melaksanakan ritual secara lebih sederhana. Ekajati (1999) mencatat bahwa faktor waktu, biaya, dan pengaruh budaya luar menyebabkan beberapa keluarga lebih memilih cara yang praktis dan efisien dalam melaksanakan ngijing makam, seperti hanya membersihkan makam tanpa melibatkan banyak orang atau tidak melaksanakan doa bersama.

Selain itu, perubahan sosial juga mempengaruhi intensitas pelaksanaan tradisi ngijing makam. Beberapa generasi muda merasa bahwa tradisi ini tidak lagi relevan atau terlalu memakan waktu, sehingga mereka cenderung mengabaikan atau memodifikasi cara pelaksanaannya. Namun, meskipun terjadi perubahan, nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi ngijing makam tetap dipertahankan oleh sebagian besar masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi ini tetap relevan sebagai bagian dari identitas budaya masyarakat Jawa, meskipun mengalami penyesuaian dengan perkembangan zaman.

 

Kesimpulan dan Saran

Tradisi ngijing makam adalah bentuk penghormatan terhadap leluhur yang memiliki makna mendalam baik secara spiritual maupun sosial. Tradisi ini melibatkan proses pembersihan makam, penataan batu nisan, dan pembacaan doa bersama sebagai wujud dari penghormatan terhadap arwah leluhur. Meskipun pandangan terhadap tradisi ini berbeda-beda, baik dalam perspektif agama maupun sosial, ngijing makam tetap menjadi tradisi yang penting bagi masyarakat Jawa, yang memberikan dampak positif terhadap hubungan sosial dan ekonomi. Modernisasi dan perubahan sosial yang terjadi tidak mengurangi esensi dari tradisi ini, namun memberikan tantangan bagi pelaksanaannya di masa depan.

Dengan demikian, tradisi ngijing makam tetap relevan dalam konteks masyarakat Jawa sebagai bentuk pelestarian budaya dan penghormatan terhadap leluhur, yang harus dipertahankan agar tidak hilang tergerus oleh zaman.

Dalam penelitian ini disarankan, terdapat aspek sosial dan budaya yang berkontribusi terhadap tradisi ini , seperti perannya dalam memperkuat ikatan antar anggota masyarakat umum dan identitas budaya .Juga secara efektif menghimpun perspektif dari berbagai kelompok , seperti anggota dari umum , akademisi , dan generasi muda , guna memperoleh pemahaman masyarakat umum agar memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif. Selain itu , penting untuk meneliti bagaimana modernisasi telah memengaruhi praktik ngijing dan bagaimana tradisi ini dapat disesuaikan dengan perubahan zaman tanpa mengorbankan nilai - nilai inherennya . Diharapkan hasil kajian holistik ini dapat memberikan sumbangan yang signifikan terhadap pemahaman dan pelestarian tradisi ngijing makam di masyarakat ..

Daftar Pustaka

Nurhajarini, D. R., Purwaningsih, E., & Fibiona, I. (2015). Akulturasi lintas zaman di Lasem: Perspektif sejarah dan budaya (Kurun Niaga-Sekarang).

Wibowo, H. J., Murniatno, G., & Sukirman. (1998). Arsitektur tradisional daerah Istimewa Yogyakarta.

Sunyoto, A. (2016). Atlas Wali Songo.

Guillot, C. (2014). Lobu Tua: Sejarah awal Barus.

Ekajati, E. S. (1999). Jawa Barat, koleksi lima lembaga.

Devi, S. N., Rahayu, L. E., & Sulistiono, S. (2022). Phyllotaxis pohon di pemakaman Kota Kediri. Prosiding. Retrieved from proceeding.unpkediri.ac.id

Gema, H. S. P. (2021). Tinjauan hukum Islam tentang pengupahan atas jasa pemasangan kijing pada makam (Studi kasus di TPU Kelapa Tiga Tanjung Karang Pusat). Repository Raden Intan. Retrieved from repository.radenintan.ac.id

Kurniati, S. (2020). Interpretasi isi prasasti Telaga Batu sebagai sumber pembelajaran sejarah. Kalpataru: Jurnal Sejarah dan Pembelajaran Sejarah. Retrieved from jurnal.univpgri-palembang.ac.id

Nurima, N. (2021). Kesadaran sejarah masyarakat Desa Teluk Kijing 2 Kecamatan Lais Kabupaten Musi Banyuasin dalam melestarikan situs Teluk Kijing. Danadyaksa Historica. Retrieved from jurnal.um-palembang.ac.id

Qowiyyudin, A. A. (2020). Situs makam Gunungpring (Studi tentang peran Kyai Raden Santri terhadap Islamisasi di Magelang, Jawa Tengah 1660-1810 M). Panangkaran: Jurnal Penelitian Agama dan Kebudayaan. Retrieved from ejournal.uin-suka.ac.id

Rambe, M. K. H., & Halim, A. (2024). Membangun makam perspektif hadis: Studi kasus pemakaman Islam di Jl. Ibrahim Umar, Kota Medan. Universum. Retrieved from jurnalfuda.iainkediri.ac.id

Rizky, B. K. (2024). Fenomena makam keramat (Studi kasus makam keramat Habib Muhammad Al-athas di Kupang Kota Teluk Betung Utara). Repository Raden Intan. Retrieved from repository.radenintan.ac.id

Safitri, A. M. (2021). Kehamilan di luar nikah dalam perspektif tokoh agama Kristen di Desa Teluk Kijing III Kecamatan Lais Kabupaten Musi Banyuasin. Repository Raden Fatah. Retrieved from repository.radenfatah.ac.id

Sari, A. O., Yatmin, Y., & Widiatmoko, S. (2022). Studi makam KH. Chamim Tohari Djazuli (Gus Miek) sebagai tempat wisata religius di Kediri tahun 2022. Repository Unpkediri. Retrieved from repository.unpkediri.ac.id

Fatikh, M. A., & Hendrik, W. (2022). Komunikasi kultural Islam dan budaya. Al-Tsiqoh: Jurnal Ekonomi dan Dakwah. Retrieved from e-journal.uac.ac.id

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun