Kalimat terakhir Mahendra mematikan seluruh saraf tubuhku. Untuk beberapa detik aku tidak memberikan reaksi apa pun. Mendenganya membuatku serasa jatuh dari ketinggian beribu-ribu kaki, terhempas, dan tenggelam dalam sebuah palung gulita yang tidak berkesudahan.
***
Setelah pengakuan Mahendra di sore yang gamang itu, kami tidak pernah lagi bertemu. Sebab satu hari berikutnya ia hilang bagai ditelan bumi. Tiba-tiba saja karibku itu teramat susah untuk dihubungi. Saat aku menanyakan ke sejumlah kawan satu prodinya yang kukenal, mereka tidak tahu ke mana laki-laki keturunan itu. Pun demikian dengan lelaki berwajah teduh yang disukai Mahendra, ia tidak tahu persis di mana keberadaan partner bioalanya. Bahkan, ketika aku menyambangi bangunan kos Mahendra, teman-temannya mengatakan bahwa sudah lama kamar itu dikosongkan. Beberapa waktu berikutnya, aku mendengar selentingan kabar bahwa ia cuti kuliah.
Maka selama setengah tahun telingaku tidak lagi akrab dengan alunan biola melankolisnya. Akan tetapi, pagi ini sebuah pesan mengejutkan masuk dalam ponselku. Pesan itu dari Mahendra. Sebuah pesan singkat yang menuntunku datang ke Gedung Kuliah Kusbini untuk menemui karib yang hilang tanpa kabar selama kurun waktu yang tidak sebentar.
Pada awal perjumpaan kami yang diisi dengan kediaman masing-masing, ia memainkan sebuah lagu melankolis Song from a secret garden dengan biolanya. Aku senang bisa kembali melihat jari-jemarinya bermain di atas senar biola. Sampai Mahendra selesai aku masih juga belum mengatakan apa pun. Hanya menatap takjub pada kehadirannya yang tiba-tiba.
“Mey, kuharap kamu tidak jijik padaku,” kalimat itulah yang disampaikan Mahendra untuk mencairkan kediaman kami.
“Bodoh! Dasar Bodoh! Seharusnya aku bisa membantu. Setidaknya jika kau percaya bahwa aku calon psikolog, kau akan memintaku menemanimu mencari konsultan psikologi, Hen! Bukan malah menghilang seperti ini. Apa aku terlihat tolol di matamu?! Kamu bodoh, Hen. Bodoh. Mahendra bodoh!!” aku hampir tersengal.
Laki-laki setenang telaga di hadapanku memperlihatkan lekuk senyumnya. “Tidak, Mey. Justru karena kamu tidak tolol, aku menjauh. Hanya orang tolol yang tidak terpukul setelah tahu kelainanku. Lagipula kurasa sampai sejauh ini aku belum butuh datang ke psikolog. Selama beberapa bulan belakangan ini aku sudah mendapat ketenangan hati. Aku sudah mulai meredam hasrat pada lelaki yang terkutuk ini. Kamu tak perlu khawatir.”
Napasku terhela panjang. “Selama ini kamu ke mana?”
“Aku, nyantri Mey. Mencari ketenangan di pondok milik kerabat ibuku. Kau tahu bukan, aku terlahir dari orang tua dengan latar belakang religi berbeda. Kurasa selama ini aku terlalu jauh dengan Penciptaku. Padahal, hanya Dia yang kuasa menyembuhkan segala penyakit, bukan?”
Kalimat terakhir Mahendra serasa angin segar di tengah kemarau berkepanjangan. “Hen, aku harap kamu tidak menyerah untuk sembuh. Lain waktu akan kutemani jika kau butuh konsultasi pada psikolog. Jangan disimpan sendiri bebanmu yang bertindih-tindih itu.”