Semenjak kejadian mengerikan malam itu, seperti sebuah keajaiban aku dapat menjadi teman bagi Mahendra. Hingga memasuki jenjang perguruan tinggi, jalinan pertemanan kami terjaga dengan baik. Aku cukup takjub sebab kami tidak menimba ilmu di tempat yang sama. Mahendra mendalami musik di institut seni yang ada di jantung kota provinsi kami, sementara aku yang sejak membaca kisah hidup Emil Kraepelin tertarik pada psikologi coba mengakrabi ilmu ini di sebuah perguruan tinggi negeri.
Meski terbilang tidak sering, pernah beberapa kali Mahendra mengajakku bertandang ke kampusnya. Sehingga aku menjadi hafal di sudut-sudut mana ia biasa memainkan biola. Ia bahkan mengenalkanku pada lelaki berwajah teduh yang biasa berlatih biola bersamanya. Entah kenapa ketika melihat Mahendra bersama dengan lelaki berwajah teduh itu, aku bisa membaca binar bola mata yang sekalipun belum pernah kulihat pada wajah Mahendra.
Selama lebih kurang satu dasawarsa berteman, aku tidak pernah merasakan gelagat aneh dari Mahendra. Semua berjalan normal, sampai akhirnya tiba suatu waktu aku mengetahui adanya nada sumbang pada lelaki keturunan yang lekat dengan biola itu.
Pada suatu sore, kami duduk di taman kecil yang ada di depan Gedung Kuliah Kusbini. Mahendra mulai menggesek dawai biolanya, jemarinya lincah menekan senar, hingga terdengar alunan lagu yang tidak asing di telingaku. Beberapa tahun lalu, Mahendra kerap memainkan lagu ini dengan biolanya. Dan waktu itu aku selalu mendengarkan dengan saksama.
Pada paruh putaran lagu, tangannya berhenti menggesek biola. “Mey, kamu ingat lagu ini?”
“A time for us, soundtrack legenderais dari film Romeo Juliet.”
Mahendra tersenyum. “Kamu ingat aku pernah tanya ke kamu tentang cinta?”
Untuk sepersekian detik ingatanku terlempar ke masa lalu. Garis keningku bertaut-taut. “Ya, aku tidak lupa pertanyaan konyol itu.”
“Sepertinya aku sekarang sudah merasakannya, Mey”
Mataku membulat. Entah kenapa tiba-tiba ada kelesir perasaan aneh yang muncul dari relung hatiku. Yang aku sendiri tak bisa mengartikan perasaan itu. Tapi, tiba-tiba saja sebuah kalimat menyeruak dari mulutku. “Wah, siapa perempuan beruntung yang memenangkan hati seorang Mahendra?”
Dari wajah campuran laki-laki di hadapanku terbit sebuah senyum tipis. “Bukan perempuan manapun, Mey. Dia adalah laki-laki yang tempo hari kukenalkan padamu.”