Ide tak hanya ditemukan di sembarang tempat, karena ide  untuk pembuatan buku itu harus diolah bahkan memerlukan observasi dan cek dan ricek langsung (Jika memang bukan novel fiksi). Itu baru ditahap penulis saja, selanjutnya ada kolaborasi ide yang juga melibatkan banyak pihak penting, seperti editor, alih bahasa, illustrator, desainer visual hingga sampai di percetakan.
Namun faktanya, maraknya pembajakan buku ini tak hanya dihadapi di Indonesia saja, isu ini juga menjadi permasalahan yang dihadapi di negara lain di dunia. Di Indonesia sendiri landasan hukum pembajakan buku ini sudah jelas-jelas terpampang dalam setiap halaman awal buku. Undang-undang no 28 Tahun 2014 tentang hak cipta, sepertinya belum sepenuhnya mampu menakuti para pelaku pembajakan meski ancaman hukumannya 1 hingga 4 tahun penjara.
Menurut pernyataan UNESCO (2015), alasan landasan hukum perihal pembajakan buku masih diacuhkan, sebenarnya karena stigma yang ada di masyarakat itu sendiri. Buku yang merupakan sumber ilmu pengatahuan dan katanya membuka jendela dunia, sebagian orang pikir akan semakin baik jika ilmunya terus disebarkan. Tidak ada stigma sosial negatif yang bisa mencap jika pembajakan buku adalah tindak kriminal.
Mungkin pembajakan buku memang tak bisa dibilang "tindak kriminal". Coba mulai saat ini, pembajakan buku dilabelkan dengan "kejahatan moralitas". Tapi, apa iya ada landasan hukum yang bisa menjeratnya? Jika penulis Tere Liye dan penulis lainnya marah-marah dan mendadak berhenti melahirkan karya, maka salah siapa? Yang gratis dan murah memang enak katanya.
Baca juga: Link Buku PDF Ilegal Rongrong Hak Kekayaan Intelektual
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H