Penulis Tere Liye dan kejahatan moralitas pembajakan buku.
Isu pembajakan buku menjadi salah satu sorotan bahkan sejak tahun 2007. Para pelaku karyanya, seperti penulis Tere Liye juga semakin sering menyuarakan kekecewaan mereka. Banyak cara yang sebenarnya lembaga terkait lakukan dalam usaha menghentikan pelangggaran hak cipta satu ini. Seperti yang telah dilakukan Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI). Namun, bukannya semakin membaik, malah semakin memburuk.
Kalau kamu masih mempertanyakan, kenapa sih, para penulis sangat geram dan marah dengan fenomena maraknya pembajakan buku ini? Maka, mungkin ada yang harus kamu cermati lagi. Coba kamu posisikan dirimu sebagai orang-orang yang menjadikan dunia buku baik menulis hingga penerbitan dan percetakan sebagai sumber pendapatan mereka. Sama halnya dengan kamu yang menjadikan usahamu sebagai sumber penghasilan, pasti inginnya ya untung bukan buntung.
Seperti dikutip dalam laman lembaga IKAPI, lembaga yang sudah menaungi aktivitas para penerbit yang ada di Indonesia sejak bertahun-tahun lalu. Upaya yang mereka lakukan untuk mencegah pembajakan buku ini sudah dilakukan diantaranya;
- Penggerebekan langsung oleh tim Penanggulangan Masalah Pembajakan Buku (PMPB)
- Mengirimkan surat pada Dirjen HKI dan Asosiasi E-Commerce Indonesia
- Kampanye di Car Free Day dan Media Sosial IKAPI
- Bekerja sama dengan PRCI membentuk Forum Peduli Hak Cipta di bidang literasi
Baca juga: Karya Rendra yang Sebaiknya (Jangan) Dibaca
Sayangnya, usaha ini juga belum membuahkan hasil yang signifikant. Dilansir dari situs resmi IKAPI, Dadang Sunendar tokoh yang bergulat dalam dunia pengembangan bahasa dan perbukuan, ada tiga point dalam undang-undang sistem perbukuan yang disalah artikan oleh sebagian pihak. Diantaranya meliputi 3M, meliputi mutu, murah, dan merata, ketiga point ini tercantum dalam UU No 3 Tahun 2017.
Kalau penulis marah atas jerih payah dan kerja keras dari karyanya yang dibajak seenak jidat tanpa izin mereka, ya maklumi saja. Seperti halnya yang dilakukan penulis Tere Liye yang sudah beberapa kali menyuarakan kekecewaannya atas pembajakan buku yang masih marak. Karena teknologi yang semakin canggih, penulis Tere Liye atau yang bernama asli Darwis ini harus menelan pil pahit lantaran industri e-commerce juga menjadi pelaku penjual buku bajakan atas karyanya.
Darwis menemukan salah satu karyanya dijual di salah satu marketplace ternama. Meski sudah ada tindak lanjut atas pelanggaran hak kekayaan intelektual tersebut, namun Darwis sempat menyoroti bagaimana cara penangannyannya yang mengecewakan.
"Apa susahnya sih kalian memahami ini? Kami minta toko bajakan itu di-take down seluruh tokonya, bukan kamu hapus per produk. Ini lucu, ada toko buku bajakan, ratusan produknya ILEGAL, yang kamu hapus cuma produk2. Besok2 itu toko bisa dengan mudah upload lagi produknya," -- Facebook Tere Liye, (24/05/21), dikutip oleh Kompas.com.
Alasan kemarahan para penulis seperti Tere Liye adalah proses pembuatan buku itu sendiri bukan hanya mengumpulkan kertas kemudian menyampulnya dan memberikannya cover. Butuh proses panjang mulai dari menemukan ide, pergulatan ide, hingga mengeksekusinya ke dalam tulisan. Tentu saja prosesnya ini melibatkan kekayaan ilmu serta keahlian yang juga meninggalkan banyak jejak-jejak keringat dan jerih payah.
Baca juga: Buat Apa Beli Buku Bajakan?
Ide tak hanya ditemukan di sembarang tempat, karena ide  untuk pembuatan buku itu harus diolah bahkan memerlukan observasi dan cek dan ricek langsung (Jika memang bukan novel fiksi). Itu baru ditahap penulis saja, selanjutnya ada kolaborasi ide yang juga melibatkan banyak pihak penting, seperti editor, alih bahasa, illustrator, desainer visual hingga sampai di percetakan.
Namun faktanya, maraknya pembajakan buku ini tak hanya dihadapi di Indonesia saja, isu ini juga menjadi permasalahan yang dihadapi di negara lain di dunia. Di Indonesia sendiri landasan hukum pembajakan buku ini sudah jelas-jelas terpampang dalam setiap halaman awal buku. Undang-undang no 28 Tahun 2014 tentang hak cipta, sepertinya belum sepenuhnya mampu menakuti para pelaku pembajakan meski ancaman hukumannya 1 hingga 4 tahun penjara.
Menurut pernyataan UNESCO (2015), alasan landasan hukum perihal pembajakan buku masih diacuhkan, sebenarnya karena stigma yang ada di masyarakat itu sendiri. Buku yang merupakan sumber ilmu pengatahuan dan katanya membuka jendela dunia, sebagian orang pikir akan semakin baik jika ilmunya terus disebarkan. Tidak ada stigma sosial negatif yang bisa mencap jika pembajakan buku adalah tindak kriminal.
Mungkin pembajakan buku memang tak bisa dibilang "tindak kriminal". Coba mulai saat ini, pembajakan buku dilabelkan dengan "kejahatan moralitas". Tapi, apa iya ada landasan hukum yang bisa menjeratnya? Jika penulis Tere Liye dan penulis lainnya marah-marah dan mendadak berhenti melahirkan karya, maka salah siapa? Yang gratis dan murah memang enak katanya.
Baca juga: Link Buku PDF Ilegal Rongrong Hak Kekayaan Intelektual
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H