“Sekalipun belum pernah, Hen?”
Kembali ia menggeleng lebih tegas.
Mustahil lelaki seusia Mahendra tidak tertarik pada satu pun perempuan di sekolah ini. Sebagai anggota school orchestra dengan perawakan tinggi, hidung bangir, wajah tegas semi oriental yang selalu berada di baris terdepan memegang biola, sudah barang tentu Mahendra punya banyak penggemar. Ditambah pembawaannya yang tenang membuat ia terlihat nyaris sempurna. Maka, nama Mahendra menjadi tidak asing di kalangan siswi sekolah kami.
Sejauh yang aku tahu Mahendra memang tidak dekat dengan perempuan. Seandainya di malam mengerikan itu Mahendra tidak datang ke rumahku, mungkin aku pun tidak bisa dekat dengan laki-laki yang suka menyendiri itu. Meski begitu, rasanya janggal Mahendra tidak menyukai satu pun dari penggemarnya. Padahal, faktanya tidak sedikit diantara mereka yang memiliki penampilan menarik. Tapi, aku tidak pernah bertanya lebih lanjut. Meski merasa ganjil, pada akhirnya aku menganggap angin lalu perbincangan kami berdua sore itu.
***
Aku mengenal Mahendra sepuluh tahun silam. Tepatnya beberapa hari ketika keluarganya pindah ke rumah yang letaknya sepelemparan batu dengan rumahku. Kali pertama melihatnya turun dari mobil membawa biola bersama seorang perempuan bertudung, aku benar-benar tertegun. Sebagai anak usia 10 tahun aku takjub begitu melihat penampilan seorang laki-laki sepantaran yang tampilan fisiknya terlampau berbeda denganku. Lalu, semenjak kepindahannya hampir setiap malam aku mendengar alunan biola dari rumah keluarga Mahendra.
Pertemuanku dengan Mahendra kecil adalah pada sebuah malam mengerikan. Mungkin bagi Mahendra, malam itu adalah malam yang paling tidak ingin dia ingat. Aku hanya menerka, sebab bertanya langsung hanya akan memanggil kenangan buruknya.
Malam itu, rumah keluarga Mahendra tampak lebih gelap dan sepi. Selepas isya ketika duduk di beranda bersama Abah, aku mendapati sebuah mobil berhenti di depan rumah Mahendra. Seorang laki-laki berjaket hitam dengan flat cap menutupi separuh wajahnya turun dari mobil membawa sebuah biola. Karena biola yang dibawanya, kami menduga bahwa lelaki itu adalah guru les Mahendra. Tapi tidak lama, Abah menaruh curiga karena gerak-gerik lelaki bertopi itu tidak wajar. Maka, kuperhatikan mata Abah awas mengamati rumah keluarga Mahendra yang tepat berada di depan rumah kami.
Benar saja, lebih kurang setengah jam kemudian terdengar perabot pecah dan pekik minta tolong yang timbul tenggelam dari rumah Mahendra. Abah serta merta menyuruhku masuk rumah, ia hengkang dari duduknya dan gegas berlari menuju rumah Mahendra.
Sungguh, aku tidak tahu apa yang terjadi di rumah itu. Sebab selang sepersekian menit kemudian kulihat laki-laki bertopi itu lari masuk mobil dan pergi tergesa meninggalkan rumah Mahendra. Tidak lama setelahnya, Abah menuntun keluar Mahendra kecil dari rumah yang gelap itu, lalu membawanya ke rumah kami. Saat itulah untuk pertama kali aku melihat Mahendra dari jarak yang teramat dekat. Matanya sembab, keningnya berdarah, dan bajunya koyak. Tapi, dia hanya diam hingga Ibu membawakan segelas susu dan selimut untuknya. Waktu itu aku hanya tau Mahendra terluka, tapi lambat laun aku mengerti bahwa malam itu Mahendra telah dilecehkan guru les biolanya.
***