Para pasangan tetap dan tidak tetap waria berpotensi melakukan hubungan seksual yang berisiko karena tidak memakai pengaman (kondom). Banyak juga pasangan waria melakukan hubungan seksual dengan lebih dari satu orang, baik yang sudah menikah maupun yang belum menikah. Para komunitas waria juga tidak lepas dari objek sasaran kewajiban memakai pengaman.
Membahas masalah pengaman di kalangan waria sangat menarik sebab banyak kejadian dan pengalaman unik, menyedihkan bahkan menyenangkan pada saat melakukan hubungan intim. “Bukan zamannya lagi kita malu dan tabu berbicara tentang pengaman di masyarakat,” celetuk Fira, seorang waria di sebuah kota di Jawa Timur.
“Sekitar enam tahun yang lalu, aku paling malas kalau harus pakai pengaman saat berhubungan intim,” kata Fira.
“Apa yang membuat kamu malas memakai pengaman?,” tanya Inul, rekan Fira. “Kalau memakai pengaman ada yang aneh pada saat berhubungan intim, apalagi pasangan aku tidak dapat menikmatinya,” kata Fira memberikan alasan. “Apalagi di saat bertemu pria yang gagah dan perkasa, aku akan bersemangat dan tidak sedikit pun terbesit di pikiranku untuk memakai pengaman,” kata Fira.
“Terkadang ada juga cowok yang sengaja tidak mau pakai pengaman saat berhubungan intim dengan waria, tapi dia akan pakai pengaman saat berhubungan intim dengan wanita,” kata Fira menceritakan pengalamannya.
“Lho, koq, bisa begitu?,” tanya Jane.
Laki-laki itu mengatakan bahwa kalau waria kena penyakit tidak masalah daripada wanita yang kena penyakit. “Lho, emangnya kita ini apaan,?” kata Jane dengan nada ketus.
Bertolak dari pengalaman itu Fira pun melihat diskriminasi tidak hanya terjadi di lingkungan masyarakat luar saja, tapi dikriminasi juga terjadi dalam urusan hubungan intim. “Dalam hubungan intim, pria lebih menghargai wanita daripada waria terkadang memperlakukan waria dengan seenaknya sendiri,” kata Fira.
“Fir, apa saat itu kamu sudah pernah mendapat pengetahuan tentang perluny apakai pengaman,?” tanya Inul.
“Aku belum pernah mendapatkan pengetahuan tentang pengaman dari siapa pun makanya aku tidak pernah pakai pengaman, lagian kalau pakai pengaman bisa menguras dompet.” Ini pengakuan Fira.
“Tapi, setelah aku mendapatkan pengetahuan tentang penularan dan penyebaran HIV/AIDS dari teman LSM, aku jadi takut,” kata Fira, kali ini dengan nada pelan. Aktivis HIV/AIDS selalu memberikan pengetahuan HIV/AIDS termasuk pengetahuan tenang pengaman kepada teman-teman komunitas waria dan mereka pun memberikan pengaman secara gratis.
“Apa kamu sudah pernah melakukan tes HIV?,” tanya Jane.
“Aku sudah rutin melakukan VCT (Voluntary Counselling and Testing) dan aku selalu menyarankan ke pasanganku untuk selalu memakai pengaman di saat melakukan hubungan intim,” ujar Fira.
“Apa kamu selalu pakai pengaman, Jane?,” tanya Inul.
“Aku punya pengalaman yang hampir sama dengan Fira,” kata Jane. “Aku selalu mengabaikan pemakaian pengaman di saat melakukan hubungan intim sebab aku harus kejar target,” kata Jane memberikan alasan. “Aku tidak mau pelangganku lari ke lainnya, makanya aku selalu siap melayani pelangganku tanpa memakai pengamatan,” ujar Jane.
“Siapa yang membuat kamu sadar untuk selalu memakai pengamatan di saat melakukan hubungan intim,” tanya Fira.
“Yang membuat aku sadar yaitu ada seorang pelanggan yang memberikan pengaman sebelum kita melakukan hubungan intim,” kata Jane. “Saat itu aku menolak memakainya dan pria itu menolak untuk melakukan hubungan intim serta dia bilang kalau tidak mau pakai pengaman dia ‘jijik’ apalagi melakukan hubungan intim dengan seorang waria.”
“Saat itu aku marah sekali sebab dia kira aku ini sumber penyakit,” kata Jane mengenang peristiwa itu. Dengan pengalaman tersebut, Jane mengaku jadi sadar dan aku tidak mau lagi direndahkan oleh pelanggan hanya karena tidak mau memakai pengaman.
Pada akhirnya Jane sampai pada kesimpulan bahwa kalau kita tidak mau didiskriminasi oleh pelanggan, maka harus mau merubah perilaku seks kita yaitu perilaku ‘seks yang aman’.
“Apa kamu sudah melakukan tes HIV?,” tanya Inul.
“Aku juga sudah rajin untuk melakukan tes HIV dan mengakses layanan IMS,” kata Jane. Pertama kali tes HIV, Jane mengaku ketakutan dan menangis sebab risiko tertular HIV/AIDS pada dirinya sebagai waria sangat tinggi, “Apalagi aku sering ganti-ganti pasangan,” kata Jane. Selama tiga tahun terakhir ini Jane mengaku selalu rajin menjalani tes HIV dan IMS, “Hasilnya selalu negatif,” ujar Jane.
Jane mengaku mempunyai cara (dengan tangan dan mulut) untuk memakaikan pengaman ke pasangan sebelum melakukan hubungan intim tanpa pasangan mengetahuinya.
Diskriminasi dapat muncul di mana saja, termasuk di dalam urusan kamar (berhubungan intim). Pengetahuan tentang pengaman sangatlah penting bagi komunitas waria dan pasangannya, baik pasangan tetap maupun tidak tetap. Komunitas waria sudah sangat peduli dengan kesehatan, bagaimana dengan pasangannya? Kita berharap agar Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) mempunyai metode pengetahuan pengaman yang tepat untuk pelangganan dan pasangan dari waria dan dapat dibicarakan di Pernas AIDS V Makassar agar diskriminasi dapat diminimalisir. *
Ilustrasi (Repro: www.swagga4christ.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H