Mohon tunggu...
Nadhila Hibatul Nastikaputri
Nadhila Hibatul Nastikaputri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Blogger dan Freelancer

Perempuan Gunungkidul yang tengah belajar mengeja kehidupan. Pernah belajar di Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta. Menyukai buku, senja, dan kerlip lampu kota. Kabarnya bisa di tengok di @nadhilaputri21, sementara tulisannya yang lain bisa dibaca di catatannadhila.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Biola Mahendra

25 Januari 2023   22:27 Diperbarui: 29 Januari 2023   22:50 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://www.peakpx.com/

Setiap mendengar gesekan biola, ingatanku terlempar pada Mahendra. Lelaki keturunan setenang telaga itu selalu memainkan biola untukku jika aku menangis di hadapannya. Katanya suatu waktu, suasana hatinya akan membaik jika ia memainkan biola. Dan, ia berharap hal yang sama terjadi pada tiap orang yang mendengar gesekan busur dengan dawai biolanya. 

Tetapi, sudah hampir satu semester aku tidak mendengar permainan biola karibku itu. Ia hilang bak ditelan bumi. Teman-teman kelasnya hanya mengangkat bahu atau menggelengkan kepala jika ditanya keberadaan Mahendra. Bahkan laki-laki yang menjadi partner latihan biolanya memberikan jawaban yang sulit kucerna. Katanya, pada hari terakhir bertemu, Mahendra mengatakan “Ada monster dalam diriku yang harus dijinakkan.”

***

Sejujurnya aku mulai mencium bau keganjilan pada Mahendra saat kami masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Sekitar, tiga-empat tahun lalu, seperti biasa aku menyambangi studio musik sekolah setelah kelas ekstra menulisku selesai. Ketika aku tiba, Mahendra masih berdiri di sana menggesek dawai biolanya.

“Mey, kamu pernah jatuh cinta?” pertanyaan itu tiba-tiba saja ia sampaikan saat kakiku menyentuh lantai studio musik.

Sore itu, sepi hampir merayapi setiap sudut gedung sekolah, menyisakan suara pantul bola dan hentak sepatu dari satu dua siswa yang masih bertahan di lapangan. Suara pantulan itu jelas terdengar. Akan tetapi, pertanyaan Mahendra yang tiba-tiba itu jauh lebih berdenyar. Berdengung-dengung di telinga. Membuatku serta merta kelimpungan untuk membuka suara.

“Kenapa tanya itu?” kataku memalingkan muka untuk menutupi wajah serupa kepiting rebus. Jujur saja, aku bukan tipe perempuan yang terbuka dengan perasaan.

“Aku hanya ingin tahu, rasanya suka pada seseorang.”

“Memang kamu belum pernah?” sekilas kutatap Mahendra dengan sisa keberanian yang ada.

Laki-laki bermata sipit di depanku menggeleng.

“Sekalipun belum pernah, Hen?”

Kembali ia menggeleng lebih tegas.

Mustahil lelaki seusia Mahendra tidak tertarik pada satu pun perempuan di sekolah ini. Sebagai anggota school orchestra dengan perawakan tinggi, hidung bangir, wajah tegas semi oriental yang selalu berada di baris terdepan memegang biola, sudah barang tentu Mahendra punya banyak penggemar. Ditambah pembawaannya yang tenang membuat ia terlihat nyaris sempurna. Maka, nama Mahendra menjadi tidak asing di kalangan siswi sekolah kami.

Sejauh yang aku tahu Mahendra memang tidak dekat dengan perempuan. Seandainya di malam mengerikan itu Mahendra tidak datang ke rumahku, mungkin aku pun tidak bisa dekat dengan laki-laki yang suka menyendiri itu. Meski begitu, rasanya janggal Mahendra tidak menyukai satu pun dari penggemarnya. Padahal, faktanya tidak sedikit diantara mereka yang memiliki penampilan menarik. Tapi, aku tidak pernah bertanya lebih lanjut. Meski merasa ganjil, pada akhirnya aku menganggap angin lalu  perbincangan kami berdua sore itu.

***

Aku mengenal Mahendra sepuluh tahun silam. Tepatnya beberapa hari ketika keluarganya pindah ke rumah yang letaknya sepelemparan batu dengan rumahku. Kali pertama melihatnya turun dari mobil membawa biola bersama seorang perempuan bertudung, aku benar-benar tertegun. Sebagai anak usia 10 tahun aku takjub begitu melihat penampilan seorang laki-laki sepantaran yang tampilan fisiknya terlampau berbeda denganku. Lalu, semenjak kepindahannya hampir setiap malam aku mendengar alunan biola dari rumah keluarga Mahendra.

Pertemuanku dengan Mahendra kecil adalah pada sebuah malam mengerikan. Mungkin bagi Mahendra, malam itu adalah malam yang paling tidak ingin dia ingat. Aku hanya menerka, sebab bertanya langsung hanya akan memanggil kenangan buruknya.

Malam itu, rumah keluarga Mahendra tampak lebih gelap dan sepi. Selepas isya ketika duduk di beranda bersama Abah, aku mendapati sebuah mobil berhenti di depan rumah Mahendra. Seorang laki-laki berjaket hitam dengan flat cap menutupi separuh wajahnya  turun dari mobil membawa sebuah biola. Karena biola yang dibawanya, kami menduga bahwa lelaki itu adalah guru les Mahendra. Tapi tidak lama, Abah menaruh curiga karena gerak-gerik lelaki bertopi itu tidak wajar. Maka, kuperhatikan mata Abah awas mengamati rumah keluarga Mahendra yang tepat berada di depan rumah kami.

Benar saja, lebih kurang setengah jam kemudian terdengar perabot pecah dan pekik minta tolong yang timbul tenggelam dari rumah Mahendra. Abah serta merta menyuruhku masuk rumah, ia hengkang dari duduknya dan gegas berlari menuju rumah Mahendra.

Sungguh, aku tidak tahu apa yang terjadi di rumah itu. Sebab selang sepersekian menit kemudian kulihat laki-laki bertopi itu lari masuk mobil dan pergi tergesa meninggalkan rumah Mahendra. Tidak lama setelahnya, Abah menuntun keluar Mahendra kecil dari rumah yang gelap itu, lalu membawanya ke rumah kami. Saat itulah untuk pertama kali aku melihat Mahendra dari jarak yang teramat dekat. Matanya sembab, keningnya berdarah, dan bajunya koyak. Tapi, dia hanya diam hingga Ibu membawakan segelas susu dan selimut untuknya. Waktu itu aku hanya tau Mahendra terluka, tapi lambat laun aku mengerti bahwa malam itu Mahendra telah dilecehkan guru les biolanya.

***

Semenjak kejadian mengerikan malam itu, seperti sebuah keajaiban aku dapat menjadi teman bagi Mahendra. Hingga memasuki jenjang perguruan tinggi, jalinan pertemanan kami terjaga dengan baik. Aku cukup takjub sebab kami tidak menimba ilmu di tempat yang sama. Mahendra mendalami musik di institut seni yang ada di jantung kota provinsi kami, sementara aku yang sejak membaca kisah hidup Emil Kraepelin tertarik pada psikologi coba mengakrabi ilmu ini di sebuah perguruan tinggi negeri.

Meski terbilang tidak sering, pernah beberapa kali Mahendra mengajakku bertandang ke kampusnya. Sehingga aku menjadi hafal di sudut-sudut mana ia biasa memainkan biola. Ia bahkan mengenalkanku pada lelaki berwajah teduh yang biasa berlatih biola bersamanya. Entah kenapa ketika melihat Mahendra bersama dengan lelaki berwajah teduh itu, aku bisa membaca binar bola mata yang sekalipun belum pernah kulihat pada wajah Mahendra.

Selama lebih kurang satu dasawarsa berteman, aku tidak pernah merasakan gelagat aneh dari Mahendra. Semua berjalan normal, sampai akhirnya tiba suatu waktu aku mengetahui adanya nada sumbang pada lelaki keturunan yang lekat dengan biola itu.

Pada suatu sore, kami duduk di taman kecil yang ada di depan Gedung Kuliah Kusbini. Mahendra mulai menggesek dawai biolanya, jemarinya lincah menekan senar, hingga terdengar alunan lagu yang tidak asing di telingaku. Beberapa tahun lalu, Mahendra kerap memainkan lagu ini dengan biolanya. Dan waktu itu aku selalu mendengarkan dengan saksama.

Pada paruh putaran lagu, tangannya berhenti menggesek biola. “Mey, kamu ingat lagu ini?”

“A time for us, soundtrack legenderais  dari film Romeo Juliet.”

Mahendra tersenyum. “Kamu ingat aku pernah tanya ke kamu tentang cinta?”

Untuk sepersekian detik ingatanku terlempar ke masa lalu. Garis keningku bertaut-taut. “Ya, aku tidak lupa pertanyaan konyol itu.”

“Sepertinya aku sekarang sudah merasakannya, Mey”

Mataku membulat. Entah kenapa tiba-tiba ada kelesir perasaan aneh yang muncul dari relung hatiku. Yang aku sendiri tak bisa mengartikan perasaan itu. Tapi, tiba-tiba saja sebuah kalimat menyeruak dari mulutku. “Wah, siapa perempuan beruntung yang memenangkan hati seorang Mahendra?”

Dari wajah campuran laki-laki di hadapanku terbit sebuah senyum tipis. “Bukan perempuan manapun, Mey. Dia adalah laki-laki yang tempo hari kukenalkan padamu.”

Kalimat terakhir Mahendra mematikan seluruh saraf tubuhku. Untuk beberapa detik aku tidak memberikan reaksi apa pun. Mendenganya membuatku serasa jatuh dari ketinggian beribu-ribu kaki, terhempas, dan tenggelam dalam sebuah palung gulita yang tidak berkesudahan.

***

Setelah pengakuan Mahendra di sore yang gamang itu, kami tidak pernah lagi bertemu. Sebab satu hari berikutnya ia hilang bagai ditelan bumi. Tiba-tiba saja karibku itu teramat susah untuk dihubungi. Saat aku menanyakan ke sejumlah kawan satu prodinya yang kukenal, mereka tidak tahu ke mana laki-laki keturunan itu. Pun demikian dengan lelaki berwajah teduh yang disukai Mahendra, ia tidak tahu persis di mana keberadaan partner bioalanya. Bahkan, ketika aku menyambangi bangunan kos Mahendra, teman-temannya mengatakan bahwa sudah lama kamar itu dikosongkan. Beberapa waktu berikutnya, aku mendengar selentingan kabar bahwa ia cuti kuliah.

Maka selama setengah tahun telingaku tidak lagi akrab dengan alunan biola melankolisnya. Akan tetapi, pagi ini sebuah pesan mengejutkan masuk dalam ponselku. Pesan itu dari Mahendra. Sebuah pesan singkat yang menuntunku datang ke Gedung Kuliah Kusbini untuk menemui karib yang hilang tanpa kabar selama kurun waktu yang tidak sebentar.

Pada awal perjumpaan kami yang diisi dengan kediaman masing-masing, ia memainkan sebuah lagu melankolis Song from a secret garden dengan biolanya. Aku senang bisa kembali melihat jari-jemarinya bermain di atas senar biola. Sampai Mahendra selesai aku masih juga belum mengatakan apa pun. Hanya menatap takjub pada kehadirannya yang tiba-tiba.

 “Mey, kuharap kamu tidak jijik padaku,” kalimat itulah yang disampaikan Mahendra untuk mencairkan kediaman kami.

“Bodoh! Dasar Bodoh! Seharusnya aku bisa membantu. Setidaknya jika kau percaya bahwa aku calon psikolog, kau akan memintaku menemanimu mencari konsultan psikologi, Hen! Bukan malah menghilang seperti ini. Apa aku terlihat tolol di matamu?! Kamu bodoh, Hen. Bodoh. Mahendra bodoh!!” aku hampir tersengal.

Laki-laki setenang telaga di hadapanku memperlihatkan lekuk senyumnya. “Tidak, Mey. Justru karena kamu tidak tolol, aku menjauh. Hanya orang tolol yang tidak terpukul setelah tahu kelainanku. Lagipula kurasa sampai sejauh ini aku belum butuh datang ke psikolog. Selama beberapa bulan belakangan ini aku sudah mendapat ketenangan hati. Aku sudah mulai meredam hasrat pada lelaki yang terkutuk ini. Kamu tak perlu khawatir.”

Napasku terhela panjang. “Selama ini kamu ke mana?”

“Aku, nyantri Mey. Mencari ketenangan di pondok milik kerabat ibuku. Kau tahu bukan, aku terlahir dari orang tua dengan latar belakang religi berbeda. Kurasa selama ini aku terlalu jauh dengan Penciptaku. Padahal, hanya Dia yang kuasa menyembuhkan segala penyakit, bukan?”

Kalimat terakhir Mahendra serasa angin segar di tengah kemarau berkepanjangan. “Hen, aku harap kamu tidak menyerah untuk sembuh. Lain waktu akan kutemani jika kau butuh konsultasi pada psikolog. Jangan disimpan sendiri bebanmu yang bertindih-tindih itu.”

“Aku tidak selemah itu, Mey.”

Aku terkekeh. “Berarti kamu masih lanjut nyantri sampai sekarang?”

Mahendra menggeleng. Lalu, melempar pandangan jauh ke depan. Napasnya terembus perlahan. Dari gurat wajahnya terbaca sesuatu yang lain. “Seminggu lalu aku memutuskan untuk izin keluar dari pondok. Tepatnya setelah, anak bungsu laki-laki Pak Kyai mengatakan kalau ia menyukaiku.”

***

Gunungkidul, Februari-Maret 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun